iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Teologi Perkawinan Pada Zaman Patrisi

Teologi Perkawinan Pada Zaman Patrisi

Para Bapa Gereja memberikan beberapa ajaran mengenai perkawinan Kristiani, kendati mereka belum memberikan larangan yang jelas dan universal terhadap persoalan perceraian dan perkawinan kembali. Walaupun Bapa Gereja menilai perceraian sebagai pelanggaran berat atas hukum Tuhan, kenyataan menunjukkan bahwa hal itu tetap dengan mudah terjadi. Iman Kristiani yang meyakini ketidakterceraian perkawinan bertahan “hidup bersama” dengan adat Yahudi dan Graeco Roman yang memungkinkan perceraian. (Joseph Martos, [..]: 407).

Dalam tiga abad pertama Kristianitas, para Bapa Gereja tidak berbicara banyak mengenai perkawinan. Pandangan tentang perkawinan ditinjau dari aspek kehidupan Kristiani, bukan institusi Gerejawi.

Para Bapa Gereja secara implisit menerima peraturan pemerintah yang mengatur perkawinan dan perceraian, sementara pembicaraan mengenai perkawinan dibatasi dalam kerangka pastoral.Para uskup tidak menyetujui perceraian, namun juga tidak menolaknya, bahkan juga untuk kasus perkawinan kembali.

Para uskup setuju bahwa perkawinan adalah institusi suci dari Allah, dan penyalahgunaan aktivitas seksual dan perceraian yang mudah adalah salah karena membawa pada imoralitas.

  • Ignatius dari Antiokia (John H. Miller, 1959:502) berpendapat bahwa orang-orang yang menikah dipersatukan atas persetujuan uskup, untuk meyakinkan bahwa mereka menikah karena Allah bukan karena untuk memuaskan nafsu.

  • Hermas berpendapat bahwa seorang wanita yang memiliki affair di luar perkawinan dapat ditinggalkan suaminya walaupun suaminya tetap hidup tidak menikah kembali.

  • Tertullianus menyangkal bahwa orang terkadang melupakan peran Roh Kudus selama bersetubuh.

  • Origenes juga menyatakan bahwa dalam kasus perzinahan seorang suami dapat menceraikan isterinya dan menikah kembali ketika isterinya tersebut masih hidup. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi pihak wanita.

Seorang isteri yang berzinah tetap tidak dapat menikah kembali. Injil bersikap tegas dalam melihat perkawinan Kristiani dalam konteks berkat ekaristi yang mendukung perkawinan Kristiani dalam komunitas.

Perkawinan Kristiani adalah persoalan personal dan keluarga, yakni kontrak pribadi dengan cara hidup “di dalam Tuhan”. Perkawinan adalah permanen kecuali setelah dijustifikasi secara rasional untuk dipisahkan, sehingga perkawinan kembali dalam kondisi perkawinan sebelumnya belum dipisahkan adalah perzinahan.

Klemens dari Aleksandria mengajar tentang perkawinan Kristiani untuk melawan kaum gnostik yang mengajarkan bahwa relasi seksual adalah kejahatan sehingga perkawinan harus dihindari. Menurut Klemens, perkawinan adalah suci karena itu merupakan kesatuan yang tertuju kepada Allah, yang kontraknya dilandasi kesungguhan hati dan kesetiaan. Relasi seksual tidaklah berdosa jika dilakukan dengan kontrol atau terkendali.

Origenes menambahkan bahwa perkawinan adalah rahmat Allah yang melalui hal itu orang mencapai keselamatan. Akan tetapi, Origenes juga tidak tegas dalam hal "wanita yang berzinah", tetapi nampak ambigu dalam kasus pria. Jadi, pada masa ini Gereja masih belum berbicara mengenai persoalan legal (sah atau tidak sah-nya sebuah perkawinan).

Di zaman Konstantinus, persoalan regulasi legal perkawinan dan perceraian masih diserahkan kepada pemerintah sipil. Perkawinan di bawah hukum Roma adalah suatu persetujuan timbal balik antara kedua pasangan, dan perceraian sampai ke pengadilan hanya ketika hal itu melibatkan perkara kepemilikan.

