iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Paradoks Agama

Paradoks Agama
Agama seringkali menjadi sumber penindasan

Di jaman sekarang orang sering mempertanyakan posisi agama, terutama dalam konteks kultural modern. Kritik semacam ini sebenarnnya sudah terlontar pada saat agama itu lahir.

Karena apabila kita runut ke masa lalu dapat dikatakan bahwa agama merupakan produk kultur. Maka dengan sendirinya ia sudah mengalami benturan kepentingan dengan kultur itu sendiri. Tragisnya, ia malah dituduh telah memporak-porandakan kultur.

Memang benar bahwa pada awalnya agama itu dianggap sebagai solusi ampuh nan berkhasiat bagi persoalan hidup yang dihapai manusia di jamannya. Itu dulu! Sekarang coba kita lihat realitas yang ada.

Agama nyaris tersingkir dari pentas peradaban modern. Kini sering kita dengar omongan-omongan ringan semacam ini:
  • ”Saya juga bisa bahagia tanpa agama”.
  • “Ah, peduli setan dengan agama !"
  • "Agama enggak pernah memberikan jaminan yang pasti soal kebahagian saya”.
Tragisnya lagi, pernyataan ini bukannya datang dari orang tak berpendidikan. Filsuf besar seperti F. Nietzsche bahkan dikenal dengan pernyataan ”Tuhan sudah mati !” Tapi jangan bersyak-wasangka buruk dan jangan langsung mengadili dulu.

Mari kita cari akar permasalahannya. “Kita cari akar permasalahnnya, lalu kita kurung segala kekeliruannya”, kata temannya si Bedu dalam acara Chatting.com di salah satu stasiun televisi swasta.


Agama Penuh dengan Ilusi

Apabila kita telusuri lebih mendalam, ternyata semua persoalan di atas berakar pada satu hal: “Agama mengecewakan saya!” Agama seperti seorang cowok yang suka mengumbar janji sama pacarnya, tapi tak pernah digenapi.

Agama terlalu banyak memberi janji-janji gombal yang tak kunjung terealisasi. Karenanya kehidupan beragama dipenuhi ilusi-ilusi yang pada gilirannya justru membuat dirinya kehilangan kehormatan dan keanggunannya.

Ada 5 ilusi yang tampak dalam agama itu sendiri.
  1. Agama diyakini mengurus perkara rohani, soal Tuhan dan realitas transenden: padahal dalam kenyataannya agama justru dialami sebagai otoritas paling berkuasa atas perkara duniawi. Dengan mengatasnamakan Tuhan, agama malah menjadi hakim yang mengurusi soal boleh atau tidak melakukan sesuatu hal. Misalnya soal makanan, persepuluhan, bahkan sampai soal uang. Dalam hal ini agama identik dengan institusi berikut aturan-aturannya.

  2. Agama konon berurusan dengan kesucian, merupakan benteng nurani dan jalan ke arah kewarasan jiwa: nyatanya, institusi-institusi keagamaan plus kekuasan absolut yang dimilikinya justru sangat rentan untuk menjadi benteng KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Agama tak lebih daripada kesadaran palsu yang tidak realistis, naif dan tidak otentik. Ia adalah benteng hipokrasi yang identik dengan perilaku yang artifisial.

  3. Agama adalah energi ke arah pembebasan dan demokrasi - alih-alih mengurusi soal pembebasan, agama—dalam sejarahnya—malah sangat identik dengan penindasan, eksploitasi, ketidakadilan, penyikasaan, diskriminasi, dsb.

  4. Agama konon memberikan pengetahuan sejati dan mendorong pencarian ilmu terus-menerus: padahal, pada kenyataannya agama identik dengan kemandegan, sensor yang berlebihan, rasa puas diri yang sangat naif.

  5. Agama diyakini sebagai jalan menuju keselamatan, perdamaian, ketenangan, dan kasih sayang: sementara pada praktiknya agama adalah sumber persoalan yang jauh lebih ganas dan mengerikan daripada persoalan sekular duniawi. Lihat saja perang diberbagai belahan dunia yang mengatasnamakan agama.: Armenia (Yahudi-Islam), Irlandia (Katolik-Protestan), Tibet (Budhis-Komunisme), Irak (Syiah-Sunni), dll.

Tantangan dan Peluang Baru

Di jaman kita, ketika krisis kemodernan menggumpal, kiranya perlu bagi agama untuk: meredefinisi diri sehubungan dengan berbagai fenomena baru yang berkembang dalam masyarkat; memodernisasi diri, terutama soal klaim “kebenaran”; peka terhadap nuansa perbedaan sehubungan dengan persoalan individual; narsisime yang berlebihan harus dihindari.

Orang bergama sering merasa puas dengan anggapan bahwa dia adalah manusia-manusia pilihan Tuhan. Selanjutnya, agama hendaknya jangan memenjarakan “kebenaran” dalam mutatan doktrinnya. Perlu, bahkan harus mau, melirik kebenaran di luar doktrin yang sudah dibangunnya.

Akhirnya agama harus menghindari ekslusivitas berlebihan, karena hal itu akan menjadi pemicu konflik. Oleh karena itu jagna terlalu memberi penekanan pada unsur orgnanisasi atau institusi, doktrin dan hukum, serta sistem ritual.


Menggugat Agama

Melihat segala peta permasalahan di atas, kita mungkin saja merasa kaget, sontak bak orang jantungan. Tapi, kita toh harus merefleksikan ulang makna keagamaan kita masing-masing.

Mungkin alangkah lebih baik juga bertanya kepada diri sendiri sebagaimana orang ateis bertanya: untuk apa saya beragama?

Dengan demikian kita diharapkan akan semakin mantap dan teguh dalam menjalankan hidup keagamaan kita. Hanya dengan demikianlah agama perlu dan tetap akan tetap perlu.

*) Harian Media Indonesia 23 Desember 2006

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.