iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Anakku, Bonekaku

Anakku, Bonekaku


Pendidikan anak-anak masih tren hingga beberapa tahun ke depan. Anak-anak yang digagas dengan gegas agar segera menjadi anak yang cepat mekar, cepat matang, tapi serentak agar anak-anak cepat layu pula.

Anak-anak dijejali banyak informasi baru, mulai dari jenis permainan baru, berbagai pengetahuan yang seakan-akan ia harus tahu. Alasannya cuma satu, "Agar kelak, anak(-anak)ku sebego ibunya atau sebodoh ayahnya!"

Di sisi lain, kurikulum seakan menjadi payung hukum atas kekerasan pada anak. Seakan-akan sah menjadikan anak menjadi kelinci percobaan untuk berbagai hal baru. Rasanya mulut anak masih kurang untuk dicekcoki jenis asupan baru bernama "makanan sehat".

Juga rasanya masih kurang banyak telinga anak untuk mendengarkan berbagai 'nasihat' dari para orangtua, seperti, "Makan rotinya yang banyak ya sayang, biar cepat gede!", "Sayang, ayo diminum susunya biar pinter!"

Di bawah sadar anak-anak orang tua seakan menanamkan bahwa makan bikin cepat besar, dan minum susu pasti membuatnya pintar.

Rasanya masih kurang banyak mata anak-anak untuk menonton berbagai pertunjukan, entah pertengakaran orangtuanya, film-film kartun yang tampak lucu tapi tidak masuk akal, sinetron-sinetron yang juga dionton ibu atau pembantunya, dan berbagai CD 'terapi psikologi pendidikan yang bertujuan agar anak-anak Anda bertumbuh normal', dan seterusnya.

Kini...

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang memang tengah marak. Di mana-mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahanyang ada.

Ada juga yang ketakutan anaknya mengalami trauma di sekolah hingga ia rela mendatangkan banyak guru untuk mengajar anak(-anak)nya di rumah. Bisa Anda bayangkan dengan home-schooling, guru lebih banyak dari murid.

Tampaknya luarbiasa bukan? Begitulah para orangtua seakan berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik.

Iklan di televisi menjadikan semua hal tersebut seakan nyata. Lihatlah misalnya iklan sebuah produk susu di berbagai televisi yang begitu menojolkan sisi kecerdasan seorang anak didapat 'hanya' dengan rajin minum susu.

Play Group, PAUD, Taman Kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam.

Terapi-terapi psikologis seakan tak berhenti mendiagnosa bahwa Anda Anda punya kelainan ini dan itu; dan itu perlu disembuhkan segera kecuali anak anda akan tumbuh secara tidak normal.


Seakan-akan bisa dikatakan begini...

Di saat sebuah keluarga semakin sejahtera, maka uang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulan sah-sah saja dikeluarkan untuk pendidikan anak. Benar! Tentu ini sangat benar. Dalam kalkulasi gaji di atas 25 juta per bulan, maka 20% untuk pendidikan anak(-anak) sebagaimana didengungkan pemerintah masih sangat masuk akal.

Cuma 5 juta rupiah toh? Uang sebesar itulah yang Anda harus keluarkan untuk pendidikan Anak per bulan. Itu masih tergoling kecil untuk orangtua yang punya income di atas 100 juta per bulan. 20 juta rupiah, Gan !

Dengan uang 20 juta per bulan maka wajar saja bila orang tua menanti feedback dari lembaga-lembaga pendidikan terkait, tempat di mana anak(-anak) mereka di-'sekolah'kan.

Orangtua memandang anak sebagai investasi masa depan. Biaya bayi sejak lahir bisa dianalaogikan sebagai UP (uang pertanggungan) dalam Asuransi dan seluruh biaya pendidikannya adalah Premi Bulanan atau Premi Tahunan yang harus dibayar hingga masa pendidikannya usai.

Persoalannya adalah banyak orangtua tak mau rugi dengan gelontoran dana yang telah dikeluarkan untuk investasi pendidikan anaknya. Segera ia ingin agar sekolah membuatnya menjadi anak ajaib, yang bisa menuntaskan persoalannya sendiri.

