iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Pradoks Dangdut

Paradoks Dangdut
Ilustrasi: Wulan Fitri (Semarang)


Dangdut selalu menggiring telinga pada rumitnya menikamti harmoni nada. Tonasinya aneh, bit-nya nyaris statis. Cengkoknya monoton dan selalu lalai menyisakan ruang bagi keajaiban.

Sepintas, dangdut adalah rintihan yang mendayu-dayu, atau tangisan yang tampil lewat rayuan syahdu. Ia selalu menampilkan rintihan dan nafsu asali dan aktual di kehidupan sehari-hari.

Tak ayal lagi, dangdut adalah ungkapan emosi yang paling mudah dan sederhana. Sebab dangdut tak butuh nada # (kres) atau ketukan 3/4, 6/8. Ia juga juga tak butuh modulasi yang rumit seperti yang telah melekat dengan musik klasik dan jazz.

Dangdut itu nada stabali 4/4 atau sesekali dengan metronom 2/4 yang lebih sederhana. Dalam musik, ketukan 4/4 adalah yang paling mudah, semudah memanggil Bang Toyib yang telah lama tidak pulang". Kendati tak boleh dilupakan bahwa ada juga sebagian kecil lagu dangdut yang rada mumpuni dan tak terlalu 'melayu', pun tak terlalu mendayu-dayu. 

Dangdut itu hiburan rakyat. Dangdut tak pernah dilupakan di tiap pesta atau upacara kecil dan upacara besar, dan terutama di lingkungan pemerintah dan masyarakat pedesaan. Tembang "Anak Medan" atau "LaFaMiRe" (aku gak tau judu persisnya) yang berlanggam Timor misalnya, selalu mengajak para undangan pesta untuk "berputar ke kiri dan ke kanan" di Sumatera Utara ini.

Ya, begitulah musik dangdut telah berhasil membaur dengan masyarakat; hingga ada yang mengatakan kalau dangdut itu musik rakyat. Pada tahap tertentu dangdut memang telah berhasil menjadi hiburan 'murah' dan terjangkau oleh masyarakat banyak. Ini berarti bahwa dangdut sudah turut ambil bagian dalam meminimalisir karut marut perpolitikan nasional.

Hanya saja, dibalik keberhasilannya itu, dangdut justru ikut berperan dalam "mengusir musik dan seni tradisional" dari masa kini. Di titik inilah, karena kesederhanaanya, dangdut telah berhasil memengaruhi kultur-kultur lokal yang dimasukinya.
Keindahan dan kekayaan budaya lokal, terutama oleh dangdut, justru tersingkir. Sebab, lagu-lagu daerah yang paling laku justru yang berirama dangdut.

Pengaruh itu bahkan sudah terlalu kelihatan. Lihatlah, gondang/gonrang/gendang yang biasa dipadu dengan seruani, gong, kecapi dst, kini cukup denan satu alat musik digital bernama "keyboard". 

Dengan hadirnya dangut di sudut-sudut negeri ini, maka lagu-lagu daerah pun tak terlalu diminati, kecuali lagu itu berirama dangdut dan diiringi oleh organ tunggal yang dimainkan dengan 1 jari (solo finger).

Dangdut membuat seluruh rakyat indonesia tersedot karenanya, tak lain adalah gambaran psikologis masyarakat kebanyakan, yang hidupnya berjalan bak hentakan gendangnya dangdut. 

Dangdut itu gambaran jiwa masyarakat kita yang melantun dalam kesederhanaan accordnya keyboard yang dimainkan dengan solo finger. Ia adalah cara pandang masyarakat kita yang dalam sekejap dan secara stabil hidup dalam kebenaran dan kesesatan secara beraturan.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.