iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Inkulturasi Dalam Gereja Katolik

Inkulturasi Dalam Gereja Katolik

Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes dan Lumen Gentium menegaskan bahwa Gereja adalah sakramen universal (AG 1; LG 48). Sebagai sakramen universal, Gereja harus mewartakan Injil (Sabda Kebenaran) kepada semua orang, melahirkan Gereja-Gereja (partikular), dan menegakkan Kerajaan Allah sebagai ungkapan ketaatannya kepada pendirinya.

Ini adalah misi yang kita emban dan merupakan tanggung jawab kita sebagai seorang Kristiani (AG 35-36; KHK kan. 783; AG 6). Salah satu perwujudan dari karya misi tersebut adalah keterbukaan dan penghargaan Gereja terhadap nilai-nilai baik dan suci dalam agama-agama dan kebudayaan di luar Kristianitas tanpa mengecilkan arti tugas kerigmatisnya (AG 7, NA 2).

Misi itu tak terlepas dari kondisi sosial-kultural konkret (waktu, tempat, kebutuhan-kebutuhan, dan lain sebagainya). Dalam kondisi sosal-kultural tersebut, Gereja menandaskan dengan penuh keyakinan bahwa penginjilan (evangelisasi) dan penanaman Gereja (plantatio ecclesiae) pada gilirannya akan menumbuhkan Gereja-gereja partikular yang mandiri.

Dokumen Konsili Vatikan II, Evangelii Nuntiandi menegaskan bahwa evangelisasi budaya-budaya harus sampai akar-akarnya (EN 20; GS 53), dengan catatan: Gereja harus mempertahankan unsur-unsur keselamatan dalam agama-agama non Kristen.

Gereja juga menekankan bahwa meskipun individu-individu dipandang sebagai obyek misi, toh mereka harus diakui sebagai bagian dari mileu (lingkaran pergaulan) dan budaya serta komunitas tertentu. Maka, tugas karya misi adalah menjelmakan Injil di dalam kebudayaan bangsa-bangsa (RM 52-54).

Paham pokok tentang misi Gereja mencakup pewartaan Kabar Gembira (kerygma), kesaksian (martyria), pertobatan dan baptis, pembangunan Gereja setempat dan komunitas basis, masalah inkulturasi (Anicetus Sinaga, 1984:44dst) dan dialog dengan umat beragama lain, serta pembinaan suara hati sebagai sumbangan demi pembangunan masyarakat (RM 41-60).

Bila kita berbicara mengenai misi terhadap kebudayaan, maka kita harus terlebih dahulu memahami apa itu kebudayaan. Mengingat banyaknya definisi mengenai kebudayaan, penulis membatasi diri hanya pada dua perspektif saja (yang berhubungan langsung dengan tema tulisan ini), yakni perspektif antropologis dan perspektif misiologi.

Perspektif antropologis melihat kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1981:180; bdk. C. Geertz, 1973: [..] ).

Sedangkan perspektif misiologis melihat kebudayaan sebagai cara hidup (a way of life) suatu masyarakat yang mengandung unsur-unsur seperti rencana, yang terdiri dari sekumpulan norma, penetapan dan berhubungan dengan larangan-larangan serta keyakinan untuk memenuhi permintaan hidup (Analogi relasi manusia dengan kebudayaan ibarat relasi ikan dengan air: seperti ikan tidak dapat hidup tanpa air demikian juga manusia tidak bisa hidup tanpa kebudayan - LJ. Luzbetak, 1988:156). Kebudayaan itu dipelajari oleh individu dari masyarakat, dan diatur dalam suatu sistem kendali yang dinamis.

Dari pengertian di atas, kita dapat merangkum 4 (empat) aspek penting dari kebudayaan, yakni: kebersamaan eksistensial, tradisi yang dipelajari, kesatuan kebudayaan, dan dinamika masyarakat (Raymondus I Made Sudhiarsa, 2004:64).

Kebersamaan eksistensial: sesuatu yang menjadi milik bersama dan yang menentukan batas-batas atau jati diri kelompok suatu masyarakat, baik secara distingtif maupun secara eksistensial dari kelompok masyarakat yang lain. Batas-batas yang dimaksud mencakup adat-istiadat, nilai-nilai, dan keunikan tiap-tiap kelompok masyarakat manusia.

Tradisi yang dipelajari: segala kapabilitas dan adat-istiadat dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan-kebudayaan itu merupakan hasil belajar atau warisan sosial, bukan warisan biologis instingtif. Kebudayaan itu menunjuk ke suatu pola mengenai makna yang terwujud dalam simbol-simbol yang secara kontiniu diteruskan dari generasi ke generasi.

Kesatuan Kebudayaan: menyangkut tingkah laku dan penggunaan simbol - simbol, cerita, mitos, kepercayaan, serta pengetahuan, nila-nilai, moral, hukum, dan gagasan-gagasan.

Dinamika masyarakat: tidak ada suatu kebudayaan yang statis. Kebudayaan itu selalu berkembang sejalan dengan transformasi masyarakat dalam proses tarik ulur antara kontinuitas dan diskontinuitas, perubahan dan pelestarian, mentalitas progressif, liberal dan konservatif, dst..

Konsekuensinya untuk agama: sebagai suatu fenomena manusiawi serta bagian integral dari kebudayaan, agama atau religiositas tentulah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dinamika kebudayaan.

Selanjutnya: Misi Kebudayaan
Sebelumnya: Inkulturasi Liturgi Perkawinan Adat Batak Toba