Para orangtua segera akan menuntut lembaga kursus untuk sesegera mungkin menyulap otak anaknya menjadi cerdas, pintar berhitung, cakap berbagai bahasa. Juga orangtua yang sama akan menagih janji produk susu atau makanan malah agar fisik anaknya segera menjadi kuat dan sehat dan tak boleh sakit.

Akhirnya, para orangtua juga akan meminta lembaga musik, tari, tater dan sekolah seni lain agar sesegera mungkin menjadikan anak mereka menjadi artis terkenal lewat reality show yang dijual di banyak stasiun televisi.


Dunia pendidikan hari-hari ini memang betul-betul tampil dengan denyut kegairahannya.

Ada banyak tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua yang memang dijejali banyak gaji tapi tiada henti ditagih oleh tawaran menarik di pasar-pasar, termasuk pasar pendidikan untuk sang buah hati.

Pasar memang cerdas! Dengan tangkas ia akan menyediakan toko-toko yang tadinya tidak kita butuhkan tetapi mereka sulap menjadi sebuah keharusan agar kita datang ke sana. Para orangtua seakan disedot oleh tampilan menarik produk Kid's Shop, juga lenggak-lenggok para pramuniaga yang memesona dan menarik hati anak-anak mereka.

Sekolah pun tak lagi sekedar diajar oleh guru. Semua orang bisa menjadi guru. Bisa jadi sekolah guru pun tak perlu lagi. Les privat tak lagi diajar oleh orang yang berlatar pendidikan guru.

Siapa saja bisa ngajarin anak-anak? Anak kuliahan dari berbagai jurusan bisa mengajar anak SD hingga SMP, bahkan SMA sekali pun. Lembaga-lembaga bimbingan belajar pun bisa mempekerjakan para mahasiswa itu secara part-time. Tugas mereka pun bukan mengajar, apalagi mendidik. Tentu, karena mereka bukan guru.

Mereka hanya alat yang dibutuhkan pasar, untuk menyambung kebutuhan "toko pendidikan" dengan "orang tua yang ingin anaknya segera menjadi anak ajaib". Karena bukan pengajar atau guru, maka para tutor les privat itu pun serng jatuh dalam praktik pelengkap. Mereka datang ke rumah-rumah atau menjadi tutor di lembaga-lembaga bimbingan belajar hanya untuk satu hal: "mengerjakan PR anak-anak!"

Syukur-syukur benar. Kalau salah juga enggak apa-apa. Tinggal mengatakan, "Bukan kakak yang salah, tapi gurumu. Atau, maaf dik.. kakak lagi bad-mood kemarin ini!", dst. Mudah bukan?


Ada uang ada jalan...

Ada pasar ada pembeli. Ada anak-anak dan ada lembaga pendidikan anak-anak. Semua berjalan sinergi. Aku membutuhkanmu karena kamu pasti membutuhkanku. Aku ingin kamu karena kamu pasti juga menginginkanku. Kuantitas begitu banyak terbentang... tapi, maaf kualitas seringkali hanya tampil di spanduk-spanduk atau di desain grafis yang memang dikerjakan para ahlinya.

Akhirnya, kisah salah masuk sekolah atau salah guru les dan seterusnya menjadi akrab terdengar. Kalimat seperti "Aku nyesal sudah memasukkan anak ke sekolah atau lembaga ini dan itu" seringkali menjadi akhir dari gelontoran dana investasi yang sangat besar tadi.

Guru salah mendidik, Bimbingan Konseling anak salah mendeteksi bakat anak, terapis anak salah menyimpulkan kalau anak itu sebenarnya tak berkebutuhan khusus, dokter anak salah mendiagnosa penyakit anak, dan seterusnya.Kita tak berharap adanya kesalahan-kesalahan dari orang-orang yang sering mendeklarasikan dirinya sebagai ahli itu.

Aku jadi teringat sebuah kisah seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun.

Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian?

James Thurber seorang wartawan terkemuka. Pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.

Kita tak sungguh mengharapkan ada kasus seperti itu pada anak-anak kita. Tetapi serentak, kita harus kembali pada sistem pendidikan tradisional yang telah berhasil memetakan persoalan hidup manusia. Apa itu?

