iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Saat Anak Digegas Untuk Segera Meretas

Saat Anak Digegas Untuk Segera Meretas
“Memang beda kalilah anakku yang satu ini. Di usianya yang baru 2 tahun saja sudah jago bermain game online. Padahal belum bisa baca loh,” kata Nai Unggul kepada teman akrabnya, Nai Harapan.

“Betul sekali, eda. Si bungsu kami juga begitu. Gak bisa silap sikit pun hape bapaknya. Ia pasti langsung menyambarnya dan mulai mengotak-atik game yang ada di dalamnya,” jawab Nai Harapan yang juga merasa bangga tetapi sekaligus bingung dengan ‘kehebatan’ anak-anak jaman ini.

Opung Sangap yang dari tadi secara samar-samar mendengar perbincangan kedua sahabat itu tak sabar untuk ikutan nimbrung, 

“Eee, molo dakdanak nuaeng on do ai so tarpodai be. Najoloi, tikki dakdanak be hamu holan mangatuk demban do iboto hamu. Hape molo nuaeng on demban pe so ditandai dakdanak i be (Anak-anak sekarang sudah enggak bisa dibilangin apa-apa. Padahal, dulu di masa kalian masih anak-anak hanya meracik sirih saja yang kalian tahu. Tapi sekarang ini anak-anak bahkan sudah tidak kenal apa itu sirih),” tambah Opung Sangap yang selalu dikerjain sama cucu-cucunya.


Anak-anak Digital

Jaman telah berubah, dan dunia pun turut berubah karenanya. Memang tak adil juga membanding jaman dulu dan jaman sekarang. Sebab cara berada manusia selalu terkait dengan ruang dan waktu. Demikianlah Pola hidup orang jaman dulu sangat berbeda dengan sekarang, tak terkecuali cara mendidik anak-anak dalam keluarga ditengah ‘dunia’ anak yang semakin semarak.

Di titik inilah keresahan orang tua tentang anak-anak mereka harus dikalahkan dengan kesadaran akan perubahan jaman yang terjadi. Tujuannya agar mereka tak sesat mempersiapkan anak-anak mereka menjadi manusia yang berguna di masa depan.

Orang tua harus menyadari bahwa genitnya perkembangan teknologi komunikasi saat ini telah melahirkan dunia penuh energi, bukan energi semesta tetapi energi hasil ciptaan manusia bernama smartphone atau ponsel pintar dengan gadgetnya yang seakan tak pernah habis untuk diunduh anak-anak.

Saat berulang tahun, atau saat menjadi juara kelas di sekolah, anak-anak jaman ini hampir tak mungkin meminta hadiah berupa buku komik kesenangannya. Mereka justru minta dibelikan telepon pinter yang kaya dengan gadgetnya. Anak-anak bahkan tak peduli tingkat perekonomian orangtuanya saat meminta dibelikan telepon pinter untuk mainan mereka.


Gadget, Teman Setia Anak

Di rumah, anak-anak jarang bertemu orangtua yang sangat sibuk bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya demi membelikan ponsel pintar untuk anak-anaknya.

Di lingkungan pergaulan, anak-anak, terutama di daerah perkotaan, bahkan anak-anak sudah terbiasa ngobrol tentang gadget terbaru dengan teman seusianya.

Di sekolah, anak-anak juga telah dibiasakan akrab dengan teknologi. Maka tak heran saat seorang guru Kelas IV SD Katolik di Medan ini tega memberikan PR “membuat profil lengkap seluruh negara di dunia” kepada siswanya. Si guru beranggapan bahwa semua siswanya telah mengerti internet dan mahir menggunakannya.

Dengan memberi PR sesulit itu kepada anak usia 10 tahun, guru guru tadi justru merasa sedang menerapkan kurikulum pendidikan berbasis teknologi informasi yang dicanangkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan.

Demikianlah pengaruh kecanggihan teknologi melahirkan “anak-anak jaman ini”, yakni mereka yang hidupnya digegas agar bertumbuh cepat hingga mentas menjadi anak canggih. Hal inilah yang tampak dalam percapakan antara Nai Unggul, Nai Harapan dan Opung Sangap di atas. Kenyataannya anak-anak telah menjadi korban dari kecanggihan produk teknologi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Atas dasar kecanggihan teknologi itulah banyak orangtua memaksa anak-anak mereka menjadi mesin baru yang hidupnya tergantung dari jumlah pulsa yang ada di ponsel pinter mereka, mudah dikontrol dengan chip bernama google-map yang tersedia di ponsel pintar anak-anaknya, hingga fasilitas itu membuat anaknya betah di rumah.

