iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Mengapa Saya Jadi Blogger

Mengapa Saya Jadi Blogger
Saya masuk ke blog hampir tiga tahun lalu karena frustrasi terhadap berita yang tertunda untuk dipublikasikan lantaran adanya sensor.

“Mengapa Anda tidak mulai dengan blogAnda sendiri,” saran seorang admin webyang sangat bersahabat di Kolkata yang sadar betapa frustrasinya saya. Dia cukup baik untuk memberi saya alamat situs blog gratis untuk mendaftar.

Ironisnya, dia sendiri masih belum memiliki blog. Blogging saat ini sangat populer di kalangan orang-orang yang memiliki minat khusus dan ada lebih dari 156 juta blog umum di Website, setidaknya hingga Februari 2011.

“Sedih atas terpilihnya Anda sebagai salah satu dari bloggers untuk menghadiri pertemuan pertama di Vatikan yang akan berlangsung 2 Mei [kedengaran seperti judul yang bagus untuk sebuah film komedi-monster-ruang angkasa],” tulis seorang teman wartawan.

Mengungkapkan rasa keprihatinannya, rekan wartawan Jepang itu mengatakan, “Saya tahu Anda dan teman-teman lain di sana akan menghadapi perjuangan berat untuk melawan para penguasa (the powers) yang menuntut bahwa komunikasi modern butuh pola pikir modern.

Ini mungkin pandangan saya yang tidak realistik untuk mengucapkan selamat atas kemenangan bagi Anda, tapi saya tetap berharap bahwa Anda dan semua teman-teman lainnya baik-baik saja dan bisa membarui komitmen kalian untuk berbagai Sabda Tuhan kepada dunia.”

“Jangan khawatir tentang Vatikan yang mencoba ‘mengontrol bloggers,’” demikian penegasan saya kepadanya, sambil menambahkan, “Bloggers itu diehards (orang-orang yang sulit mati) … Mereka tidak akan mengizinkan siapa pun untuk membatasi kebebasan mereka.”

“Jika orang-orang PCCS [Pontifical Council for Social Communications] melakukan pengontrolan, itu akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri,” kataku meyakinkan teman-teman yang curiga terhadap niat “blognic” di Vatikan.

Karena semangat yang berkobar-kobar, saya memulai blog saya sendiri tanpa pengalaman apapun, namun setelah itu saya tahu bahwa blog yang teratur itu membutuhkan isu dan topik yang menarik untuk diskusi dan debat.

Membaptis “NewsGrab” dari blog itu sesungguhnya berbahaya dan berkesan seakan-akan stakeholders (para uskup dan superior) tidak membaca blogs “konyol.”

Seorang profesional di bidang komunikasi, Allwyn Fernandes asal Mumbai memberi nasehat ini bagi orang-orang komunikasi: “Jadilah seperti apa adanya Anda dan katakanlah apa yang Anda rasakan, karena mereka yang berpikir tidak memasalahkannya dan mereka yang memasalahkannya tidak berpikir (Be who you are and say what you feel, because those who mind do not matter, and those who matter don’t mind).”

Kekhawatiran utama para uskup dan superior, yang jarang menjadi bloggers, adalah takut akan adanya penyalahgunaan dan pelecehan.

Bloggers itu terkadang mengganggu, menjengkelkan tata kehidupan moral masyarakat atau kesantunan menyangkut agama, dan hampir semuanya iconoclastic (ngaco). Beberapa anggota hirarki menolak bloggers seenaknya. 

Seorang uskup bahkan mengatakan dengan penuh penyesalan: “Blogger ini mengklaim lebih Katolik dari siapa pun … tanpa mandat, tanpa otoritas, dan tanpa akuntabilitas! Bicaranya tentang menjadi Katolik itu sedemikian definitif, dan banyak sekali orang menjadi pengikutnya.”
Sesungguhnya yang ditakuti para uskup dan superior itu adalah “akuntabilitas dan pelanggaran cinta kasih.” Namun bloggers tahu bahwa mereka bisa sangat cepat dimintai pertanggungjawaban jika mereka mengatakan sesuatu yang salah atau menyesatkan, dan berbagai pandangan mereka dapat dengan begitu cepat dikutip, dianalisis, didukung, atau ditolak.

Masalah yang terselubung di balik ketakutan itu sesungguhnya terkait dengan Internet. “Sekarang ini, semua orang termasuk uskup harus bisa memberi pertanggungjawaban [ya, paling tidak harus lebih sedikit bertanggungjawab] tentang bagaimana mereka menghabiskan uang Gereja.

Para uskup, imam, suster, dan katekis sekarang ini lebih bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan, ajarkan, dan khotbahkan. Satu saja komentar bodoh dari mimbar pada hari Minggu bisa tersebar ke seluruh blogosphere.”

Hukum Kanonik menjamin umat Katolik untuk bersuara: “Sesuai pengetahuan, kompetensi dan keunggulannya, mereka mempunyai hak, bahkan kadang-kadang juga kewajiban, untuk menyampaikan kepada para Gembala suci pendapat mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja dan untuk memberitahukannya kepada kaum beriman kristiani lainnya, tanpa mengurangi keutuhan iman dan moral serta sikap hormat terhadap para Gembala, dan dengan memperhatikan manfaat umum serta martabat pribadi orang” (kanon 212 § 3).
Seorang suster sekaligus blogger asal Amerika Serikat memperingatkan beberapa bahaya praktis dalam blogging. “Ada isu yang telah muncul beberapa kali yaitu perempuan dalam pembinaan. Melalui blog pribadi mereka, mereka melampiaskanunek-unek mereka tentang orang-orang dalam komunitas.”

Dia memperingatkan para suster yang punya blog, “sebelum blogging perlu ada beberapa pendidikan tentang media, hal-hal permanen yang diposting di Website, dan kesadaran bahwa para suster itu mewakili komunitas dan bukan sekedar mewakili diri mereka sendiri secara pribadi.”

Beberapa provinsial mungkin tidak suka dengan poin sederhana di blog yang mengandung perspektif tertentu “karena hal tersebut bisa membahayakan” rencana-rencana mereka.

Suster muda itu menegaskan, “Saya ini pro-blogs, tetapi blogs harus memiliki topik dan tema yang jelas, serta rasa profesionalisme dan batas-batas yang membuat blog itu bermanfaat bagi saya kalau saya baca. Suatu saat saya mungkin akan mulai lagiblogging, tetapi sekarang, saya terlalu sibuk dengan studi dan pelayanan.”

Apa yang dimulai tahun 1997 sebagai Web blog, perlahan-lahan berkembang menjadi Blog yang memungkinkan orang-orang biasa didengarkan di seluruh dunia.

Penulis: C. M. Paul (Pemimpin redaksi PenaKatolik)


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.