iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

"Oma, Mardalan Rambong"

"Oma, Mardalan Rambong"

Saya ingat kisah lucu si masa kecilku di desa Bahtonang. Kisah ini dituturkan ulang oleh saudara jauh saya. Kataya, pada era 80an, desa kami masih relatif tertutup. Tentu saja sangat jauh dibansing masa sekarang.

Di masa itu hanya ada 2 minibus yang sedia mengangkut orang desa yang bepergian ke kota, terutama para pedangang yang belanja ke kota Siantar atau kota Tebing Tinggi. Kedua kota itu memang bisa ditempuh dengan waktu yg relatif sama dari Bahtonang.

Terkait dengan keterbatasan akses itu, maka orang sangat jarang ke kota. Selain karena tingkat ekonomi masyarakat masih rendah, juga karena alasan orang keluar kota hanya keperluan menghadiri undangan dari keluarga yang tinggal di luar Bahtonang.

Ada seorang anak. Namanya Manaek Sinaga, atau di sekolah kami kenal namanya Naek. Saat kelas 3 SD si Naek untuk perrtamakalinya diajak oleh ibunya ke kota. Ini berarti ini saat dia pertama kali naik kendaraan umum.

Perlu Anda tahu, bila Anda datang ke Bahtonang, Simalungun Anda akan melalu perkebunan karet yang saat itu milik PT. Good Year dan kini sahamnya telah dibeli PT Bridgestone.

Kendati hanya sekitar 21 km dari desa ke desa Bajalingge tetapi jarak tempuh bisa mencapai 2 jam. Kondisi jalan yang belum tersentuh pembangunan hingga saat hujan akan sangat licin dan saat kemarau akan berdebu bak gurun pasir.

Di sinilah kisah lucu itu terjadi. Saat bis me pohon lewati perkebunan karet yang antar pohon yang satu dengan pohon laínnya tertata rapi. Saat bis melaju agak kencang, dengan rasa penasaran ingin tau ada apa di luar sana, Naik minta sama ibunya supaya duduk di jendela bus. Tiba-tiba Naik berteriak,
< br /> Naek: "Ma, berng jo ma... Bereng jo ma..." (Bu, lihat tuh... Lihat bu)

Ibunya Nake: "Aha i Naek? Boasa heppot hian ho?" (Apa sih Naek? Kok sibuk amat?)

Naek: "Bereng oma.. Mardalan rambong. Marikkati akka rambong i, oma" (Lihat bu. Pohon karetnya jalan. Cepat lagi jalannya)

Ibunya Naek dan semua penumpang bus sontak terbahak, termasuk supir dan keneknya. Begitu riuh dan panjangnya tawa mereka hingga supir menghentikan bus sejenak.

Naek bingung mengapa kata-katanya yang polos itu ditertawan oleh semua penumpang bus. Ia terdiam hingga menangis.

Tak lama sesudah itu, tentu setelah mendapat penjelasan singkat dari ibunya, bahwa bus yang mereka tumpangilah yang mélaju dan bukan pohon karet yang berlari, Naik pun bertekàd menjadi seorang supir. Benar saja, setelah lulus SMP ia belajar nyetir dan kini ia menjadi supir angkutan umum di Medan.

Masa lalu yang getir kerap menggiring kita pada kemauan keras dalam mewujudkan cita-cita kita. Naek telah membuktikan bahwa langkanya kesempatan naik mobil di masa kecilnya telah terpenuhi sekarang, bahkan ia sudah punya angkot sendiri.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.