iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Mangadati Lewat Video Streaming

lewat_video_streaming
Foto: Facebook CMVE
Seorang teman, sebut saja namanya Bornok. Ia pria Batak yang baik. Beberapa tahun lalu ia menikah di Jawa, dengan gadis Jawa, dipestakan dengan menggunakan adat Jawa. Karena keduanya sama-sama Katolik, maka sebelum pesta adat, mereka terlebih dahulu diberkati di Gereja.

Oh ya, keduanya sudah memiliki sepasang anak yang satu cowok ganteng dan satu lagi cewek cantik. Tentu saja, karena perkawinan mereka sudah berusia sepuluh tahun.

Pada awalnya, ayah-ibu Bornok tak terima anak sulungnya (si akkangan) menikah dengan "boru sileban" (orang diluar suku Batak), apalagi dipestakan dengan adat sileban pula.

Nyatanya Bornok yang asli Anak Siantar itu tak pernah pulang. Boro-boro memperlihatkan cucunya, ia justru selalu takut untuk pulang. Untung saja, seiring waktu, sang ibu yang tadinya tidak terima keadaan tersebut, datang sesekali ke Jawa melihat "pahompu panggoaran"-nya (cucu pertama dari anak pertama).

Seorang teman Bornok pernah menanyakan perihal jarangnya si Bornok pulang kampung, "Nok, kenapa kau tak mau pulang? Apa kau tak rindu sama mamak sama bapak kau?"

Bornok hanya menjawab, "Kepengen sih pulang, sekalian memperkenalkan istriku kepada keluarga besar di kampung. Cuma, kata mama dan bapa, kalau mau pulang sekalian saja "Mangadati" (meresemkian perkawinan secara adat Batak)."

"Loh, bagus tuh Nok. Bukannya keren banget tuh pulang sekalian pesta. Hmm, tapi masalahnya apa sih sampe kau tunda-tunda?" tanya temannya iseng.

Bornok tertawa ringkih. Kalkulator di otaknya langsung menyala.

"Pura-pura tak taunya lae soal pesta kita orang Batak ini. Bisa lae bayangkan berapa ongkos keluarga saya dan istri, 2 anak, sepasang mertua. Ini baru soal ongkos, lae. Tak mungkin pula kita cuma sehari di kampung. Banyak ritual adat yang harus kita ikuti, mulai dari penyematan marga ke istriku oleh pihak hula-hula hingga ulaon mangadati. Itu saja sudah harus acara makan-makan segala.

Pokoknya entah apa lagi lah itu. Masih ada beberapa acara yang tak kuingat namanya. Kuhitung-hitung, kalau cuma 100 jutaan bisa jadi tak cukuplah. Itu makanya dua tahun terakhir aku sedang mengumpulkan duit dulu, biar bisa bisa pulang sekaligus mangadati di kampung sana," kata Bornok dengan nada pusing.

Dengan perasaan sok tahu, temannya menanggapi,
"Ngapain pula kau pusingkan itu, Nok? Kata orang Batak, Basa do Tuhan i, Allah mahabaik. Lagi pula soal pesta adat tadi, enggak mesti besar kalilah hingga mengundang seluruh penduduk Sumatera Utara. Karena kau udah menikah dan punya anak, maka pestanya sederhana aja. Lagian semua itu kan soal simbol saja."

"Mana bisa gitu lae. Macam tak tahu pula lae kalau halak hita (orang Batak) itu suka pesta. Mereka tahunya kalau kita perantau ini banyak uang. Bagi halak hita, pesta perkawinan itu seringkali dikait-kaitkan dengan harga diri dan status sosial. Mampuslah awak kalau gitu. Kerjaan awak, bukannya direktur Pertamina. Cuma karyawan nya awak di Jawa ini."

"Loh bukannya orang Batak itu kalau mau pesta dibiayai bersama oleh seluruh anggota keluarga pihak laki-laki? ' tanyaku.

"Biar lae tau ya, kalau sesama Batak bertanya "Andigan do pesta i" (kapan menikah) itu harus dimaknai sebagai "Kapan kau mentraktir / membuat kami senang".

Walaupun di mulut mereka selalu bilang, "Kalau soal uang itu gampanglah itu", tetapi sebetulnya hitung-hitungan ekonomis (distribusi uang masuk dan uang keluar) di pesat Batak itu sangatlah jelas," kata Bornok mengenai kerisauannya.

Menikah memang bukan hal mudah, apalagi Anda sebagai orang Batak. Selain mencari pasangan, Anda harus siap-siap mencari uang sebanyak mungkin untuk membiayai pesta. Memang tak dipaksakan harus mengadakan pesta besar (mangadati).

Tetapi, seperti kita ketahui, semua orang Batak tampaknya satu keluarga. Perkawinan dalam adat Batak sangat sentral posisinya.

Selain untuk meneruskan keturuanan (godang anak dohot boru), juga karena perkawinan itu menyangkut ikatan sosial dari dua pihak keluarga. Jadi bukan melulu perkawinan dua orang.

Tak hanya di Batak, di banyak daerah lain di Indonesia, upacara adat perkawinan selalu membutuhkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Banyak orang Tionghoa, Manado, Sunda, Jawa, Padang, dst yang ada di kota-kota besar rela berhutang kesana kemari hanya demi menikah di hotel besar. tentu saja apa yang dilakukan orang-orang ini hanya sebagai ambisi pribadi.

Bagi orang Batak pun sama. Besar kecilnya pesta kerap kali terkait dengan gengsi keluarga. Maka untuk menghibur diri sendiri, orang-orang Batak yang tak punya uang -- seperti teman dalam cerita di atas -- harus rela mengantri, mengumpulkan uang yang banuak dulu agar bisa "diadatkan" alias menginaugurasi perkawinannya seturut adat Batak yang melekat sebagai identitasnya.

Untuk mengatasi kerisauan Bornok, temannya pun memberi usul,
"Sudah tak apa-apa. Jangan takut soal uang kalau harus mangadati. Karena sekarang acara mangadati pun sudah bisa lewat video call. Yang penting jangan lupa isi kuota internet aja, karena saya sudah undang raja parhata (MC) dari sini, juga segala jenis ulos sudah kupinjam, Nok.

Sekarang kau tinggal pilih, mau mengundang siapa: pastornya mau siapa, mau undang Ignatius Jonan sekalian, bisa juga kita atur. Nanti kita hubungi dan rekam ucapan selamat dari mereka. Terus, soal mangulosi (memberi ulos) itu kau tidak usah kuatir, karena semua pihak Hula-hula, Boru dan Dongan Tubu akan kita hubungi via video call juga.

Makanya, lae santai aja ya.... hahahaha... #SaiNaAdongDo


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.