iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Gereja Sebagai Sakramen

Teologi Perkawinan Konsili Vatikan II dan Sesudahnya

Melalui berbagai dokumennya, Konsili Vatikan II menempatkan perkawinan dalam kerangka Gereja sebagai umat Allah. Dapat dikatakan bahwa perkawinan di sini dimasukkan dalam eklesiologi yang baru. Karena itu, pembahasan tentang perkawinan dalam Konsili Vatikan II berkisar pada hidup, kesucian, dan misi Gereja, serta berbagai hal yang mendukung atau menghalanginya.

Tantangan bagi Gereja di abad ke-20 dalam persoalan perkawinan ialah adanya bahaya yang mengancam kesakralan perkawinan. Tantangan ini kebanyakan muncul dari pihak luar Gereja, misalnya dari kaum Protestan maupun dari regulasi atau undang-undang perkawinan dari pemerintah sipil yang menolak sakramentalitas perkawinan dan mengakui perceraian.
Pada abad ke-18 hingga abad ke-19 Gereja tidak menolak peran pemerintah. Gereja juga setuju dengan pandangan bahwa relasi seksual menjadi tujuan kedua perkawinan selain tujuan utamanya untuk menghasilkan anak. (Edward Schillebeeckx, 1965: 442).
Di abad ini, Gereja Katolik lebih menekankan aspek hak secara legal dan tanggung-jawab sosial dari perkawinan. Pandangan Gereja mengenai perkawinan di abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh perkembangan budaya Barat, yang sebelumnya berakar dari humanisme di abad ke-16, perkembangan sekular di abad ke-17, dan perkembangan ilmu alam dan sosial di abad ke-19.
Ciri khas perkembangan budaya Barat di abad ke-20 ialah adanya transformasi sosial, yang kemudian berpengaruh pada kehidupan sehari-hari Gereja, termasuk pada ide teologis maupun sikap kaum intelektual Katolik (Edward Schillebeeckx, 1965: 442-443).
Sebelum abad ke-20, Gereja mengabaikan aspek transformasi sosial dalam perkawinan. Para ahli Gereja lebih dipengaruhi oleh pemikiran filosofis dan teologi Abad Pertengahan serta kritik modern. Kini ajaran Gereja banyak diwarnai oleh pandangan mengenai transformasi sosial.


Kodrat dan Fungsi Sakramen Perkawinan

Dalam konteks transformasi sosial tersebut, pandangan mengenai kodrat dan fungsi perkawinan di Barat berubah. Perkawinan bergeser dari perkara sosial dan perkara pemenuhan keinginan keluarga menjadi hak individual dan cinta personal. Dengan kata lain, cinta yang awalnya dibentuk setelah perkawinan, kini menjadi cinta mendahului perkawinan.

Kini konsep keluarga luas dengan tiga generasi yang tinggal serumah, beralih kepada konsep keluarga inti dengan seorang suami, isteri, dan anak. Pandangan mengenai keluarga sebagai unit basis masyarakat berubah menjadi keluarga sebagai unit sosial di antara masyarakat yang terdiri dari berbagai keluarga: “Ikatan yang tak terputuskan pada tingkat masyarakat menampakkan dinamika ilahi itu.

Tentu saja dalam relasi yang tak terputuskan itu iman suami-isteri yang percaya dapat menjadi terungkap. Dengan demikian perkawinan mereka yang percaya di dunia ini menjadi tanda (dinamis) Kerajaan Allah yang hadir dan serentak tanda kelihatan iman mereka sendiri.“
Adapun relasi timbal-balik antara laki-laki dan perempuan sebagai poler dan komplementer merupakan relasi paling dasariah, paling pribadi dalam arti: paling melibatkan diri orang. Relasi itu dimantapkan oleh lembaga perkawinan. Dan begitu relasi itu menjadi pangkal umat manusia dan seluruh masyarakatnya. Justru relasi itulah yang tersentuh dan dirasuki dinamika Kerajaan Allah. Dan dengan jalan itu dinamika tersebut sedalam-dalamnya masuk ke dalam dunia dan masyarakat manusia. (C. Groenen, [?]: 341) 
Ajaran tradisional tentang tujuan perkawinan yakni untuk prokreasi dan mendidik anak mulai bergeser setelah perang dunia kedua. Perkawinan dilihat sebagai ekspresi cinta antara seorang pria dan wanita, dan keluarga sebagai sarana pendidikan anak tidak lagi menjadi utama.

Pandangan psikologis dan sosiologis ikut berpengaruh pada perkembangan pengertian relasi seksual, yang kini lebih memiliki signifikansi mendalam dalam kehidupan manusia daripada sekadar reproduksi biologis: perkawinan dan seks memiliki artinya sendiri.

Perkawinan adalah kesatuan dua orang dalam komitmen dan kehidupan sehari-hari yang saling dibagikan. Seks adalah pemberian diri secara fisik dan spiritual yang terjadi dalam kesatuan intim dua pribadi dalam cinta.

Tujuan utama perkawinan adalah kepenuhan personal dan perkembangan timbal balik pasangan yang terjadi tidak hanya melalui relasi seksual tetapi melalui relasi interpersonal dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak bersifat sekunder dalam pengertian dan tujuan perkawinan, dan bahkan ada atau tidak anak, tidak berpengaruh terhadap makna perkawinan dan kesatuan seksual.

