iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Gerak Inkulturasi

Gerak Inkulturasi


Menarik bahwa Gereja Katolik tak jarang memandang inkulturasi sebagai gerak satu arah, yakni Gereja yang aktif menginjili kebudayaan secara menyeluruh, baik menyangkut individu-individu, kelompok-kelompok maupun lembaga-lembaga sosial.

Hal ini terjadi karena inkulturasi adalah inkarnasi dari hidup dan pesan Kristiani dalam konteks kebudayaan tertentu, sedemikian sehingga pengalaman ini tidak hanya dapat mengungkapkan dirinya melalui unsur-unsur yang sesuai dengan kultur yang dipermasalahkan, tetapi menjadi suatu prinsip yang menghidupkan, mengarahkan dan mempersatukan kultur itu, menjelmakan dan membuatnya sedemikian sehingga menyempurnakan “suatu ciptaan baru”.

Inilah yang dikatakan Hervé Carrier dalam bukunya, Gospel Message and Human Culture: from Leo XIII to John Paul II:
“Inculturation is the effort to inject Christ’s message into a given socio-cultural mileu, thereby summoning that milie to grow in accordance (sic) with its own values so long as the latter can be reconciled with the fospel message. Inculturation seeks to naturalize the church in every country, region, and social sector while fully resecting the native genius and character of each human collectivity. Thus, the term ‘inculturation’ includes the notions of growth and mutual enrichment for the persons and groups involved in the encounter of the gospel message with a social milieu.” (HervĂ© Carrier, 1989:91).

Berhadapan pandangan itu, Gereja, pada akhirnya menyarankan agar (hidup dan pesan Kristiani) kembali kepada inkarnasi Yesus Kristus: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh 1:14).

Yesus memproklamirkan Kabar Gembira Kerajaan Allah, dan memanggil para rasul dan para murid untuk melanjutkan tugas itu setelah kebangkitan dan kematian: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus." (Mat 28:19).

Selama hampir dua ribu tahun Gereja telah mencoba untuk menjalankan amanat misionaris itu. Bahwa inkulturasi sangat ditekankan di jaman ini tentu saja bukan tanpa pertimbangan.

Setidaknya ada 2 (dua) pertimbangan datang sebagai alasan: pertama, karena tantangan misi sekarang jauh lebih besar dari yang pernah ada pada zaman misi sebelumnya; dan kedua, karena saat ini kita berada di dalam suatu zaman dimana kesadaran global, yang meliputi kesadaran akan keanekaragaman budaya (pluralisme).

Situasi ini dilukiskan dalam buku, Iman dan Transformasi Budaya yang disusun oleh Georg Kirchberger dan John Masford Prior:

"Zaman ini sedang digerogoti oleh perubahan sosial yang pesat. Bahkan, tak jarang perubahan itu diboncengi oleh kepentingan tertentu… Bahasa dan budaya yang memberikan jati diri dan rasa harga diri pada masyarakat dianggap kolot, primitif, tertinggal, dan kadaluwarsa...

Mitos masyarakat kapitalis dari Eropa-Amerika telah mempengaruhi semua kebudayaan di dunia melalui media massa dan sistem pendidikan. Tak jarang, lembaga agama yang mapan pun turut membenarkan pandangan semacam ini…. Agama-agama besar yang datang dari Barat menilai agama-agama pribumi sebagai kafir, keliru dan harus digeser.

Kemandirian agama setempat yang tadinya berada di tangan masyarakat pedesaan, kini diganti dengan agama yang dipimpin oleh orang luar dan yang bergantung pada ‘markas’ yang jauh dari kehidupan harian. Akibatnya, orang luarlah yang menentukan apa yang baik dan apa yang jahat melalui upacara-upacara yang hanya mereka sendiri boleh pimpin. Pada kenyataanya, sudah lama kebudayaan-kebudayaan masyarakat pinggiran bercirikan budaya kaum tertekan, kaum tertindas, kaum bisu." (Georg Kirchberger & John Masford Prior (eds.), 1996:5-7).


Pada titik ini semua orang minimal harus sadar akan perbedaan eksistensial tersebut, dan dengan kesadaran itu pula Pesan Kristiani tadi harus diwartakan. Peter Schineller kembali menegaskan hal itu:

“All of this, we now see, is of great import for the proclamation and living out of the Gospel. The young child has different questions, different outlooks and needs, from those of the aging. We know that men view life and its problems and possibilities differently than women do. And yet it is to this pluralistic world that the gospel must be preached. Hence the need for reflection on how this can be done in particular situations, the need for inculturation. (Peter Schineller, 1990:6).

Peter Schineller menegaskan pentingnya inkulturasi sebagai cara pewartaan dalam situasi khusus. Dalam mewujudkan misi itu kita diajak untuk kembali kepada Yesus Kristus, sang model inkarnasi dan inkulturasi, yang terwujud dalam waktu dan tempat tertentu.

Ia berbicara dengan cara yang berbeda kepada rasul-Nya dibanding ketika Ia berbicara kepada kaum Farisi dan para ahli kitab; dengan cara yang berbeda pula ia berbicara kepada Perempuan Samaria dibanding ketika Ia berbicara kepada Petrus.