Ini terjadi karena pola pikir orangtua jaman ini juga mengalami pergeseran (shift paradigm). Lihatlah paham yang dianut sebagian besar keluarga di perkotaan tentang konsep pintar dan cerdas yang erat melekat dengan sarana teknologi.

Bagi mereka, semakin seseorang pinat memainkan fitur komputer dan memainkan game di ponsel android mereka, maka anak itu akan segera digolongkan sebagai anak-anak cerdas. Maka memiliki ponsel pintar adalah sebuah keharusan bagi mereka dan tentu saja bagai nak-anak mereka.


Ponsel Pinter Sebuah Keharusan?

Disaat anak-anak begitu gesit menangkap godaan menarik dari iklan ponsel cerdas di televisi, orang tua mereka justru sudah lebih dahulu terperangkap pada anggapan bahwa menggunakan ponsel cerdas itu sebuah keharusan saat ini. Banyak orang tua justru merasa takut kalah bersaing dengan anak-anak mereka hingga mereka pun mulai bergaul intim dengan ponsel pintar, lengkap dengan gadget-gadgetnya.

Ini lantas berarti bahwa baik orangtua maupun anak-anak harus memiliki ponsel pintar tersebu. Tak peduli seberapa mahalnya! Mau keluarga kaya, keluarga dengan tingkat ekonomi menengah, bahkan orang yang hidup didalam kemiskinian sekalipun punya kehendak yang sama: harus “memiliki ponsel cerdas agar anak-anak mereka menjadi cerdas.”

Banyak orang tua beranggapan bahwa ponsel Android harus dimiliki anak-anak mereka, sebab bila sebaliknya, maka anak-anak mereka akan selalu merengek minta dibelikan, apalagi teman-temannya di sekolah sudah terlebih dahulu memilikinya.


Merampas masa Kanak-kanak

Begitulah masa kanak-kanak yang semestinya diramaikan dengan bermain bersama teman sebayanya justru telah dirampas oleh orangtua yang memberinya “teman baru” bernama ponsel pintar dan oleh sekolah yang membebaninya dengan segudang pekerjaan rumah.

Segala aspek kehidupan anak-anak nyatanya telah digerogoti oleh kecanggihan alat cerdas ciptaan manusia itu, hingga para orangtua mulai sadar bahwa mereka sesungguhnya tak punya anak-anak, sebagaimana juga anak-anak berpikir bahwa mereka sesungguhnya tak punya orangtua.

Bila hal ini dibiarkan, bukan tak mungkin anak-anak merasa orangtua tak lebih dari seorang majikan yang baik, yang bekerja keras demi memenuhi permintaan mereka. Atau, bagi orangtua, anak-anak mereka tak lebih dari anak buah yang selalu meminta dibelikan hape baru.

Banyak orangtua yang gagal paham tentang pendidikan anak yang sebenarnya. Mereka bahkan tak mampu menjadi model “manusia ideal” bagi anak-anak mereka. Di pihak lain, negara yang selalu mendendangkan kebutuhan akan generasi penerus yang mumpuni justru turut larut dalam sistem pendidikan instan, yang menciptakan generasi robot yang mentas dengan gegas lewat kurikulum yang berbasis online dengan penerapan seragam itu.

Betul bahwa apa pun yang dihidangkan oleh negara, berupa kurikulium pendidikan berbasis teknologi di sekolah hanyalah pelengkap dari pendidikan keluarga, tetapi perlakuan sekolah yang merampas hak-hak anak lewat beban pelajaran yang segudang itu justru menambah beban anak-anak.

Kita sadar bahwa siapa pun yang merasa terjepit dan terjebak dalam gua gelap akan mencari jalan keluar. Persoalannya justru jalan keluar seperti apa yang ia pilih: “jalan sempit” yang menyelamatkan atau “jalan lebar” yang justru menjerumuskannya?

