iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Saatnya Kita "Bebas Untuk" dan Bukan "Bebas Dari"

Mungkin saja segala kekacauan yang terjadi di negara kita pada saat ini merupakan puncak dari teriakan kebebasan mengeluarkan pendapat saat demonstrasi menurunkan Soeharto pada tahun 1998.

Saat ini negara kita masih berkutat di seputar kebebasan negatif atau "bebas dari", yakni sebuah kebebasan yang diperjuangkan secara individual maupun secara kolektif sebagai akibat dari penindasan dan pembungkaman penguasa atau pihak yang berkuasa atas mereka. Bayangkan saja, ada pemimpin yang mengatakan bahwa bangsa asing masih menjajah pribumi.

Perasaan sedang dijajah tersebut di atas justru melahirkan ketakutan, bahkan melahirkan syak wasangka antara masyarakat kita sendiri: siapa pribumi dan siapa non pribumi.

Hal ini sejajar selaras dengan apa yang terjadi di era Orde Baru, tepatnya saat di mana ketidakpuasan pada apa pun yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintahan Orde Baru.

Reformasi 1998 hingga saat ini adalah masa emas di mana kita bebas sebebas-bebasnya mengungkapkan pendapat.

Perlahan dan pasti, seturut hasrat manusia yang tak pernah puas, kebebasan negatif tadi justru berakibat pada penindasan dan pembungkaman kebebasan orang lain.

Lihatlah demonstrasi besar-besaran yang tak hanya memacetkan ibukota, tetapi juga menakuti banyak orang hingga bolos kerja, hingga perusahaan dan pekerjanya harus menanggung rugi karena ketakutan.

Ketidaksadaran kita pada bahaya kebebasan negatif justru menggiring negeri ini diambang perpecahan, tepatnya ketika paham radikalisme semakin mendapat tempat, dan si mulut besar semakin berkeliaran.

Kini, negara kita sedang diuji hingga pemerintah pun "terpaksa masuk kedalam dilema: membiarkan atau membuat undang-undang yang tegas tentang cara mengungkapkan kebebasan oleh individu/kelompok.

Persoalannya, masyarakat kita terlalu lama tinggal dalam euforia kebebasan negatif hingga lupa mengekspresikan kebebasan positif atau "kebebasan untuk" dalah kehidupan bernegara dan bermasrakat.

Mentalitas "senang dijajah" secara psikologis justru memperluas subur bagi kebebasan negatif, seperti bebas dari aturan pemerintah, lolos dar kejaran polisi saat razia, dan bebas dari segala bentuk penjajahan.

Maka, semoga kita semua menyadari, bila bangsa ini ingin maju, kita semua harus lebih mengutamakan kebebasan postif atau kebebasan untuk berkreasi dan menciptakan hidup yang lebih bersahabat.

Semoga.

Lusius Sinurat