iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tiada Maaf Bagimu, Ahok

Tiada Maaf Bagimu, Ahok

Wajahnya sembab. Tubuhnya bergetar dan mimik penuh ketulusan saat berucap, "Saya minta maaf kepada umat Islam." 

Lalu Ahok memandang seluruh hadirin yang menyambut maafnya dengan riuh tepuk tangan yang cukup lama. Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, "Sekali lagi saya minta minta maaf kepada umat Islam," saat ia didaulat ke panggung #MataNajwa yang sedang #UlangTahun7.

Di layar televisi aku fokus pada wajah Ahok. Wajahnya bening dan lugu seperti bayi yang sedih saat ditinggal ibunya barang sejenak. Tatapannya syahdu diiringi ekspresi ketulusan sosok pribadi yang sungguh merasa bersalah. Ahok pun menyalahkan dirinya, "Sekali lagi, saya minta maaf kepada umat Islam."

Tak hanya kala itu, di berbagai kesempatan, entah offline/off-air ataun online/on-air, setelah pengunggahan video sambutannya di Pulau Seribu oleh Buni Yani, telah puluhan hingga ratuasan permintaan maaf dari Ahok kepada saudara sebangsa dan setanah air yang beragama Islam dan merasa agamanya dinistakan oleh perkataanya.

Entah Anda, tetapi saat menonton acara #MataNajwa aku merasa larut dalam kesedihannya sembari merasakan pilu hatinya saat berujar, "Semua yang terjadi hari-hari ini adalah gara-gara saya... gara-gara Ahok."

Kepada dirinya ia seolah berujar tegas, 'Bila memang ucapanku telah menyulut amarah para pemeluk agama Islam, maka dengan penuh ketulusan aku meminta maaf dengan tulus dan berjanji tak akan mengulanginya.'

*****

Ahok memang politisi aneh, ganjil, tapi ajaib. Ia terlalu polos, terlalu hitam-putih dan tak menyukai wialayah abu-abu seperti kebanyakan politisi di negeri ini. Ia terlalu berani melawan arus dan tak suka kompromi dalam memperjuangkan nasib warga Jakarta yang ada di tangananya.

Toh, strategi kerjanya Ahok sangatlah jelas dan sangat mudah dipahami. Bukankah Ahok selalu bertutur dalam bahasa verbal yang kadang tak tertata sebagai runtutan subyek-predikat-obyek?

Bila di perusahaan, model kepemimpinan seperti ini biasanya disukai. Tapi, entah kalau di negeri ini. Sebab sistem kerja yang sederhana tetapi jelas ini sangat mempercepat laju kerja semua stakeholders: "Kalau salah ya salah. Kalau benar ya benar. Maka, kalau Anda salah dan kesalahan Anda sangat fatal, maka Anda harus dipecat.

Konsekuensinya, bila bawahannya bekerja dengan benar dan bertanggung jawab, Ahok akan memujinya dengan tulus, bahkan orang bersangkutan akan dipromosikan hingga karirnya melejit. Sederhana bukan?

Namun Ahok selalu menyadari ketika menemui beberapa bawahan yang "seolah-olah tak paham dan demi memuaskan rasa malas mereka" adalah buah dari sistem kepemimpinnan bossy yang sudah lama mereka hidupi. Di sisi lain, Ahok harus mengubah mentalitas "sing penting ngumpul neng kantor" ini. Semua harus gesit dan tanggap pada berbagai persoalan warganya.

Tak hanya bicara. Ahok memberi contoh. Lihatlah, sepanjang Ahok menjabat gubernur, emperan kantor Balaikota DKI Jakarta tak pernah sepi oleh warga yang meminta bantuannya, apalagi mereka seakan mendapat golden card untuk bertemu pemimpinnya secara langsung.

Anda pasti pernah menonton di televisi atau di Youtube tentang bagaimana Ahok begitu sabar menghadapi satu per satu warga yang ingin menemuinya. Agar tak mengganggu jam kantornya, ia pun rela datang lebih awal ke kantor serta sedia pulang lebih akhir setelah jam kantor usai.

Ini aneh dan berbeda. Sebab kebanyakan pemimpin dengan jabatan tinggi di negeri ini selalu merasa telah bekerja hanya dengan mempertontonkan telunjuknya saat mengatur bawahannya. Tapi Ahok, tidak. Ia justru bertanya secara detail apa yang dihadapai warganya, demi memudahkan tugas bawahannya.

Namun bila asisten atau bawahannya justru ingkar pada tanggung jawabnya, dan menyangkal apa yang telah ia janjikan kepada warga DKI Jakarta yang meminta bantua, maka Ahok akan segera murka. Lagi-lagi kita semua tahu ledakan emosi Ahok saat marah: "Lu gimana sih? Bisa enggak sih melayani rakyat? Kalau enggak bisa kasitau gue dong. Udah, gue enggak mau tahu, pokoknya persoalan ibu/bapak X ini harus selesai besok!"

Tak heran bila Ahok dipuja rakyat DKI Jakarta. Tak hanya itu, ia bahkan masyur di seantero pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke. Ajaibnya, daerah-daerah diluar DKI Jakarta itu justru berharap Ahok bersedia menjadi kepala daerah mereka.

