iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Sistem Pendidikan vs Realitas Keseharian Kita

Sistem Pendidikan vs Realitas Keseharian Kita
Pengetahuan seringkali lahir dari kebiasaan

Banyak guru mengalami kesulitan untuk membumikan ilmunya. Terutama guru pemula. Mereka kerap masih tinggal di "langit" ketujuh (merasa dirinya masih seorang mahasiswa) dan tak sudi down to earth.

Mereka ini, secara tidak sadar justru semakin menjauhkan ilmu pengetahuan dari realitas, kenyataan yang terjadi setiap hari, dan dari pengalaman nyata anak-anak didiknya.

Kita bisa maklum, terutama saat tuntutan kurikulum kerap memporak-porandakan pikiran mereka. Seturut kurikulum, tumpukan teori dari setiap bidang studi pun harus mereka bebankan kepada siswa, tanpa ada waktu untuk menerapkan, bahkan tak membuka ruang untuk mempertanyakannya.

Kini, sangat jarang kita temukan guru Matematika yang menjelaskan bahwa "titik koordinat" dalam garis bilangan itu sebagai titik berangkat (start) kita dalam mencapai tujuan. Tak ada lagi guru yang kreatif mengatakan bahwa jembatan di atas sungati itu ibarat titik 0,0 dalam silang koordinat.

Tak ada lagi guru Bahasa Indonesia yang menyempatkan diri menjelaskan bahwa tata kalimat S-P-O-K itu sebagai cara subyek memperlakukan obyek dalam hidup nyata.

Bahkan sangat jarang kita temukan seorang dosen Ekonomi yang mampu menjelaskan kaitan antara "harga sebuah barang" dalam korelasinya dengan kebiasaan inang-inang di pajak (Medan= pasar) membombardir penjual dengan tawaran yang sangat rendah.

Masih banyak contoh lain yang menjelaskan betapa para pendidik itu seringkali tak mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang mereka ajarkan dalam kaitannya dengan pengalaman nyata atau dalam keseharian anak-anak didiknya.

Padahal, salah satu tujuan orang belajar adalah agar ia mampu melihat realitas secara baru. Artinya, ia harus mampu mengubah paradigma anak didiknya dalam melihat dan memaknai realitas.

Pendek kata, bila pendidikan kita bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, maka lulusan sekolah dan universitas semestinya harus mampu membantu masyarakat yang tak mampu mencicipi pendidikan formal di sekolah atau universitas.

Sayangnya, banyak lulusan SMA atau sarjana justru merasa kikuk saat memasuki dunia kerja. Seorang bapak marga Limbong di Pangururan bertutur tentang pengalamannya bekerja di pabrik tekstil.

Limbong adalah lulusan STM Mesin. Ia sudah 10 tahun bekerja di sebuah pabrik tekstil di Purwakarta. Lalu pada tauhun 2002 manager yang membawahinya sebagai kepala divisi mesin digantikan oleh seorang sarjana teknik mesin dari insititut teknologi terbaik di Bandung.

Suatu ketika mesin produksi bermasalah. Itu berarti target produksi akan berantakan pada hari itu. Manager baru, yang memang baru lulus sarjana teknik itu langsung memarahi Limbong, sembari menjelaskan perihal macetnya mesin produksi tadi dengan segala teori yang ia pelajari.

Hampir setengah jam ia berceloteh dan memberi instruksi kepada Limbong, tentang apa yang harus ia lakukan. Tentu, semua berdasarkan teori yang ia pelajari. Limbong tak melawan. Ia manggut-manggut pertanda setuju. Ia menuruti perintah si bos. Apa yang terjadi sesudahnya?

Mesin tetap bermasalah alias belum "pulih" seperti sediakala.

"Pak, boleh saya memperbaiki mesin produksi ini dengan caraku?" tanya Limbong sopan. Karena sudah kehabisan teori, sang manager mengamini Limbong. Singkat kata, Limbong berhasil memperbaiki mesin dalam waktu yang sangat cepat, hingga mesin produksi itu kembali beroperasi seperti sebelumnya.