Negara, masyarakat dan keluarga justru kerap memilih “jalan lebar” sebab mereka tak menyadari bahaya yang siap menghadang dan membahayakan anak-anak mereka. Teriakan para pemerhati anak, sindirian para pengkotbah di mimbar-mimbar saat mengikuti ritual keagamaan, ajakan dari para pemerhati pendidikan anak, dan iklan-iklan pendidikan di televisi justru sering tak dihiraukan.

Situasi ini sangat menyulitkan anak-anak, terutama setelah mereka remaja dan beranjak dewasa. Dalam kesulitan-kesulitan yang dihadapi, mereka pun mencari jalan keluar yang “instan dan memuaskan”, yakni memilihi jalan lebar dan membahayakan.

Kasus-kasus kenakalan dan kejahatan remaja, seperti pemerkosaan yang dilakukan gerombolan remaja, penggunaan narkoba, tawuran hingga mengakibatkan kematian, dst adalah ekses langsung dari kesalahan orangtua dalam pendidikan anak-anak mereka.


Kepedulian pada Keluarga dan Anak-anak

Hari Anak Nasional dirayakan setiap tanggal 23 Juli dengan penekanan pada pentingya memperjuangkan hak-hak anak. Biasanya, pada peringatan ini pemerintah dan para pemerhati anak selalu mengajak para orantua untuk pertama-tama mengutamakan pola pendidikan yang terbaik dalam keluarga, khususnya dalam hal mendidik anak. 

Kita yakin bahwa pendidikan yang baik akan menghindari anak kelak dari mentalitas tak tahan banting dan mudah menyerah, kurang memiliki hati dan empati, soliter dan egois (berorientasi pada diri sendiri), mengutamakan hasil tanpa peduli proses, tak punya skala prioritas, mudah kehilangan konsentrasi dan tak bisa fokus, serta krisis identitas dan keteladanan.

Konsekuensinya, anak-anak tak harus bersekolah di PAUD, TK hingga SD berbasis teknologi yang supermahal hingga anak-anak tak lagi punya waktu bermain. Itu bukan kebutuhan utama mereka. Selanjutnya, anak-anak jangan dipaksa mengikuti kursus kepribadian kilat (demi memenuhi hasrat orang tua) agar mereka bisa memenangkan lomba penyanyi cilik, model cilik, ilmuwan cilik dan berbagai jenis prestasi cilik lainnya.


Penutup

Anak-anak butuh rumah sebagai tempat mengekspresikan dirinya sebagai anak-anak. Di rumah ia bisa bermain bersama adik, kakak dan orangtuanya. Di rumah pula ia bisa belajar memperbaiki hidup saat memecahkan gelas secara tidak sengaja, atau saat mencubit pipi adiknya hingga menangis.

Hanya di rumah. Sekali lagi, hanya di rumah lah anak-anak belajar nilai-nilai etis secara praktis yang kelak bisa ia kembangkan ditengah teman-teman bermainnya, di sekolah dan di lingkungan lainnya. Sebab, energi dan denyut kegairahan anak-anak selalu bermula dari rumah.

Dari rumah lah anak-anak itu belajar memahami betapa sopan santun itu penting dan kehangatan orang tua itu adalah segalanya. Akhirnya, seluruh prestasi dan keajaiban yang diciptakan oleh anak-anak selalu bermula dari rumah, dari keluarga.

Rumah yang dimaksud ialah rumah yang dihuni oleh ayah dan ibunya, bukan sekedar rumah tempat ayah-ibunya “singgah” di malam hari, tepat di saat anak-anak telah terlelap. Juga bukan di rumah di mana anak-anak berangkat sekolah tak pernah diantar, bahkan mendapat salam dan peluk cium dari ayah-ibunya.

Di sinilah letak pentingnya kesadaran para orang tua bahwa anak-anak mereka tak perlu digas dan digegas agar cepat mentas demi memuaskan hasrat mereka sendiri. Maka, kembalilah menjadi keluarga yang normal !

Kalau Anda merasa tidak mampu memenuhi hak-hak anak berdasarkan Child Rights, yakni menghindarkan anak-anak dari abuse (diperlakuan secara kejam/disiksa), neglect (diabaikan), dieksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak lainnya, maka ada Yesus Kristus yang selalu merindukan mereka, “Biarkan anak-anak itu datang padaku....” (Mrk 10:14).


(diterbitkan di majalah MENJEMAAT edisi Juli 2016)

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.