Pendidikan dalam keluarga adalah yang terbaik. Berikan waktu untuk anak-anak Anda, tanpa memerinci alasan waktu kuantitatf atau kualitatif ! Semua lembaga hebat di luar sana hanyalah 'tambahan' yang boleh Anda beli atau abaikan samasekali.

Semarang 27 Januari 2013


#KomentarPilihanViaFacebook

Ineke Fatmawati
Fakta ya Bang. Orang tua banyak yg melepaskan tanggung jawabnya mendidik anak secara tak sadar. Mereka merasa bahwa mereka sudah menjalankannya padahal peranannya sangat sedikit. Anak lebih kenal guru di sekolah nya (6-7 jam di sekolah 5 hari seminggu), guru les nya (2-3 jam sehari 4/5 hr seminggu), pembantu/baby sitter nya (2/3 jam sehari setiap hari), media (2 jam sehari).

Mungkin anak hanya bertemu ortu 2/3 jam sehari dgn papa atau mama nya saat papa/mama mau brgkat kerja atau pulang kerja. Itupun dgn kondisi basa-basi, terburu2 mau berangkat atau terlalu lelah. Saat anak liburan, ortu hanya bisa ambil cuti sebentar. Liburan bersama, pembantu tetap diajak, agar anak2 bisa ditinggal di hotel, ortu bisa senang2. Beruntung jika yg bekerja hanya papa atau mama saja.

Ortu banyak berpikir tanggung jawab pendidikan itu adalah biaya yg besar utk sekolah di sekolah bagus, les di lembaga2 terbaik, ikut training2 mahal pengembangan kepribadian. Pendidikan itu mahal, ya memang! Tp bukan mahal biaya, tp mahal nilainya karena pendidikan membutuhkan pengorbanan orang tua. Org tua yg mau memberikan waktu nya utk anak, org tua yg rela kesal ngajarin anaknya biarpun tu anak gak ngerti2, ortu yg makan hati tp tetap mau mendorong anaknya karena minat anak beda dgn keinginannya.

#TanggapanPenulis
Memukau. Komentarmu aku suka banget, sist Ineke Fatmawati . Setuju dengan asumsi faktualmu itu. Benar itu fakta. Anggaplah aku menulis itu sebagai representasi anak-anak di negeri ini., yang makin hari hanya dihargai sebagai "dana investasi", yang akan dipandang baik bila berhasil menggandakan apa yg telah ditanamkan ortu. Sementara anak-anak tak butuh banyak dari orangtua. Hanya ingin bermain kuda-kudaan sama bapaknya, atau sekedar mendengarkan cerita dari ibunya. Anak-anak butuh diajari nilai hidup, bukan nila yang terbentang dari harga yg telah ditanamkan oleh ortu mereka. hehehe. Have a great mondey, my sist'.

Plato Benhard Ginting's
Benar sekali bang. Semoga tulisan2 seperti tulisan abang ini di baca oleh para orang tua. Tapi sayangnya orang tua sudah tidak punya waktu untuk membaca tulisan2 yang terkait dengan pendidikan dan perkembangan anak mereka. Orang sudah tidak mau belajar lagi. Karena ya mereka sudah orang tua. Jadi tinggal nyari duit aja. Kasi sama anak. Selesai.

Novi Tris Handayani
Kadang-kadang saya merasa juga jadi korban fenomena ini, ditambah ketakutan anakku tidak bisa bertempur menghadapi masa depannya nanti jika saya tidak memberikan "bekal" yang cukup. Please, kasih saya saran menghadapi ini ya

#TanggapanPenulis
Mbak Novi, Aku tak punya banyak saran kecuali 2 kalimat di akhir Novi: Pertama, berikan waktu untuk anak-anak Anda, tanpa memerinci alasan waktu kuantitatf atau kualitatif; dan kedua semua lembaga hebat di luar sana hanyalah 'tambahan' yang boleh Anda beli atau abaikan samasekali.