Konstantinus menetapkan hukum bahwa seorang wanita dapat diceraikan apabila ia berzinah, menjadi pelacur, mengedarkan obat atau racun, sementara seorang pria dapat diceraikan hanya apabila ia adalah seorang pembunuh, pengedar obat dan racun, atau pemerkosa.

Mereka yang melanggar aturan itu kehilangan hak atas properti dan tidak dapat menikah kembali, walaupun tidak ada sanksi tegas khususnya dalam kasus perceraian tradisional dengan persetujuan.

Dalam hal perceraian, para uskup tetap berpendapat bahwa hanya alasan ketidaksetiaan karena perzinahan yang dapat dijadikan dasar perceraian. Konsili Elvira di Spanyol melarang seorang wanita menikah kembali jika ia meninggalkan pasangan yang tidak beriman, namun tidak melarangnya untuk pria.

Konsili Arles di Perancis (314) menyatakan bahwa seorang pria muda yang memergoki pasangannya berzinah sebaiknya tidak menikah kembali, walaupun tidak dilarang.

Basilius dari Kaisarea (375) berpendapat bahwa Tuhan menegaskan orang-orang yang telah menikah untuk tidak meninggalkan pasangannya, kecuali dalam kasus perzinahan. Isteri tidak dapat meninggalkan suami yang tidak setia, namun suami dapat meninggalkan isteri yang tidak setia dan menikah kembali.

Ambrosius menjadi tokoh Gereja pertama yang menegaskan bahwa tidak ada satupun perkawinan yang dapat diceraikan oleh alasan apapun selain kematian pasangan. Perceraian dan perkawinan kembali dilarang walaupun terjadi kasus perzinahan.

Selanjutnya, Agustinus, murid dari Ambrosius, memandang perkawinan secara ambivalen (Joseph E. Kerns, 1964:188). Di satu sisi, Agustinus melihat perkawinan sebagai institusi sosial yang perlu untuk keberlangsungan hidup manusia yang dikuduskan Allah sejak awal penciptaan manusia pria dan wanita. Di sisi lain, Agustinus beranggapan bahwa keinginan seksual merupakan energi manusiawi yang berbahaya dan destruktif yang dapat merusak masyarakat apabila tidak dibatasi.

Agustinus menerima perkawinan sebagai sesuatu yang luhur, namun seks dilihat sebagai sesuatu yang buruk. Agustinus dipengaruhi oleh pemikiran filosofis stoa dan aliran manikheisme. Para filsuf stoa berpendapat bahwa impuls-impuls manusia yang kuat harus dikendalikan untuk mencapai kedamaian dan keseimbangan masyarakat, dan satu-satunya justifikasi terhadap hubungan seks adalah untuk memproduksi keturunan.

Kaum manikheis berpendapat bahwa seksualitas adalah kejahatan dan bahkan melarang perkawinan di antara para anggotanya. Sebagai jawaban terhadap serangan sekte sinkretisme (manikheis) itu, Agustinus memperkenalkan 3 (tiga) bona dalam perkawinan, yaitu: bonum fidei (fidelity), bonum prolis (offspring), dan bonum sacramenti (sacrament).
  • dengan Bonum Fidei ingin diungkapkan upaya agar dihindarkan dari hubungan seksual selain dengan satu pasangan.
  • dengan Bonum Prolis menegaskan bahwa anak harus diterima dalam cinta, diasuh dan dibesarkan dengan kasih, serta dididik dalam iman.
  • dengan Bonum Sacramenti menunjuk pada ketidakterceraiannya perkawinan.

Bagi Agustinus, sakramen inilah yang menandai dan membedakan perkawinan Kristiani dari perkawinan bukan Kristiani. Pandangan Agustinus mengenai sakramen dalam perkawinan turut mempengaruhi teologi perkawinan Kristen (Francis Schüssler Fiorenza dan John P. Galvin, [.]:643).

Agustinus berpendapat bahwa keinginan seksual adalah dosa, yakni akibat dari dosa asal, sehingga mereka yang terlibat dengannya bekerjasama dengan kejahatan dan hidup dalam dosa, bahkan dalam perkawinan sekalipun.

