iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Teologi Perkawinan Abad Awal Kekristenan

Sejarah Teologi Perkawinan Dalam Gereja Katolik
Pada zaman awal Kristianitas, Gereja belum memberikan perhatian penuh pada perayaan perkawinan maupun aturan-aturan yang seragam mengenai perkawinan. Di zaman tersebut, persoalan perkawinan maupun perceraian hanya diatur oleh peraturan pemerintah sipil. Bahkan, sebelum abad ke-11, belum dikenal bentuk perayaan perkawinan Kristiani.

Di zaman pertengahan, belum ada ritual tunggal Gereja untuk perkawinan. Standar ritus perkawinan Katolik baru dibuat setelah Konsili Trente (Francis Schüssler Fiorenza: 1992, 647-648) dengan tujuan menghindari adanya praktek penyalahgunaan perkawinan privat dalam Gereja.

Gereja mulai melibatkan diri dalam persoalan perkawinan sejak pemerintahan imperial Romawi berakhir. Gereja mulai mengambil alih peran pemerintah untuk mengatur persoalan perkawinan. Perkawinan menjadi salah satu tema dalam pelaksanaan fungsi resmi Gereja (Joseph Martos: 1981: 399).

Selanjutnya, berbagai pandangan mengenai perkawinan mulai berkembang dalam Gereja. Gereja Timur sejalan dengan aturan sipil, dengan berpandangan bahwa perkawinan Kristiani bersifat tak terceraikan dalam kasus tertentu. Gereja Barat (Katolik Roma) memandang perkawinan Kristiani sebagai perkawinan yang tidak terceraikan selain oleh kematian. Oleh karena itu,

Gereja Barat kemudian mengembangkan sistem hukum dan pengadilan Gereja untuk melindungi permanensi perkawinan dalam Gereja. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja memandang perkawinan sebagai suatu sakramen sejak awal sejarah Kristianitas.

Akan tetapi, baru setelah abad ke-20 perkawinan dihargai sebagai suatu sakramen (SC 5.26; LG 1, 48, 59; AG 42.45) yang setara dengan sakramen baptis maupun sakramen-sakramen Gereja lainnya.


Dalam kultur Yahudi dan Romawi

Sebagaimana kita ketahui, liturgi perkawinan Kristen sangat dipengaruhi oleh dua kultur besar, yakni kultur Yahudi dan kultur Romawi. Dalam kultur Yahudi yang patriarkal, perkawinan lebih dilihat sebagai suatu perjanjian pribadi dan bukan persoalan publik religius.

Sejak zaman raja Salomo yang memiliki banyak isteri dan selir, perkawinan tidak dilihat dalam konteks monogami yang suci. Wanita lebih diposisikan sebagai harta milik (Kel 20: 17). Kebanyakan pria memiliki satu isteri, namun boleh memiliki lebih dari satu isteri apabila ia mampu membeli harga dan menghidupi sang wanita.

Di Israel kuno, perkawinan adalah persoalan keluarga yang diatur oleh ayah. Wanita hanya memiliki hak hukum yang kecil, dan setelah mereka menikah, harta ayah mereka diserahkan kepada pihak suami.

Perzinahan dilarang bukan karena tidak bermoral secara seksual, namun karena melanggar hak ayah dari pihak sang isteri. Setelah Israel direbut Assyria dan Babilonia, pandangan tentang perkawinan berkembang ke arah idealisme cinta kasih suami isteri.

Banyak nabi memberikan khotbah moral mengenai perkawinan yang ideal yaitu perkawinan yang dilandasi oleh cinta suami isteri (Yeh 16 menggambarkan perkawinan suami isteri seperti perkawinan antara Yahweh dan Israel. 

Tobit 6-8 melihat perkawinan sempurna sebagai suatu ikatan cinta seorang suami dan seorang isteri. Pkh 5-7, 31 melihat nilai seorang isteri yang sempurna dan menasehati suami untuk tidak berzinah. Mal 2: 6-10 menasehati para pria yang mencerai-kan isteri Yahudi karena ingin menikahi wanita bangsa penjajah).

Sebaliknya, perceraian merupakan suatu cara untuk menyelesaikan dan mengakhiri ketidakbahagiaan keluarga. Apabila isteri melakukan hubungan seksual dengan pria lain di luar suaminya, sang suami dapat menceraikannya. Bahkan apabila suami tersebut memergokinya langsung, ia dapat melempari isterinya dengan batu hingga mati (Ul 20: 22-24).

Hanya pria yang memiliki hak untuk menceraikan istrinya. Isteri hanya bisa meminta suami untuk menceraikan dia, dan apabila suami menolak, isteri tersebut tetaplah hidup dengan suaminya. Wanita yang sudah diceraikan untuk kedua kalinya tidak dapat menikahi kembali suami pertamanya (Ul 24: 1-4).

