iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Politik Jonaha: Abai Pada Misi dan Visi Paslon

Politik Jonaha: Abai Pada Misi dan Visi Paslon

Kembali ke kisah Jonaha yang jenaka nan bodoh itu. Sebelumnya telah diciptakan kebiasaan Jonaha yang lugu dan jenaka (baca: Politik Jonaha: Kreativitas yang Mubajir.

Suatu hari pamannya mengajak Jonaha diajak Tulangnya ke tempat judi. Keduanya menunggang kuda milik sang Tulang. 

Sesampai di lokasi, seperti biasa, Tulangnya pun langsung bermain judi. Sembari bermain, Tulangnya minta diambilkan tempat sirih (kerapa disebut “Tagan” dalam bahasa Batak)-nya kepada Jonaha,

"Ambilkan tempat sirihku, Jonaha," pinta sang paman.
Jonaha menjawab singkat, "Hilang, Tulang. Tadi terjatuh dari kuda dalam perjalanan kita ke sini."

Sepanjang perjalanan tadi Jonaha memang melihat tempat sirih Tulangnya terjatuh. Tetapi ia tak menghiraukannya. Hal ini yang kemudian membuat Tulangnya murka, "Jonaha, lain kali, saat dalam perjalanan, apapun yang terjatuh dari kuda kau harus ambil, ya," kata Tulangnya dengan gestur ingin menampar Jonaha.

Jonaha manut saja. Esok harinya, dengan menunggang kuda Jonaha danTulangnya pergi ke tempat yang sama (tempat judi). Seperti biasa, Tulangnya meminta tempat sirihnya diambil sang bere (keponakan), Jonaha.

"Jonaha, ambilkan tempat sirihku!" perintah sang paman. Dengan semangat Jonaha pun memberikan barang yang diminta Tulangnya.

"Siap paman. Ini dia," jawab Jonaha polos. Saat menerima tempat sirihnya, sang Tulang mencium bau sesuatu.

“Apa ini, Jonaha?” tanya Tulangnya sembari membuka tempat sirihnya.

"Tahi kuda, Tulang,” jawab Jonaha polos.

Kali ini Tulangnya sangat murka, "Kenapa kamu masukkan tahi kuda ke tempat sirihku, Jonaha?”

Dengan nada enteng Jonaha menjawab, "Bukankah Tulang sendiri yang menyuruhku agar mengambil apa saja yang terjatuh dari kuda di sepanjang perjalanan? Nah, tadi aku melihat tahi kuda ini jatuh, dan tentu saja kuambil.”


*****

Misi dan Visi paslon yang didukung sangat jelas. Tak hanya visi, sasarandan program pun telah terpampang jelas di atas brosur sang jagoan. Bahwa isi misi, visi, sasaran dan program itu mengambang, itu soal lain.

Persoalannya adalah bagaimana para pendukung dan relawan mengimplementasi dari misi-visi-sasaran-program itu. Lewat postingan di media sosial, para pendukung yang kebetulan penikmat internet alias warganet itu berupaya mencari dukungan masyarakat dengan membahasakan ulang visi-misi-sasaran-program tadi.

Keterbatasan linguistik, ditambah lagi tak terlalu mengenal paslon yang didukung plus minimnya referensi dan literasi yang dibaca, maka implementasi dari visi-misi-sasaran-program tadi pun kerap menjadi keliru. 

Bahkan tak jarang bahwa penjelasan dari timses dan relawan tadi justru semakin mengaburkan intisari dari motto, misi-visi-sasaran-prorgam tadi. Akibatnya, bukan dukungan yang mereka dapatkan dari warganet lainnya, melainkan serangan dan cercaan yang akhirnya merugikan paslon jagoannya. 

Di sisi lain pemilihan kalimat yang paradoks, ambigu dan abstrak dalam motto paslon juga kerap menjadi alasan ketidakmampuan timses dan relawannya menjelaskan secara gamblang kepada masyarakat. Misalnya, “Semangat Baru Sumut” sebagai motto yang diusung dari JR Saragih – Ance Sailan seakan mengandaikan adanya “Semangat Lama Sumut” yang dipimpin gubernur sebelumnya.

Atau “Sumut Bermartabat”, motto yang diusung oleh Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (ERAMAS) mengandaikan bahwa selama ini Sumut yang dipimpin oleh para gubernur sebelumnya sungguh tak bermartabat.

Lain lagi dengan jargon Djarot-Sihar yang lebih rasional, karena meng-counter plesetan SUMUT (Semua Urusan Mesti Uang Tunai) menjadi “SUMUT (Semua Urusan MUdah dan Transparan)”.

Biarbagaimanapun motto atau kadang dibaca sebagai jargon ini sangat memenagaruhi calon pemilih mereka. Apalagi masyarakat kita yang semakin hari sudah semakin cerdas.

Publik tak lagi mudah terpesona oleh kalimat rumit yang memesona hinga membingungkan. Publik justru melihat persoalan politik sebagai persoalan nyata mereka; dan oleh karenanya dibutuhkan pemimpin yang realistis dan ucapannya mudah dipahami publik.

Sebab, motto atau jargon yang abstrak tadi sangat rawan diplesetkan, bahkan dijadikan sebagai kambing hitam atas tidak tuntasnya sebuah permasalahan yang dikerjakan.

Sudah terbukti, bahwa para pemimpin dengan jargon abstrak dan tak jelas itu tak mampu mewujudkan apa yang dikatakannya. Sebab, motto atau jargon yang tak jelas sering kali menjadi gerbang untuk nengkambinghitamkan orang lain.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.