iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Pilkada dan Pidato Agitatif Sang Politisi Micin

Pilkada dan Pidato Agitatif Sang Politisi Micin
Sumber: Internet
Hari-hari ini, para calon gubernur dan calon kepala daerah sedang berjualan kata-kata selama mengisi kampanye. Pidato-pidato yang bernuansa agitatif pun semakin sering terdengar di telinga kita.

Misalnya saja, "Propinsi Sumatera Utara adalah daerah yang besar dan sangat potensial posisinya dalam Perdagangan Bebas Asia Tenggara (AFTA). Kebesaran itu tentu hanya akan bertahan bila rakyat mampu memilih pemimpin yang tepat untuk memajukan daerah multikultural dan multireligius ini.

Lantas, siapa pemimpin yang paling memahami Sumut? Tentu saja pemimpin yang lahir di Sumut sendiri. Hanya dia yang mampu menggiring daerah ini menjadi propinsi yang hebat dan bermartabat."

Pidato di atas adalah contoh pidato agitatif. Pidato agitatif yang dimaksud ialah pidato yang bertujuan untuk mengobarkan semangat dan memperkuat mental pendengar untuk melakukan sesuatu. Di jaman kemerdekaan, pidato model ini memang sangat cocok, terutama saat menggerakan massa untuk bersama-sama melawan musuh yang sama.

Itulah yang dilakukan Presdien Soekarno, yang ulung, unggul dan memukau saat berpidato. Asal tahu saja, gaya berpidato Soekarno itu tak datang dari langit. Menurut Adam Malik (mantan wapres eras Soeharto), gaya berpidato Soekarno dipengaruhi gaya berpidato para politisi Amerika di awal kemerdekaan, yang diperkaya dengan berbagai literatur yang dibacaranya dan dilengkapi oleh pengalaman pribadinya saat turun ketengah rakyatnya .Tak hanya itu, Soekarno juga punya kharisma yang terpancar dari dalam dirinya.

Tak mengherankan ketika ia mampu mengajak masyarakat Indonesia untuk meninggalkan sebentar aktivitas kesehariannya demi mendengarkan pidato-pidatonya. Tentu saja, karena ia mampu menata kalimat dengan makna mendalam, menyapa pendengar hingga menggerakkan mereka untuk melakukan apa yang dimintanya.

*****

Saat ini, banyak politisi micin yang kini sedang bertarung dalam Pilkada memaksakan diri menjadi alter Soekarno alias Soekarno yang lain. Segala atribut yang dipunya Sukarno pun ditiru, mulai dari baju putih hingga peci dan tongkat yang dimistikkan.

Mereka berpikir bahwa dengan cara itu mereka akan menduplikat Sukarno era millenial. Dengan cara itu pula mereka bertekad mengimitasi Sukarno, tetapi sayangnya mereka tak suka membaca dan hingga kosa kata mereka selalu cetek alias dangkal.

Mestinya, sebelum meniru Soekarno, mereka terlebih dahulu mengikuti saran Soekarno,
Membacalah, karena dengan membaca, kau bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh besar di dunia.
Para PEMIMPI yang ingin jadi PEMIMPIN itu lupa bahwa Soekarno tak bisa diduplikat. Bahkan Megawati sekalipun tak mewarisi seluruh kemampuan Soekarno saat berpidato. Nah, upaya meniru gaya orasi Soekarno oleh para politisi micin tadi lupa bahwa Soekarno bukanlah sekedar seorang pemimpin biasa.

Soekarno adalah pemimpin dengan pemikiran seorang filsuf. Ia sangat mencintai Ilmu Pengetahuan dan gemar membaca Dengan berbagai referensi yang dibacanya ia turun ke lapangan, melihat realitas yang terjadi dan menuntaskan segala kebuntuan yang dialami rakyatnya melalui hipotesa-hipotesa yang ia baca dalam buku.

Sebaliknya, para peniru Soekarni hari-hari ini justru datang dengan tumpukan dolar dan rupiah yang ia warisi atau ia kumpulkan dengan berbagai cara yang tak wajar. Maka tak aneh ketika isi pembicaraan mereka selalu menyimpang dari substansi politik. Tentu, sebab mereka memang tak punya referensi. Tragisnya, ketidaktahuan itulah mereka sering memahami politik sebagai "peroses meraih kekuasaan lewat transaksi identitas, SARA, hingga transaksi iman dan keyakina."

Hasilnya, para politisi itu hanya mampu mengumbar jargon tanpa misi dan visi yang baik, hingga cenderung irrasional. Mereka inilah yang disebut oleh generasi Millenial sebagai PLOTISI MICIN, yang ingin segala sesuatu berjalan instan hingga tak perlu bekerja keras. Hampir pasti para politisi micin ini tak mau capek  berdialektika dengan berbagai literatur filsafat yang berjejer di rak bukunya.

Mereka yang tak suka membaca, baik membaca buku maupun membaca realitas secara detail pada akhirnya tak mungkin mampu menuntaskan persoalan rakyat secara tuntas.

Maka saran saya,
berhentilah berpura-pura menjadi Soekarno bila Anda tak mencintai buku dan tak pernah turun langsung ketengah masyarakat selain masa kampanye. Berhentilah memaksakan diri menyerupai Sang Putra Fajar dengan mengenakan peci hitam dan kemeja dengan saku besar, berpidato berapi-api dengan kerap menggerakkan tangan seolah memberikan penekanan pada ucapan Anda tapi dengan nada yang selalu menyalahkan pemerintah yang ada.
Sebab, sebagaimana ditekankan Soekarno di hadapan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 17 Mei 1956, demokrasi itu bukan sekedar slogan "pemerintahan oleh rakyat", tetapi sekaligus "pemerintahan bagi masyarakat" yang disampaikan secara naratif.

Seperti pernah ditegaskan Soekarno, demokrasi adalah sarana untuk memberi masyarakat "standar hidup yang laya", sebab demokrasi bukanlah cara meraih kursi kekuasaan, melainkan cara untuk mengangkat harkat dan martabat hidup orang banyak.


Lusius Sinurat