Taurat sendiri mengizinkan pria menceraikan wanita apabila wanita bersalah. Pengikut Rabbi Sammai mengizinkan perceraian apabila isteri melakukan perbuatan memalukan, misalnya perzinahan. Pengikut Rabbi Hilel mengizinkan perceraian apabila isteri tidak dapat membahagiakan suaminya. (Joseph Martos, 1981: 403).

Berbeda dari kultur Yahudi, pada zaman Romawi, persoalan perkawinan adalah persoalan religius, walaupun belum ada aturan religi yang mengaturnya secara khusus (Joseph Martos,1981: 401).

Ayah berperan sebagai seorang imam yang bertanggung jawab terhadap kehidu-pan beragama keluarga, melalui pemujaan kepada dewa dalam rumah tangga dan tradisi pemujaan terhadap roh para leluhur.

Tugas utama seorang ayah Romawi adalah menghasilkan anak yang akan melanjutkan kehidupan beragama keluarga. Seorang suami mengambil isteri dari keluarga tetangga untuk meneruskan garis keturunan keluarganya.

Wanita yang dinikahi masuk ke dalam agama dan komunitas baru keluarga suaminya. Anak hadir sebagai kompensasi untuk menggantikan hilangnya satu anggota keluarga pihak perempuan, yakni sang wanita dengan kesuburan dan keahliannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, perkawinan Romawi mulai kehilangan nilai-nilai legalitas dan religiusitasnya. Kendati perkawinan tradisional masih banyak dipakai, namun ia tidak lagi memiliki arti religius sebagaimana terjadi di masa lampau.

Jika seorang imam diundang dalam perkawinan, itu hanyalah untuk mempersembahkan pengorbanan kepada dewa-dewa untuk kebahagiaan pasangan di masa mendatang. Demikian pula, tidak ada formula legal dalam perkawinan.

Bahkan, hukum Roma menganggap pasangan yang telah hidup bersama selama setahun ‘sah’ sebagai suami isteri, tanpa ada perayaan keluarga ataupun persetujuan otoritas sipil dan pengadilan sekalipun.

Perkawinan tidak lagi berakar dari hubungan keluarga orang tua pasangan, akan tetapi dari hubungan timbal balik kedua pasangan. Perkawinan dan perceraian merupakan persoalan pribadi pasangan itu sendiri.


Dalam Keempat Injil

Dalam menegaskan hakekat, arti, dan tujuan perkawinan, Yesus menunjuk pada kehendak dan rencana Allah semenjak permulaan zaman yang tertulis dalam kitab Kejadian.

Ia berkata, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19: 4-6; bdk. Kej 1:28).

Dari pernyataan ini, Yesus menegaskan paling tidak 3 (tiga) hal pokok pemahaman yang terkandung di dalam rencana Allah, yakni subyek hidup perkawinan, hubungan pria dan wanita sebagai satu daging, dan partisipasi manusia dalam prokreasi atau kelahiran baru.

Menyatu dengan kenyataan bahwa Yesus lahir, hidup, dan bertumbuh di dalam keluarga, pemahaman tersebut diyakini Gereja sebagai dasar dari antropologi perkawinan Kristiani. (bdk. Mulieris Dignitatis 6 - ensiklik Yohanes Paulus II, 15 Agustus 1988). Sedangkan mengenai persoalan perkawinan dan perceraian hanya sedikit dibahas dalam Injil.

Ucapan-ucapan Yesus tentang perkawinan sebagaimana disajikan Injil serba sedikit, namun sangat menentukan sehubungan dengan pandangan umat Kristen tentang perkawinan mereka.

Injil tidak berkata tentang lembaga perkawinan, tetapi hanya mengenai orang beriman yang berada dan hidup dalam rangka lembaga perkawinan sebagaimana adanya.

Di lain pihak ada juga ucapan-ucapan Yesus yang meletakkan perkawinan konkret para penganut-Nya ke dalam rangka pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah yang dekat dan bahkan mulai menembus ke dalam dunia dan zaman ini.

Dalam rangka pewartaan itu Yesus berkata tentang tak terceraikannya perkawinan (C. Groenen, 340). Yesus membicarakan masalah perkawinan dan perceraian dalam rangka menghadapi kaum Imam terpelajar (rabbinical school).

Dalam Injil Lukas dan Markus, Yesus mengajarkan permanensi perkawinan sebagai tanggapan radikal terhadap tradisi Yahudi yang membolehkan perceraian (Luk 16: 18; Mrk 10: 1-12).

Menurut Injil Lukas, Yesus menyatakan bahwa setiap orang yang menceraikan isterinya dan menikahi wanita lain adalah bersalah karena telah melakukan perbuatan zinah, dan pria yang menikahi wanita yang telah diceraikan suaminya hidup dalam perzinahan.

