iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Harga Pasaran Capres dan Cawapres

Harga Pasaran Capres dan Cawapres
Pemilihan cawapres dari kedua kubu yang sedang rebutan tahta di istana negara, Si Joko dan si Bowo sebetulnya biasa saja.

Normal aja tuh. Bahkan sangat wajar. Tak ada yang aneh, kecuali tafsir para pejabat partai, pengamat politik, penyiar televisi, dan terutama para relawan nyata (timses) dan relawan mata (buzzer).

Normal dan wajar, karena tujuan kedua capres sama saja : ingin menang. Walaupun petahana, Jokowi juga takut kalah.

Omong kosong kalau ada orang yang mengatakan Jokowi pasti menang. Lebih bullshit lagi kalau ada yang bilang Jokowi tak mau lagi jadi presiden.

Prabowo juga sama. Ia ingin menang, apalagi ia seakan sudah dilabeli spesialis capres dan cawapres kalah. Apalagi, Prabowo punya obsesi politik yang tak biasa.

Mungkin saja karena ia pernah dibuang dari status menantu Soeharto, dilengserkan oleh militer, bahkan sempat stress dan merasa buronan hingga ia melanglangbuana ke Jordania.

Maka, selama ia masih hidup, orang ini tak akan berhenti bermimpi jadi Presiden. Sama dengan seniornya, Soeharto dan SBY, Prabowo juga sengaja mendirikan partai demi mencapai tahta tertinggi yang ia idamkan di Republik ini.

Sungguh tak ada yang salah dengan ambisi orang yang dijuluki "Jenderal kardus" oleh Andi Arief ini. Selama ia punya keinginan personal, pendukung loyal dan uang segudang, ia tentu tak akan berhenti.

Singkat kata, sama dengan Jokowi, Prabowo juga kepengen menang dalam rematch kali ini.
******

Inilah yang memengaruhi keduanya dalam memilih wakil. Ya, itu tadi: supaya lebih banyak rakyat yang memilih mereka.

Kedua capres tahu kalau ekonomi adalah persoalan utama. Selain persoalan ekonomi, hedonis-hedonis agama juga jadi persoalan.

Keberadaan kaum hedonis agama, tepatnya pencari kenikmatan surga di bumi Indonesia tentu memengaruhi persoalan ekonomis, dan barang tentu terkait juga dengan persoalan politis: siapa presidennya

Semakin banyak ulama menuntut perhatian, bahkan dengan berbagai gerakan kasat mata dan demo besar-besaran. Ini mengubah pasar politik.

Presiden punya rakyat, tapi sebagian besar takyat itu sekaligus juga punya ulama yang memimpin mereka. Artinya, dalam Pemilu, ulama adalah pemasar yang dibutuhkan seorang presiden.

Ini seperti ungkapan, "kalau mau menangkap ular, pegang lah kepalanya, bukan ekornya". Memegang kepala para hedonis surga (menurut agamanya) akan serta Merta membawa ekornya, pengikutnya.

Realitasnya, Jokowi butuh ulama sebagai wakilnya agar rakyatnya yang juga ummat dari si wakil tadi menambah jumlah suaranya. Walaupun di luar panggung kita hanya diberitahu, "Jokowi itu bak nabi yang merangkul musuhnya".

Bagaimana dengan pemilihan Sandi Uno oleh Prabowo. Sama aja, tapi bukan pada personifikasi Sandi melainkan lewat partai pendukung yang tegas mengatakan bahwa "Sandi adalah santri post-modern".

Kita tak tahu bahwa di belakang panggung, orang-orang partai tadi memang dibayar untuk bicara, dan disumpah untuk tidak mengungkap kebenaran.

*****

Di titik inilah kita bisa mengerti, mengapa politisi ingin menjadi ulama, dan ulama malah kepengen menjadi politisi.

Jawabannya cuma satu: pedangang yang baik hanya menjual barang yang sedang diincar para pembeli. Saya, Anda dan kita semua yang digolongkan sebagai warga negara Indonesia adalah calon pembeli capres-cawapres yang tersedia.

Terserah Anda, mau Jokowi sang Petahana atau Prabowo yang sudah terbiasa merana di setiap pertempuran politiknya.

Lagipula, sejujurnya, siapapun presidennya itu tak lebih karena kita menganut konsep demokrasi. Sebab tak mungkin sebuah negara tanpa pemimpin.

Jadi pilih aja yang tersedia. Karena tidak memilih pun sama saja membiarkan salah satunya menang. Hari H pemilu tahun depan, anggap saja masuk kotak suara itu sebagai bagian dari hiburan: main petak umpet.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.