*****

Hanya saja, kehadiran sosok pemimpin seperti Ahok tak lantas disukai semua orang, apalagi teman-teman sejawatnya, para pejabat dan politisi, terutama mereka yang selama ini seakan terjun bebas saat menjual "tanda tangan" mereka kepada perusahaan-perusahaan bonafit demi mendapatkan bonus dan menambah koleksi fulus mereka.

Sedihnya, lawan-lawan politik Ahok sangat banyak jumlahnya. Mereka itu bak gerombolan penjahat yang bersekongkol menentang siapapun "pemimpin yang berlaku jujur hingga menyia-nyiakan kesempatan mendadak kaya karena ada peluang korupsi".

Belum lagi selama ini warga Jakarta selalu "dimanja" oleh pemimpin sebelumnya, lewat Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam bentuk uang cash agar si miskin tetap abadi dalam kemiskinannya serta tetap betah dalam kelusuhan tempat tinggalnya.

Kedua kelompok ini, baik politisi maupun warga bermental peminta-minta tadi, sama-sama sulit dihadapi. Bila si politisi yang terbiasa koruptor akan mengatur strategi pemakzulan ala preman Tanah Abang, maka si miskin tadi akan mengumbar tangis pilu di depan kamera televisi yang menyorotnya.

Menghentikan Ahok secara membabi-buta oleh jejaring pejabat nakal yang selalu bekerja sama dan "berbagi jatah" uang tilepan mereka biasanya didasari oleh hasra mereka menutupi biaya kampanye saat mencalonkan diri, juga demi memenuhi janji memberikan apa pun kepada sang istri.

Mereka inilah yang rela tak tidur, rapat sembunyi-sembunyi, berbagi strategi lewat telepon dan media sosial dengan sesama mereka demi membangun opini "Ahok telah merusak Jakarta dan telah menjual Jakarta kepada negara Tiongkok" di tengah publik.

Tak hanya itu. Mereka juga rela menyambangi balaikota saban hari dan mengirim mata-mata ke setiap tempat di Ahok berada. Tujuannya tak lain adalah untuk mencari kelemahan Ahok agar kelak ia mudah diusir dari DKI Jakarta.

Sepintas mereka tampak berhasil. Kecerebohan Ahok saat berbicara, yang merupakan kekuatan sekaligus kelemahannya, mereka jadikan sebagai gerbang awal untuk membantai Ahok. Kelompok ini memang sangat tahu karena telah menyaksikan sendiri bahwa Jakarta telah berubah lebih baik saat ditangani Ahok.

Adalah ucapan spontan Ahok saat memberi sambutan di Pulau Seribu menjadi pemicu, apalagi ada Buni Yani yang mengedit dan menghilangkan kata tertentu dari ucapan asli Ahok. Bisa jadi, saat mengucapkan kritiknya tentang para pemimpin agama yang suka selingkuh dengan politik itu Ahok berpikir bahwa warga Jakarta sudah sama kualitasnya dengan warga Singapura, London atau New York yang rasional.

Faktanya, tidak. Warga Jakarta dan warga Indonesia sejauh ini memang masih sensi, mudah marah tapi tak mampu membendung amarahnya sendiri. Belum lagi amarah mereka justru dimediasi hingga difasilitasi pasukan anti-Ahok sebagaimana telah disinggung di atas.

Ahok pun dilaporkan, di demo, dituntut agar segera dijebloskan ke penjara. Aneh bin ajaib, massa yang membawa agama dalam kepentingan politiknya itu justru dituruti Polisi. Ahok pun dijadikan Tersangka, kendati tak ditahan karena ia sangat kooperatif. Hingga tulisan ini dipublikasi, kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok masih dalam proses.

Kasus Penistaan Agama dengan tersangka Ahok ini pun mendapat sorotan media dari berbagai belahan dunia. Dunia menyayangkan mengapa pemimpin sekaliber Ahok justru disingkirkan secara sistematis dan dijadikan kurban sembelihan yang tak mengembik saat disembelih.

Untung saja DKI Jakarta masih dihuni banyak orang waras, rasional dan obyektif dalam menilai sesuatu/seseorang. Berbagai kalangan pun berdatangan memberikan dukungan, memperlihatkan kecintaan mereka kepada gubernurnya, sembari berharap agar Ahok terpilih kembali menjadi gubernur untuk periode keduanya.

Di pihak lain, para lawan politik Ahok malah berharap agar Ahok segera "tersingkir dari pencalonannya sebagai calon gubernur DKI 2017" agar keran uang negara bisa mereka buka kembali.

Mereka pun menghukum Ahok secara psikologis, yakni dengan mengkonversi nama ahok sebagai "si penista agama" sebagaimana selalu ditayangkan sebuah tivi swasta. Mereka berharap Ahok disibukkan oleh kasusnya hingga lupa pada pencalonannya.

Sungguh mereka tak punya pilihan kecuali menyingkrikan Ahok dan menganggap permintaan Ahok sebagai angin lalu. Sebab bagi mereka Ahok tak boleh diampuni, apalagi dimaafkan.

Kini, mereka sedang berdendang bersama Yuni Sara, "Tiada Maaf Bagimu!" bak seorang istri pejabat yang memutuskan untuk meninggalkan suaminya hanya karena sang suami tak sudi korupsi.

Tiada maaf bagimu, Ahok!


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.