Ineke Fatmawati
Mbak Novi, Jangan terlalu kuatir mbak.. Anak2 kita mampu kok "bertempur" jika mereka mendapatkan "kekuatan" mereka dr rumah. Kita jangan melihat anak org lain: kok anak itu bisa begini bisa begitu. Tp selalu melihat anak kita sendiri. Pahamilah bakat dan keunikan mereka, lalu asah bakat itu. Tiap anak berbeda. Jgn pernah ingin anak kita menjadi spt anak org lain.

#TanggapanPenulis
Setuju ce' Ineke. Don't worry, be happy, mbak Novi. Kualitas nilai pendidikan pasti didapat anak dari rumah yg sebenarnya, bukan dari rumah penitipan anak, atau "menitip pada pembantu selama 12 jam sehari... karena....." 

Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet.

Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Maka, hindarilah anak-anak bermesraan dengan kata-kata di media yang telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat. Love is to be, cintai anakmu dalam proses...

Ghs Lingga
Satu hal yang kuamati bro, kurikulum pendidikan sekarang memang selalu berubah ubah dan cenderung mempersulit anak didik ,apalagi orang tua. untuk mendapatkan hasil yang sama,cara yg diajarkan guru2 dahulu sangat berbeda dgn metode yg diajarkan guru sekarang.

Mau tak mau sianak merengek utk ikut privat les.Apalagi kebanyakan guru sekarang mengajar bagaimana agar cepat selesai saja,dan mereka kemudian membuka les tambahan di sekolah.Kalau tak ikut les, sianak takut nilainya anjlok. makanya sudah serba serbi,bro. disamping ada ortu yang berlomba ngeleskan anak karena mode, tapi ada juga ortu yg sesungguhnya jadi korban keadaan. lalu kita mau bagaimana....????

#TanggapanPenulis
Tepat sekali, pak Ghs Lingga. Tapi juga harus diingat, sistem pasti tak berhenti menuntut para orangtua, karena mereka itu "market" yang harus memaksimalkan keuntungan mereka. Orangtua yang baik biasanya tau 'momentum" di mana anak sanggup memenuhi tuntutan itu.

Tak heran bila anak yg dididik dari kecil dg pola "kebutuhan pasar" akan bertindak seperti orang pasaran: laki-laki seperti perempuan dan perempuan seperti laki-laki. Banyak kasus dalam dunia pendidikan kita, tetapi serentak kita akan berpikir absurd bersamaan dengan mana yang baik dan tidak baik. Pendidikan yang dasariah itu malah membuat banyak anak-anak, hingga dewasa tak lagi bisa tegas dalam prinsipnya. Itu karena mereka selalu bisa menawar akan seperti siapa mereka....

Ghs Lingga
Benar sekali bro Lucius,semoga para orang tua dan juga yg namanya ahli2 pendidikan itu melihat dan menyadarinya.

Pujiastuti Purba
Mbak Ineke: Sepakat! Mbak Novi: Benar, bnyk ortu yg mmg cm jd korban keadaan. Dipaksa oleh kurikulum dll, dan mrs hrs conform dg yg lain. Menjadi berbeda mmg tak mdh. Anak2 bth cinta dan wkt kt lbh drpd apapun, bahkan jg ketika mrk tdk menyadarinya.

Lily Marlina
Sebelum jadi ortu mmg merasa tidak habis pikir dg para ortu model begini. saat menjadi ortu...yang memahami kondisi anaknya dan memutuskan yg berbeda dr grup, dianggap tidak normal.

Pujiastuti Purba
Ito Nurat: Sepakat bhw ortu (ibu dan ayah!) hrs lb menyediakan wkt utk 'mendidik' anak2, alih2 menyerahkannya kpd bbg lembaga pendidikan, apalg utk alasan yg tdk mendasar. Btw, bnyk lho ibu2 yg baik, dan tdk mendahulukan mode n kosmetik dibndgkan yg lain.

Ito Nurat: Koreksi sdkt utk istilah 'home schooling', kynya yg Ito slh pakai istilah tuh. Home schooling justru mrpk opsi bg ortu yg tdk setuju dg sist pendidikan di lembaga2 yg sdh ada. Pd bnyk kasus, ortu sndr terlibat sngt bnyk dlm home schooling.

