iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Media Sosial vs Fobia Sosial

Menjelang akhir tahun, terlihat semakin jelas di akhir Oktober hingga bulan Desember tahun ini negeri kita diramaikan oleh berbagai kasus kejahatan yang bermula di media sosial hingga berujung pada pelaporan.

Ada kasus penghinaan, pelecehan seksual secara verbal lewat gambar dan kata-kata tertentu, penganiayaan dan pemerkosaan hak secara verbal, pembuncahan fitnah nan kata-kata banal secara struktural untuk merusak nama baik orang, atau berbagai kasus kejahatan verbal di dunia digital semakin hari justru semakin binal.

Fakt di atas menegaskan bahwa kita seakan telah sepakat bahwa tulisan bukan lagi sekedar ungkapan non-verbal, melainkan sudah setara dengan ungkapan verbal seperti halnya omongan.

Artinya, apa yang kita tulis tak lain merupakan apa yang kita katakan. Minimal itu yang diamini para netizen, para penikmat media sosial. Bahwa tulisan tak menyertakan muatan emosi di dalamnya pada akhirnya tak jadi soal bagi mereka.

Fenomena MARAKnya penggunaan sosial ini ternyata juga diikuti oleh semakin MARUKnya para pengguna media sosial itu sendiri meliput dan mempublikasi apa pun yang ada di sekitarnya, bahkan sering terjadi mereka malah memplesetkan fakta yang ada dengan tujuan agar postingannya semarak oleh komentar dan tanggapan.

Di titik inilah, lewat penggunaan media sosial yang semakin menggila, kita bisa memahami bahwa ungkapan "Mulutmu adalah harimaumu" tak lagi berbeda dengan ungkapan "Jarimu adalah Cakar Buasmu!"

Maka, sumber dosa dan kejahatan, yang dalam ajaran agama disinyalir bersumber dari pikiran, perkataan dan perbuatan, ternyata harus dilengkapi oleh jari-jemari kita.
Sebegitu vitalnya jemari saat ini, entah untuk sekedar mengetik, meng-copast, men-screen-shoot, men-share atau mengomentari sesuatu.

Semua berlomba memamerkan kebolehan, termasuk dalam memoles sesuatu hingga layak jual dan dikonsumsi oleh pfoolowers-nya, Inilah yang kita sebut dengan uapaya menjadikan postingan kita sebagai tranding topic.

Persoalannya, liarnya jemari kita mencari dan memencet digit-digit di papan keypad QWERTY yang tersedia justru sering mengabaikan kontrol suara hati dan sistematika pemikiran yang kita miliki. Akibatnya banyak dari kita, para pengguna media sosial justru memposting, membagikan atau memanas-manasi postingan tertentu yang berisi "gosip" dan niat jahat demi menggiring opini para pembaca.

Tentu saja banyak hal-hal baik dan postif dari media sosial yang menunjang relasi sosial kita, tetapi serentak media sosial juga punya kelemahan yang mendasar, yakni membiarkan penggunanya membangun kontrol dan filter untuk diri mereka sendiri.

Para komisaria yang telah menginvestasikan jutaan dolar untuk membesarkan berbagai aplikasi berbasis internet itu nyatanya tak mau tahu apakah para netizen dan masyarakat kita pada punya kontrol diri yang lemah atau malah sangat kuat.

Faktnya, kita sepakat bahwa para netizen di negeri tercinta ini tak punya kontrol kuat untuk dirinya sendiri. Lamanya penjajahan yang dialami bangsa ini seakan turut membentuk benteng diri yang sangat lemah, yakni karakter "merasa selalu dijajah bangsa lain", "mudah diadu-domba" dan "selalu penuh cuiga" dan "menuduh pihak lain yang mengakibatkan deritanya".

Maka sungguh tak mengehrankan apabila di bumi Indonesia ini para netizen-nya selalu mengimani bahwa "apa yang tertulis di internet sebagai kebenaran (yang harus diperjuangkan)", sehingga kenyataan yang terjadi disekitarnya secara faktual selalu dilihat sebagai implikasi dari apa yang tertulis di internet tadi.

Kalau tidak hati-hati, masyarakat kita akan hancur, bukan oleh penjajah asing, termasuk tenaga kerja asing, tetapi terutama karena mayoritas dari kita para penggunan media sosial justru percaya pada apa yang diposting orang lain di media sosial daripada perkataan dan tindakan nyata dari orang yang kita percayai.

Semoga dengan media sosial kita tak lantas menjadi masyarakat yang fobia sosial hanya karena melonjaknya postingan-postingan (teks, gambar, video, animasi, etc) yang mengurai kebencian lewat opini-opini ngawur dan tak bertanggung jawab di media sosial.

Semoga kita mampu menggunakan media sosial secara dewasa, yang tidak sekedar memposting hanya demi mencari perhatian hingga memancing korban mendekat atau mendekatkan customer ke 'toko-toko online' kita, atau memposting hoax hanya demi memperbanyak followers hingga meledaknya Likers kita.

Semoga di tahun mendatang kita lebih bijak "membunyikan nada harmonis" di media sosial dan menjadikannya sebagai media pewarta kebaikan hingga membuncah asa hidup para pembacanya. Sebaliknya jangan sampai kita terjebak memaksimalkan media sosial sebagai media pelecut kebencian hingga kita saling memerangi satu sama lain.


#MerryChristmas2016
#HappyNewYear2017


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.