Ada saat dimana Ia berbicara dan bersikap keras, sebaliknya ada juga saati dimana Ia berbicara dan bersikap lembut. Ia tahu saat untuk berbicara dan saat untuk diam. Ia sensitif terhadap kedermawanan janda di Bait Allah dan terhadap kebutuhan akan kasih sayang kepada anak-anak yang meminta berkatNya.

Pendek kata, keseluruhan hidup dan pelayananNya menjadi pusat paradigma untuk membongkar dan meng-inkulturasi-kan nilai-nilai Injil Kerajaan Allah ke dalam konteks tertentu. Hal yang sama juga terdapat dalam surat-surat dan kotbah-kotbah Petrus dan Paulus. Kita bisa melihat proses inkulturasi ini dilanjutkan di sana.

Salah satu contoh adalah kotbah Paulus di kuil orang-orang Athena di Areopagus (Kis 17). Di Areopagus Paulus menghubungkan persepsi tentang Kabar Gembira Yesus Kristus yang hadir dan bangkit dengan filsafat Yunani dan agama pada jaman itu. Contoh lain adalah persoalan kewajiban sunat bagi orang Kristen non-Yahudi. Ini adalah suatu uji coba yang sulit dalam inkulturasi pada awal munculnya komunitas Kristen.

Bisa dikatakan bahwa ‘kasus’ ini memiliki arti besar bagi proses inkulturasi hari ini. Perlu ditambahkan juga di sini, yakni nuansa inkulturasi dalam surat-surat yang ditulis Paulus.

Caranya menulis surat untuk menunjuk peluang dan permasalahan pastoral tertentu di dalam beberapa Gereja yang telah ia dirikan kemudian menerangi langkah perlunya inkulturasi dijalankan hari ini. (Peter Schineller, 1990:7-8). Panggilan untuk melanjutkan misi itulah yang melatarbelakangi tulisan ini.

Bagaimanapun penulis sangat menghargai sikap terbuka dari Gereja—yang belajar dari pendirinya, Yesus Kristus—untuk berdialog dengan kebudayaan lain. Di kemudian hari, sikap keterbukaan itu juga muncul dalam Konsili Vatikan II.

Dalam Konstitusi Liturgi, Sacrosanctum Consilium (SC), “sikap terbuka” terhadap kebiasaan setempat, atau wilayah yang mempunyai adat kebiasaan dan upacara-upacara lain dalam merayakan sakramen perkawinan sangat ditekankan:

“Upacara perkawinan yang terdapat dalam Rituale Romanum hendaknya ditinjau kembali dan diperkaya, sehingga rahmat sakramen itu diungkapkan dengan lebih jelas, dan tugas-tugas para mempelai mendapat penekanan: Bila ada wilayah yang mempunyai adat-kebiasaan dan upacara-upacara lain yang sangat terpuji dalam merayakan sakramen perkawinan, konsili sangat mengharapkan dengan tulus hati agar dipertahankan sepenuhnya.” (SC 77).

Imperasi inilah yang mendorong penulis, sebagai bagian dari Gereja dan kebudayaan Batak, untuk mengusahakan pembaharuan (bdk. peninjauan kembali) yang dimaksud.

Penulis yakin bahwa pembaharuan atau peninjauan ulang terhadap ritus perkawinan yang sudah ada dalam Rituale Romanum justru semakin diperkaya. Sebab sama seperti 6 (enam) sakramen lain, sakramen perkawinan pun bertujuan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah.

Sakramen perkawinan tidak saja mengandaikan iman, tetapi juga memupuk, memantapkan dan mengungkapkan iman itu lewat verba et materia:

“Christian marriage is a sacrament whereby sexuality is integrated into a path to holyness, through a bond reinforced by the indissoluble unity of the sacrament: 
“The gift of the sacrament is at the same time a vocation and commandment for the Christian spouses, that they many remain faithful to each other forever, beyond every trial and difficulty, in generous obedience to the holy will of the Lord: ‘What therefore God has joined together, let not man put asunder.”

Perkawinan Kristen adalah suatu sakramen dengan mana seksualitas terintegrasi ke dalam suatu langkah menuju kekudusan, melalui suatu ikatan yang diperkuat oleh kesatuan yang tak terceraikan dari sakramen: 
“Rahmat sakramen pada waktu yang sama adalah suatu panggilan dan perintah bagi pasangan Kristen, supaya mereka setia satu sama lain untuk selamanya, melalui setiap cobaan dan kesukaran, dalam ketaatan yang kuat kepada kehendak Tuhan yang kudus: ‘Oleh karena itu yang disatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia'." (FC 20; bdk. Mat 19: 6).

Sakramen perkawinan (bersama dengan sakramen tahbisan) adalah sakramen pelayanan untuk persekutuan. Meskipun diarahkan kepada keselamatan orang lain, namun pelayanan itu juga memberi keselamatan kedua mempelai atau pasangan suami-istri itu sendiri: 

“Dua Sakramen yang lain, tahbisan dan perkawinan, diarahkan kepada keselamatan orang lain. Oleh pelayanan kepada orang lain mereka juga memberi sumbangan untuk keselamatan diri sendiri. Mereka memberikan satu perutusan khusus di dalam Gereja dan berguna untuk pembangunan umat Allah.” (KGK 1534).