Tak lama setelah mesin menyala, Limbong dipanggil sang manager, "Apa yang kau lakukan tadi? Kamu kok bisa memperbaiki mesin itu dengan cepat?"

Dengan santai, Limbong menjawab, "Saya hanya memperbaiki yang bagian yang rusak pak. Sementara bapak tadi menyuruh saya untuk mencari bagian mana yang rusak. Itu juga berdasarkan teori yang saya tak mengerti."

"Lantas apa kesalahan saya, bang Limbong?" tanya sang manager dengan kalimat yang lebih sopan.

Limbong menjawab sekenanya. "Lain kali pak, kalau ada mesin rusak, bapak jangan terlalu sibuk mencari bagian mana yang rusak. Karena berdasarkan pengalaman saya, bila sebuah mesin bermasalah, maka itu tak lantas berarti seluruhnya bermasalah. Hanya sebagiannya saja yang bermasalah. Masalahnya, saya menguasai mesin ini, dan sudah 10 tahun saya bekerja menggunakan mesin ini, pak. Artinya saya sudah menguasai setiap elemen di dalamnya. Maaf ya pak, ketika bapak masih kuliah, bapak hanya belajar tentang mesin. Sedangkan saya sudah biasa bekerja dengan mesin. Itu loh, pak."

Sang manager hanya terdiam. Ini pengalaman baru baginya. Tadinya, begitu lulus sarjana, ia merasa dirinya akan menjadi malaikat bagi perusahaan manapun yang menggunakan jasanya. Artinya, menurut anggapannya, ia akan diterima bekerja di pabrik manapun yang ia mau, karena pabrik itu membutuhkan kemampuannya. Ya, karena pabrik itu butuh malaikat yang menyelamatkan produksi mereka.

Perkenalan dan kerjasamanya dengan Limbong justru berkata lain. Ia malah merasa diri sebagai mahluk asing dan aneh (alien) yang hanya tahu teori memperbaiki mesin, tanpa mampu langsung memperbaikinya.

Begitulah yang terjadi. Sistem pendidikan kita yang jamak dengan berbagai teori ini dan itu, pada akhirnya tak sinergi dengan realitas di lapangan, di tempat kerja. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa pendidikan formal itu tak penting?

Tentu saja penting. Pendidikan itu bahkan sangat penting. Hanya saja harus ada perubahan paradigma dari siapa saja yang berpendidikan.
  • Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka ia semakin banyak belajar teori, dan sesekali praktik. Untuk itu penting dibangun kesadaran ini: bahwa semakin banyak ia tahu maka semakin banyak pula hal yang ia tidak ketahui. Ini adalah gerbang bagi kerendahan hatinya.
  • Kedua, seseorang yang berpendidikan tinggi diandaikan tahu banyak hal. Menempatkan posisi sebagai orang yang tahu banyak hal ini memiliki dua konsekuensi: (a) memposisikan diri serba tahu tanpa belajar lagi, (b) semakin terpicu untuk belajar sesuai tuntutan tadi. Silahkan Anda pilih sendiri.
  • Ketiga, bila di sekolah dan di kampus kita terbiasa belajar berbagai hal-hal secara ILMIAH, maka bergaullah agar kita sadar bahwa hidup selalu berjalan ALAMIAH. Sebab, tegangan antara yang ilmiah dan alamiah hanya bisa dituntaskan dalam pergaulan dengan siapa saja.
Dengan cara inilah, seorang alumni SMA atau sarjana yang telah terbiasa dididik di sekolah/kampus dengan sistem hafalan tadi akan semakin diperkaya bila ia tetap membumi, minimal mampu membumikan ilmu pengetahuannya kedalam realitas sehari-harinya.

Hanya dengan cara inilah tegangan antara teori dan realitas harus bersinergi, dan kelebihan orang sekolahan terletak pada caranya memahami realitas, tepatnya kemampuannya menganalisa, mengaktualiasai dan mengkontekstualisasi realitas di sekitarnya. Semoga.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.