Menanggapi hal ini, Roma menegaskan kembali doktrin tentang tujuan akhir perkawinan yaitu mendapatkan dan membesarkan anak. Paus Pius XII menghargai pendekatan personal perkawinan, dengan juga menambahkan bahwa nilai-nilai interpersonal seperti kepenuhan dan komitmen adalah penting, walaupun bersifat sekunder. Josef Fuchs dan Bernard Häring (1971:48), serta para teolog lain di abad kontemporer ini melihat pengertian perkawinan melalui pendekatan skriptural, personal, dan kontemporer. 

Konsili Vatikan II membawa perubahan besar atas sikap Gereja dalam masalah perkawinan. Melalui pernyataan pastoral Gereja Dalam Dunia Modern, Gereja tidak lagi menentang ajaran tradisional tentang perkawinan Gerejawi, tetapi mulai mengadopsi pendekatan personal terhadap seks dan perkawinan.

Secara khusus, Konsili menolak perkawinan sebagai ikatan kontrak atau legal semata, namun melihat perkawinan juga dari sisi institusi sosial dan ilahi. Perkawinan adalah perkara perjanjian di antara pribadi, partnership yang intim, kesatuan dalam cinta, dan komunitas (Joseph Martos: 445).
Gereja tetap memegang teguh pendapat bahwa perkawinan ditujukan untuk prokreasi dan pendidikan anak: “Dari kodratnya, institusi perkawinan ditujukan untuk prokreasi dan pendidikan anak. Akan tetapi, Gereja juga menghargai tujuan perkawinan yang diekspresikan lewat cinta di antara pasangan dalam perkawinan yang adalah “sungguh-sungguh manusiawi” dan “melibatkan kebaikan dari keseluruhan pribadi.” (Joseph Martos: 445-446).
Cinta total ini secara unik diekspresikan melalui relasi seksual, yakni tindakan perkawinan yang menjadi tanda pemberian diri timbal balik di antara pasangan yang saling memperkaya dengan kehendak yang bahagia dan penuh syukur.

Menurut Bernard Cooke, cinta dalam keluarga adalah sakramen cinta ilahi, yang sama dengan Yesus sebagai sakramen Tuhan kepada manusia yang mengenalnya. Cinta seksual adalah simbol natural kekuatan cinta Allah yang diberikan, dimana cinta itu penuh dengan vitalitas yang mengarah kepada penciptaan kehidupan baru. 
Kesetiaan dan perhatian dua orang satu sama lain menjadi simbol makna transenden bahwa Tuhan mencintai seluruh manusia. Perkawinan adalah sakramen rahmat satu sama lain yang menjadi kekuatan yang mentransformasi (Bernard Cooke (ed.), 1991" 41-55). 
Perkawinan adalah panggilan yang mulia dan sakral di mana pasangan Kristiani memperoleh “sakramen khusus” yang memperkuat dan menyucikan mereka dalam tugas dan martabat mereka. 

Melalui sakramen, mereka dipenetrasikan dengan roh Kristus, yang memenuhi seluruh kehidupan iman, harapan, dan cinta mereka. Adanya kodrat sakramental, kesatuan cinta, dan tugas mensejahterakan anak dalam perkawinan mengimplikasikan bahwa perkawinan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan.

Ucapan “tak terceraikan”-nya perkawinan mempunyai ciri khusus: 
  1. siapa yang terbesar (Mat 18,1-5), 
  2. menjadi batu sandungan bagi orang kecil (Mat 18:6-11), 
  3. sikap terhadap orang tersesat (Mat 18:12-14), 
  4. bagaimana menangani saudara yang berdosa (Mat 18:15-20), 
  5. hal pengampunan (Mat 18:21-35), 
  6. apakah anak dapat menjadi anggota jemaat (Mat 19:16-26), 
  7. bagaimana sikap terhadap kekayaan, orang kaya (Mat 19:16-26), 
  8. Sikap terhadap mereka yang percaya di luar jemaat (Mrk 9:38-41), 
  9. Upah mereka yang mengikuti Yesus (Mat 19:27-30). 
Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus menegaskan bahwa pasangan Kristiani melalui sakramen perkawinan, menjadi tanda dan menjadi bagian dari misteri dan buah hidup yang ada pada Kristus dan Gerejanya. 

Apostolate of the Laity berbicara tentang sakramentalitas perkawinan secara luas, yaitu pasangan Kristiani seharusnya menjadi tanda satu sama lain, anak-anak mereka, dunia dalam misteri Kristus dan Gereja, dengan pengakuan cinta mereka satu sama lain dan keterlibatan mereka dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Pustaka:
  • Edward Schillebeeckx, Marriage: Human Reality and Saving Mystery. New York: Shed & Ward, 1965
  • Bernard Cooke (ed.), Alternatif untuk Ibadat Masa Mendatang-5, Perkawinan Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1991
  • B. Häring, Mariage in the Modern World. Cork: Mercier, 1971
  • Joseph Martos, Church in the Modern World No. 48-49