iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dalihan Na Tolu


Secara letterlijk, istilah Dalihan Natolu atau lebih akrab ditulis Dalihan Na Tolu (DNT)berarti dalah satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Masyarakat Batak kuno memiliki kebiasaan memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itulah yang dalam bahasa Batak disebut Dalihan Na Tolu.

Falsafah DNT,paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup.

Dalam prakteknya, kalau memasak di atas DNT terkadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Maka untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Benda yang mengganjal itu disebut Sihal-sihal

Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak, sebagaimana terungkap dalam umpasa berikut ini:
Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolosipaihut-ihut on ni na parpudi.
Umpasa di atas sangat relevan dengan falsafah Dalihan Natolu Paopat Sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak. DNT itu diuraikan dalam pesan arkhaik berikut ini:
Somba marhula-hula,manat mardongan tubu,elek marboru.
Konsekuensinya,
  1. angka na so somba marhula-hula:siraraonma gadongna,
  2. molo so manat mardongan tubu:natajom ma adopanna, jala
  3. molo so elek marboru:andurabionma tarusanna.

Itulah tiga falsafah hukum Batak yang menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.


Somba Marhula-hula.

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila seorang perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige (tuak sebagai minuman khas).

Tuak diambil dari bona ni bagot (pohon enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut sige.Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.

Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na.Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).

Siraraon adalah ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Tidaklah bertentangan bila falsafah Dalihan Natolu mengengai somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.