iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kembalikanlah Milik Allah

Kembalikanlah Milik Allah
Mungkin salah satu hal paling mengesalkan ialah kehilangan sesuatu tanpa ingat siapa yang pernah meminjamnya. Memang aneh, orang cenderung menjadikan barang pinjaman sebagai 'milik'. Padahal jelas-jelas itu bukan miliknya.

Meminjam 'tanpa batas waktu' jelas tak masuk akal. Kita juga suka tersinggung kalau ditanyai tentang barang yang pernah kita pinjam dari seseorang. Kadang-kadang ini bukan karena tak punya malu, tapi 'merasa lebih berhak'.

Kita membuat pembelaan diri, "Bukankah dia sudah punya banyak? Saya lebih membutuhkannya, dan itu tidak akan membuatnya miskin." Intinya sama saja, kita merasa berhak atas milik orang lain.

Seorang gadis, sejak kecil punya kelainan otot dan syaraf. Umurnya 16 tahun, namun badannya masih seperti anak berumur 10 tahun. Sejak kecil ia mudah jatuh, karena otot-otot badannya lemah. Suatu ketika, ia terjatuh lagi, dan lehernya terbentur. 

Ia tak bisa duduk dan berjalan lagi, hanya tidur. Makin hari, paru-parunya menyempit, dan harus dipasang alat bantu nafas di lehernya. Sudah bertahun-tahun berlalu seperti itu. Tak pernah ada kata protes yang diucapkannya kepada orangtua yang setia mendampinginya. 

Ia hanya menjalani dan berjuang untuk hidup, tiap hari. Ia kehilangan masa mudanya, kebebasannya, mimpinya, tapi tak mau menuntut siapapun. Ia tahu hidupnya milik Tuhan, dan ia hanya berjuang menjaganya, sampai suatu saat dikembalikan pada Tuhan. Tapi sekarang, belum saatnya.

Apa yang semula dipakai orang-orang Farisi dan Herodian untuk menjerat Yesus, akhirnya menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Yesus melihat, di balik pertanyaan tentang 'membayar pajak kepada kaisar' itu, tersembunyi 'kejahatan hati' orang-orang ini. Dan kejahatan hati ini akan mempermasalahkan 'rasa berhak' mereka akan sesuatu yang bukan milik mereka sendiri, tetapi milik Allah. 

Kini persoalannya bukan sekedar bagaimana menjadi warga negara yang baik, tetapi lebih dalam lagi, bagaimana menghormati, dan mengembalikan milik Allah. Hidup kita, jiwa kita, kebebasan kita, cinta dan hati kita, bukan milik kita sendiri. Kita hanya sering 'merasa berhak' atas semuanya itu.

Seperti halnya rasa berhak atas barang yang bukan milik sendiri, demikian juga dalam hal iman dan hidup, kita sering keterusan. Kalau keluarga kita sedang rukun dan bahagia, kita berpikir itu semua adalah 'keberhasilan' kita. 

Kalau orang memuji kepandaian anak-anak kita, kita berkomentar, "Siapa dulu orangtuanya." Kalau kita sedang sehat dan tak kurang suatu apa, kita anggap itu karena makan dan olahraga teratur yang kita lakukan. Kalau gaji kita naik, kita pikir itu sudah sepantasnya, sesuai dengan kerja keras kita.

Mari kita lihat baik-baik sekarang. Di mata Yesus, semua itu 'dipinjami' Tuhan, karena bahwa kita masih hidup pun, sama sekali bukanlah karena usaha kita.

Tentu saja lebih 'enak' menafsirkan sabda Tuhan dalam Injil hari ini dalam konteks doa dan ibadat. Lebih gampang menangkap pesan bahwa pajak harus diberikan kepada pemerintah, sedangkan pujian dan hormat kita kepada Allah.

Tapi dalam tulisan Matius, Yesus tidak memakai kata 'didomi' (Yun.'memberikan'), tetapi 'apodidomi' (Yun. 'membayar kembali' atau 'mengembalikan' seperti dalam konteks utang). Kalau begitu, Yesus memang bicara soal mengembalikan sesuatu yang bukan milik kita. Kita tidak diminta untuk 'memberi' (pujian dan hormat) saja kepada Allah, tapi 'mengembalikan'

semua yang adalah hak Allah! Allah tidak membutuhkan pujian kita, tapi Ia adalah satu-satunya yang berhak atas hidup kita!

Dalam teori, kita mudah mengatakan bahwa semuanya adalah milik Tuhan. Tapi dalam kenyataan, kita berkali-kali mempersoalkan setiap kemalangan dan penderitaan yang kita alami dan menuntut hak kita kepada Tuhan. 

Kita merasa 'berhak' bahagia, 'berhak' sehat, 'berhak' untuk dicintai orang yang kita harapkan, 'berhak' hidup tenang dan menikmati pekerjaan yang sesuai dengan harapan kita. Mengapa kita merasa 'berhak' atas semua itu? Karena kita keterusan menganggap bahwa hidup kita adalah milik kita sendiri; karena keterusan mengira bahwa nafas dan paru-paru kita ini adalah hak kita.

Filosofi Jawa yang berbunyi "urip iku mung mampir ngombe" (= 'hidup itu hanya singgah minum') barangkali tepat untuk menjelaskan pembayaran kembali kepada Allah ini. Maka, pujian dan doa yang paling pantas ialah dengan cara mengembalikan semua yang kita sangka adalah hak kita di hadapan Tuhan.

Kembalikan semua yang selama ini kita pinjam 'tanpa batas waktu' itu. Setiap kali menutup hari, kembalikan kebahagiaan, orang-orang yang kita cintai, kesehatan, kebebasan, keberhasilan kerja, kehangatan persahabatan, semua yang kita banggakan sepanjang hari itu, kepada Sang Pemilik yang sesungguhnya.

Mungkin esok hari, Tuhan akan meminjamkan lagi semuanya itu kepada kita. Mungkin Ia masih akan memberi kesempatan untuk hidup lagi, dan berjuang lagi. Tapi jangan lagi ada alasan untuk mengeluh dan mempertanyakan keadilan Tuhan dalam segala peristiwa hidup kita. 

Kita hanya diajak untuk selalu berjuang agar tetap hidup, tiap saat. Semoga kita bisa menjaga semua orang, semua kejadian dan pengalaman yang dipercayakan Tuhan pada kita, sebisa mungkin. Amin.

*Bacaan: Yes 45:1.4-6; 1Tes 1:1-5b; Mat 22:15-21


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.