Lily Marlina
Pembekalan diri anak tergantung pada orangtua. banyak ortu yg suka lupa... dipikirnya bekalnya cm sekolah atau materi tp tdk membekali anak dg ketrampilan utk belajar hidup. semua dimudahkan, anak tdk prnh merasa gagal, smuanya mulus... pdhl realita kehidupan tdk spt itu.

Irwan Saragih
Ada dua sisi penting untuk dicermati dalam membentuk anak: IQ dan SQ. Ortu cenderung LUPA hal paling mendasar itu : SQ anak. Ortu LUPA bahwa SQ bukanlah urusan guru formal di sekolah, atau guru les ini-itu.... Itulah buah yang kita petik sekarang ini : generasi pinter tetapi dengan moralitas kedodoran, mirip monster-monster yang jadi mainan anak semenjak usia balita itulah.. GBU.

Lily Marlina
Pak Irwan Saragih. EQ juga pak. GBU

Irwan Saragih
Ketika menasehati anak, sy lakukan ketika ia tidur. Sy pegang tangannya, sapa, nasehati dan doakan dia ketika darah daging sy itu tidur lelap itulah. Dalam momen tertentu, ibunya sy minta berpuasa untuk anaknya itu. Hasilnya? Anda coba aja...Yg jelas dalam pendidikan model barat sono, mungkin sy diketawaian..Sekedar contoh praktis. Siapa tahu bermanfaat buat Anda pula.. GBU.

#TanggapanPenulis
Terimakasih untuk syering yang sangat bermanfaat dari Lily Marlina dan bang Irwan Saragih

Ida Murni
Sy coba lihat dari realita ya. Kita hidup di zaman sulit, ini bukan lagi zaman seperti di zaman ortu kita dulu, di mana org bisa berhasil tanpa pendidikan formal, mgkn msh ada tapi jarang.. Di zaman sperti ini, hal terpenting yg bisa kita wariskan ke anak adalah nilai moral dan pendidikan formal, itu modal yg gak akan hilang.

Persaingan meningkat, semua takut kalah.. Ketika anak masih usia sekolah, nilai akademis anaklah yg menjadi ukuran. Ini kesalahan sistem pendidikan kita yg msh nilai oriented, ranking oriented, padahal kita tau banyak faktor lain yg lbh penting. Tapi kita memang hidup di zaman yg demikian.

Hal ini dimanfaatkan/ dibisniskan banyak pihak, sekolah dijadikan ajang bisnis. Sah saja kalo sekolah selain berbisnis, juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Masalahnya para guru tidak berfungsi dgn baik, membuka kursus sendiri. Dilema bagi orang tua, mau bertahan untuk tidak mengikuti arus atau mengkursuskan anaknya. Sy pilih mengkursuskan, itu realita zaman, di mana nilai msh sgt penting. Contohnya, anak sy yg mau kuliah, prasyarat utamanya adalah NILAI rapor.

Nah, kembali ke masalah.. Mayoritas ortu pasti ingin memberi yg terbaik bagi anak, Mslhnya di zaman sulit sperti ini, kadang mmg mengharuskan keduanya bekerja.. Dan yg tdk bekerja sperti sy, juga ga mampu kalo mau mengajarin anak matematika level SMA... Ini realita zaman, walau sy tau cara sy gak ideal, tp ya begitulah...

#TanggapanPenulis
Terimakasih ce' Ida Murni. Pandangan yang turut memperkaya sharing di atas. Jaman post modern selalu menyisakan ruang antara 'ikut arus' atau 'bertahan dengan prinsip"


Linda Angelbertha
Sy lbh memilih kita (ortu) yg mengajarinya sendiri dirmh,cari wkt sehbs bekerja,jd ga diperlukan lg bimble2-an,les,kursus2,dlsb kcuali utk kursus yg bersifat hobby.Mrk mudah2an akan jd the best..krn ortu yg plg tahu kebutuhan anak drpd org lain.

#TanggapanPenulis
Terimakasih untuk semua komentar, masukan, koreksi dan refleksinya. Untuk ibu-ibu yg memberi komentar yg sangat luarbiasa di atas, silahkan berkonsultasi dengan Lily Marlina, seorang sahabatku yg luarbiasa. She is a super mom... hehehe


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.