Gregorius dari Nyssa dan Johanes Krisostomus berpendapat bahwa hubungan seksual dan kemampuan melahirkan adalah akibat dari kejatuhan Adam dan Hawa dari rahmat, dan apabila mereka tidak berdosa, Tuhan akan memberikan anak cucu di dunia dengan cara lain.

Dalam bukunya On Marriage and Concupiscence II, Agustinus menegaskan bahwa "... Hanya mereka yang tidak menikahlah yang dibebaskan dari dosa. Mereka yang menikah hidup dalam dosa, walaupun kecil, ketika mereka melakukan hubungan seksual, tetapi mereka dapat dikecualikan jika mereka melakukannya untuk alasan yang benar" (Joseph Martos, [..]: 417; Agustinus, On Marriage and Concupiscence II, 21).

Bagi Agustinus, seperti halnya kaum Stoa, satu-satunya alasan sah untuk melakukan relasi seksual adalah untuk menghasilkan anak. Perkawinan bagi Agustinus menjadi suatu tanda yang kelihatan dari kesatuan yang tidak kelihatan antara Allah dan gereja. 

Apabila baptis membentuk jiwa dalam gambaran kematian dan kebangkitan Kristus, maka perkawinan membentuk jiwa dalam gambaran kesetiaan Kristus kepada Gereja. Sacramentum dalam perkawinan tidak hanya tanda sakral yang kelihatan dari realitas ilahi, tetapi menjadi ikatan suci di antara suami dan isteri, dan karenanya bersifat permanen.

Perkawinan tidak dapat dipisahkan selain oleh kematian pasangan. Perkawinan tidak dapat dipisahkan karena adanya kasus perzinahan sekalipun, karena tanda kesatuan yang tidak kelihatan yakni ikatan antara Kristus dan gereja masih ada. 

Agustinus dalam Konsili Karthago menegaskan secara jelas larangan untuk bercerai dan menikah kembali baik untuk pria dan wanita (Inosensius I menegaskan pula di kemudian hari bahwa mereka yang melakukan perceraian karena perjanjian timbal balik dalam hukum sipil, termasuk ke dalam pezinah jika mereka menikah kembali, baik mereka pria maupun wanita).

Agustinus memberikan ajaran bahwa perkawinan adalah sacramentum, tanda kesatuan antara Kristus dan Gereja, sekaligus kesatuan sakral antara suami isteri. Ikatan kesetiaan mereka tidak dapat dipisahkan selain oleh kematian. Sacramentum merupakan karakter dalam jiwa yang secara permanen mempersatukan pasangan suami isteri, dan kesatuan suami isteri itu kemudian menjadi simbol kesatuan abadi Kristus dan GerejaNya.

Perkawinan sebagai realitas sakral tidak dapat dipisahkan, demikian pula ikatan perkawinan sebagai realitas sakramental tidak dapat dipisahkan. Yang menjadi sacramentum (tanda yang kelihatan) dalam perkawinan sakramental adalah persetujuan timbal balik yang diberikan oleh kedua pasangan sejak awal perkawinan. 
Persetujuan timbal balik ini harus dihadirkan dalam perkawinan yang sah secara kanonis, bahkan dalam perkawinan rahasia sekalipun.

Paus Aleksander menyatakan bahwa perkawinan terjadi secara riil sejak terjadinya persetujuan. Hugh dari St. Victor menyatakan bahwa perkawinan tetap riil walaupun tanpa disempurnakan persetubuhan, dengan mengambil dasar dari perkawinan Josef dan Maria (Francis Schüssler Fiorenza, & John P. Galvin, [..]: 644-645).

Yang menjadi sacramentum et res (realitas sakramental) dalam perkawinan sakramental adalah ikatan atau kontrak perkawinan itu sendiri, yang adalah realitas legal yang hadir ketika kedua pasangan mengucapkan persetujuan.

Secara teologis, ikatan perkawinan merupakan realitas metafisik yang muncul di dalam jiwa pasangan ketika kata-kata persetujuan diucapkan.

Selanjutnya: Tradisi Liturgi Perkawinan Pada Abad I-IV
Topik: Teologi Perkawinan Abad Awal Kekristenan


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.