iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Gubernur Pelari

Gubernur Pelari

Anda pasti ingat Sandiago Uno di awal pencitraan dirinya. Sangkin semangatnya berlari, Sandiago lupa kalau celana training yang dipakenya "saltum" alias salah kostum hingga terlihat seperti penari balet.

Entah karena terlalu jauh berlari hingga lupa mengerem langkahnya, akhirnya Gerindra dan PKS pun memberinya rem yang sepertinya masih pakem. Namanya Anies.

Si pelari dengan celana kendor yang suka diledek netizen itu pun terpaksa digeser jadi nomor 2, dari balongub DKI menjadi balonwagup DKI.

Entah karena Gerindra dan PKS takut kelak "atlitnya" suka salah kostum, Sandiago pun digeser, tapi tidak disingkirkan. Tentu saja karena Sandiago pati sudah memberi banyak mahar kepada dua partai yang mensponsorinya.

Karena jabatan itu sesuatu yang dipandang banyak orang sangat penting dan memberi kenikmkatan, maka si Pelari rela turun tahta menjadi pilihan kedua seperti nasib Rio Haryanto, pembalap Indonesia yang diturunkan oleh sponsornya.

Begitulah Anies dan Sandi akhirnya menyatu, bagai roda dan rem. Sandi diharapkan jadi pedal gas, dan Anies jadi rem yang mengontrol kecepatan.

Lihatlah Program Kerja yang mereka tawarkan: Sandiago ngegas mengusik amarah Ahok dengan isu-isu SARA dan soal harga kebutuhan warga, dan Anies mengerem kemarahan warga Kampung Duri yang direlokasi Ahok dengan menjanjikan solusi yang lebih baik.

Gubernur Pelari



Lalu datanglah pelari baru, dengan tampang gagah karena berlatar militer. Profesinya tentu saja bukan seorang atlit pelari. Baginua, sebagai anggota TNI, berlari itu kewajiban, dan kesatuannya selalu berharap agar kewajiban itu kelak menjadi kebiasaan anggotanya.

Mayor Agus Harimurti Yudhoyono, itu nama lengkapnya. AHY itu resume yang dipopulerkan untuknya. AHY ini anak sulung, sang pewaris tahta mantan presiden ke-6, SBY.

Agus memang sudah biasa berlari. Lazimnya, semua tentara harus begitu. Apalagi disaat TNI kita kekurangan senjata dan perangkat militer kita sudah banyak yang aus, dan merasa sayang membuang peluru saat latihan perang, maka maka satu-satunya latihan yang masih rutin dilakukan adalah berlari.

Berbeda dengan Sandi yang lari tanpa target, AHY justru selalu berlari dengan target. Ia ingin menjadi seperti yang diinginkan ayahnya.

Agus sadar kakau ia punya tugas dari PD, PAN, PKB dan PPP untuk berlari mengejar Ahok yang sudah jauh di depan. Para sponsor itu yakin dengan kekutan AHY, laju Ahok-Djarot tak mustahil bila dikejar. Kendati sesungguhnya, AHY sadar bahwa timing start yang jauh berbeda ia tak akan mampu berlari melewati Ahok-Dharot yang sudah lebih dulu sampati di garis Finish.

Program Agus pun sederhana: memperbaiki trotoar, tempat berlari. Tentu agar ia bisa berlari lebih kencang dan tanpa hambatan rusaknya trotoar. Karena program ini terlihat mungil, para sponsor yang berbasis di Cikeas pun meras butuh orang yang tahu cara Ahok berlari, dan jalur mana saja yang sudah dilewati.

Dipanggila Sylviana Murni untuk menemapi sang Mayor. Sponsor berharap kombinasi ini cukup ideal untuk menyiapkan fasilitas kepada para atlit pelari, khususnya AHY pasangannya. Untuk itu

Sylvi pun diharapkan oleh sponsor mengurusi bus dan alat transportasi agar pelari tak sepi, dan ada orang yang selalu meliput kegiatan sang bos.

Lihatlah bahwa program AHY-Sylviana lebih memediasi atas bawah, mendekatkan peliput dengan obyek yang selalu berlari.. atau dalam bahasa abstrak politisi, keduanya ingin program si miskin ke si kaya. Katanya supaya tak ada gap.


Gubernur Pelari

Sudah disinggung di atas. Ada dua pasangan yang sedang memulai start dan kini masih sedang berlari. Tapi beda dengan pasangan yang satu lagi. Pasangan Ahok-Djarot justru merasa sudah lelah berlari. Keduanya pun telah lama berhenti berlari.

Keduanya sadar bahwa hidup ini bukan sekedar berlari dan berlari, "Kita harus berhenti berlari saat ada berbagai realitas yang perlu dibenahi," itu kata Ahok kepada Djarot.

Ahok pasti banyak belajar dari bosnya di istana, Presiden Jokowi. Maka Ahok dan Dajarot, selama 3 tahun belakangan memang sedang memperbaiki apa pun yang mereka anggap harus diperbaiki.

Tentu belum semua, karena keterbatasan waktu. Maka Ahok-Djarot merasa masih butuh waktu untuk memperbaiki sebagian lagi yang butuh perbaikan. Nyatanya mayoritas warga DKI Jakarta punya harapan yang sama.

Ahok-Djarot pun disukai, karena ia tak terus berlari meninggalkan mereka yang sempat melihat keduanya saat berlari.

Ini yang disukai warga. Jadi, bukan karena Ahok sahabat Presiden Jokowi baukan juga karena Djarot seorang ketua di PDI-P. Dan hampir pasti warga DKI menyukai Ahok bukan karena ia Tionghoa dan Kristen.

Buktinya banyak ulama, termasuk para penjual "label halal" suka menghantui warga DKI dengan tuduhan mereka murtad dari agama mereka, karena menyukai Ahok-Djarot.

Suku, Agama, Ras memang bukan alasan dari siapa pun untuk menyukai pemimpin seperti Ahok yang agresif namun progresif, atau Djarot yang terlihat santai tapi selalu bertaji. Bahwa dua pasangan di atas merasa sudah mulai lelah berlari, maka mereka mencari strategi baru, yakni sambil mengajak warga yang mereka lewati sambil menaburkan isu SARA.

Ahok memang disukai warga Jakarta, bahkan warga di luar Jakarta, pun di berbagai belahan dunia. Dan khusus warga Jakarta yang konon katanya lebih rasional Ahok-Djarot itu tak ada duanya. Mereka berdua memang bukan pelari yang sedang mengejar mimpi.

Ahok-Djarot justru dipandang telah memberi bukti bahwa sebagian besar mimpinya dan mimpi warganya telah diwujudnyatakan; dan mimpi-mimpi lain dari warga DKI akan diwujudkan oleh keduanya lewat kerja nyata saban hari.

Akhirnya para calon pemilih harus menyadari satu hal, bahwa memilih pemimpin itu tak sekedar mencari atlit pelari karena mereka hanya terlihat sejenak sebelum berlari meninggalkan kita di belakang.

Mari jadikan Pilkada DKI dengan rasa Pilpres RI....

#AHYMataNajwa
#BasukiTjahajaPurnamaSaifulDjarot
#AniesBaswedanSandiaguUno
#AgusHarimurtiYudhoyonoSylvianaMurni


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.