Sementara itu, dalam Injil Markus dikatakan bahwa menurut Yesus, Musa mengizinkan perceraian hanya karena kekerasan hati kaum Israel. Yesus mengutip kitab Kejadian bahwa sejak awal mula Tuhan menciptakan pria dan wanita agar mereka bersatu sehingga menjadi satu tubuh, dan apa yang dipersatukan Allah itu tidak dapat diceraikan manusia.

Akan tetapi, dalam Injil Matius ada kesan seakan-akan Yesus mengizinkan perceraian dan perkawinan kembali setelah perkawinan pertama. Dikatakan bahwa Yesus menjawab dengan menyatakan Tuhan tidak pernah berkehendak memisahkan pria dan wanita, namun Ia juga menyatakan bahwa perkawinan kembali adalah suatu perzinahan kecuali dalam kasus kematian. 

Akan tetapi, kebanyakan para ilmuwan berpendapat bahwa ajaran Yesus tentang perkawinan yang orisinal justru terdapat pada Injil Markus dan Lukas. (Joseph Martos, 1981: 404).

Yesus mengajarkan secara radikal bahwa perceraian tidak dikehendaki Allah. Yesus memanggil orang untuk mencapai kesempurnaan moral melalui kesetiaan perkawinan. Perceraian adalah salah satu bentuk perendahan moral.

Kata-kata Yesus dalam Matius “kecuali karena imoralitas” dapat ditafsirkan dalam konteks pengarang Injil memberikan pengajaran kepada komunitas Kristen Yahudi yang hidup dalam tradisi yang membolehkan perceraian.

Tak terceraikannya perkawinan merupakan akibat Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang dimaksud adalah suatu simbol literer, suatu metafor, kiasan. Sebagaimana kita tahu, tugas utama raja ialah mempertahankan, memajukan; dan kalau perlu memulihkan keselarasan dalam masyarakat dan dunia semesta. Raja juga bertugas mempertahankan keselamatan sosial dan kosmis.

Yesus, sebagai raja sebenarnya adalah seorang tokoh penyelamatan (Bdk. C. Groenen, 344-345). Ada juga penafsiran yang menyatakan bahwa pengarang Injil hendak mengungkapkan hal itu dalam rangka menghadapi kaum pagan yang hendak bergabung ke dalam komunitas Yahudi yang menganut hukum Musa.


Dalam Surat-surat Paulus

Sementara itu, Paulus dalam surat-suratnya menekankan pentingnya kesetiaan perkawinan, walaupun ia juga mengizinkan perceraian dalam beberapa kasus tertentu. 

Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menegaskan bahwa seorang isteri harus tidak meninggalkan suaminya, dan jika ia meninggalkannya ia harus tetap tidak menikah lagi (1 Kor. 7:10-11).

Akan tetapi, Paulus juga menyatakan bahwa perceraian dimungkinkan dalam kasus tertentu. Apabila orang Kristen menikahi orang yang tidak beriman yang kemudian hendak bercerai, ia bebas untuk bercerai dan menikah lagi.

Masih dalam surat kepada umat di Korintus, Paulus menyatakan bahwa mereka yang telah menikah seharusnya hidup dalam perkawinan mereka, sementara yang hidup selibat dianjurkan untuk tetap selibat, walaupun tidak berdosa apabila mereka menikah. Janda lebih baik hidup bebas, namun apabila ia tidak dapat tahan dapat menikah kembali.

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menyatakan bahwa perkawinan merupakan perwujudan misteri relasi Allah dan Gerejanya.(Joseph Martos,1981: 359). Paulus menyatakan bahwa dalam perkawinan, relasi antara suami isteri merupakan gambaran relasi spiritual antara Kristus dan Gerejanya.

Demi simbolik eklesial itulah hubungan suami-isteri beriman mesti tunggal. Sebab Kristus hanya satu dan Jemaat surgawi hanya satu. Itulah misteri Gereja, atau Gereja sebagai misteri. 

Oleh karena relasi Kristus dengan Jemaat surgawi memang eskatologis definitif, maka ikatan antara suami-isteri dalam perkawinan pun menjadi definitif, tak terputuskan demi simbolik eklesial itu. 

Perkawinan orang beriman yang tunggal dan tak terceraikan menjadi tanda paling kentara relasi tak terceraikan Kristus yang satu dengan Jemaat-Nya yang tunggal.

Orang beriman yakin bahwa relasi wajar dan manusiawi itu dirasuki relasi Kristus dengan jemaat-Nya. Dengan demikian relasi laki-laki dan perempuan dalam perkawinan menjadi wujud, dimensi historis konkret hubungan tunggal dan tak terputuskan antara Kristus dan Gereja (Familiaris Consortio (FC) No. 13).

Selanjutnya: Teologi Perkawinan Pada Zaman Patrisi
Topik: Teologi Perkawinan Abad Awal Kekristenan


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.