iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tempat Ibadah Boleh Dipindah?

Tempat Ibadah Boleh Dipindah?
Sumber: Perumnas Sukaramai Medan
Sejak awal tahun 2017 Rusun Sukaramai sedang diremajakan dan kini proses pembangunan sedang berlangsung. Konon ceritanya, rusun ini akan dijual dengan harga murah untuk warga kurang mampu.

Di depan rusun itu ada mesjid, tepatnya sebuah Langgar yang digunakan oleh warga sekitar rusun. Langgar tadi juga turut dalam proses peremajaan. Artinya Langgar harus dipindah.

Masyarakat sekitar, termasuk warga Islam yang sehari-hari menggunakan Langgar untuk beribadah pun sudah setuju. Apalagi Pemkot Medan rencananya akan membangun sarana ibadah yang baru dan Taman Pendidikan Alquran bagi mereka. Asyik tenan bukan?

Kini Mesjid yang besarnya tiga kali lipat dari Langgar sebelumnya sudah selesai dibangun. Itu berarti Langgar atau mesjid kecil yang lama harus dibongkar.

Awalnya seluruh rencana berjalan baik. Hanya belakangan, sekira tanggal 27 Dese lalu terlihat beberapa "pasukan" PFI di sekitar Mesjid. Seperti biasa FPI tak akan kumpul bila tidak menebar teror. Hal itu terlihat dalam tulisan di spanduk yang isinya tentang protes bila Mesjid dipindah.

Tak ada pergolakan samasekali. Tentu saja. Ini Medan bung. Walaupun warga sekitar mayoritas orang Tionghoa dan beragama Budha, kehadiran FPI tak ada yang menghalangi. Sepi. Bahkan kehadiran mereka tak ada yang peduli.

Dalam hati warga rusun yang kebanyakan bekerja sebagai buruh lepas, buruh tokok, tukang bangunan, tukang beca, dan berbagai pekerjaan rendahan lainnya itu begini, "Hei FPI. Lu bukan olang sini lah. Lu plotes-plotes tak gue peduli lah." Hahahaha. .

Selama ini, minimal sebelum disulap menjadi Perumnas Sukaramai sejak tahun 2017 lalu, mayoritas penghuni rusun adalah beragama Budha atau Konghucu. Tentu, karena mereka mayoritas orang Tionghoa.

Hanya saja mereka berbeda dengan Orang Tionghoa yang berada di sekitar Jalan Sutomo, perumahan Cemara Asri, atau yang tinggal di sentra-sentra bisnis yang selalu merasa lebih mujur dan menganggap Tionghoa di Sukaramai dan sekitarnya jauh lebih rendah.

Sebagaimana kita tahu penduduk Sumatera Utara sangat terkenal dengan toleransinya. Bahkan bisa dibilang nyaris tak pernah terjadi pergolakan atas nama agama di Sumut, termasuk di Kota Medan sendiri.

Itu sebabnya, ketika warga pendatang yang beragama islam membuka usaha di sekitar Rusun maka warga Rusun justru membantu memfasilitisi pendirian Mesjid bagi mereka.

Kehidupan harmonis pun berlangsung di daerah ini. Perbedaan agama dan ras tak pernah menjadi api penyulut konflik. Maka, ketika di masa Orba hingga kini warga Tionghoa dianggap kelas dua hingga harus "dipalak" agar membayar "keamanan" yang lebih, mereka tak pernah protes.. mereka hanya ketakutan tapi tak berdaya untuk melawan.

Begitu juga ketika orang Tionghoa Medan sering menganggap orang Melayu, Jawa, Nias, Karo, dst sebagai ras lebih rendah... mereka juga tak mengajak perang. Mereka justru refleksi dan merasa tidak lebih asli dari orang Tionghoa yang lebih dulu tinggal di daerah Sukaramai.

Warga Sumut sangat mencintai keharmonisan dan kedamaian. Bahwa sikap terbuka warga Sumut sering dimanfaatkan oleh kelompik tertentu itu tak jadi sial. Lagipula anggapan-anggapan itu kebanyakan hanya tinggal sebagai isu belaka. Sebab, hingga kini pernikahan antar etnis, antar agama, antar ras, dst sudah lazim terjadi, termasuk karena konversi agama.

Maka, sangat aneh ketika warga Medan yang sangat toleran di sekitar Rusun Sukaramai itu disusupi oleh FPI agar mereka tetap mempertahankan mesjid kecil disaat Mesjid yang lebih besar dan lebih megah telah dibangun untuk mereka.

Saya teringat perkataan seorang bapak beragama Islam di sekitar mesjid di akhir tahun lalu, "Ntah siapalah yang membawa-bawa FPI ke sini untuk mempertahankan mesjid ini. Padahal warga sini sudah sepakat dengan bangunan mesjid yang jauh lebih besar dan hanya berjarak 30-an meter dari lokasi semula sebagai gantinya. Belum lagi sedang diusahakan taman alqur'an segala di sini. Kita tak boleh serakahlah...."

"Biarin lah pak. Ntar juga diam sendiri tuh. Mereka itu justru senang bila dilawan. Ntar jadi ada alasan mereka untuk merusak toleransi di negeri ini." jawab seorang pemuda berkopiah disampingnya spontan.

Si bapak cuma menanggapi dengan candaan bernada menyindir, "Kurasa dipiikir FPI ininya Tuhan itu Tuhan mereka. Hingga Tuhan pun dianggapnya keras kepala seperti mereka. Masa rumah ibadah yang lebih bagus dan lebih lengkap tak boleh kita persembahkan untuk Tuhan?

Macam orang Israel nya kutengok keras kepalanya FPI ini bah," celotehnya diikuti derai tawa orang di warung kopi tempat kami ngobrol.