iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Umpama dan Umpasa Sebagai Media Komunikasi

Umpama dan Umpasa Sebagai Media Komunikasi


Dalam kaitan tutur kata di masyarakat Batak, ada beberapa UMPASA sebagai suatu cara untuk mendekatkan diri kepada sesama, baik secara personal maupun di loloan (di tengah kumpulan orang banyak):
Naribur ni rungguan, di tonga-tongan ni onan,
asa boi marsisukkunan, ingkon masipandohan
(Untuk saling mengenal diri,
harus terlebih dulu ada pendekatan melalui tegur sapa).

Marhosa-hosa sunting, marsiusungan dompak dolok,
ala ni lambok ni pakkuling, na holang i gabe jonok
(Dengan tutur bahasa yang sopan dan teratur
sebuah perkenalan/pertemuan pasti akan terasa lebih akrab).
Untuk mengawali sesuatu pembicaraan atau mengutarakan pendapat, orang Batak seharusnya memulai dengan tutur kata, santabi. Perkataan sedikit ini sangat besar pengaruhnya dalam di tiap pembicaraan; bukan pada saat acara upacara adat saja, tetapi juga juga dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya bila kita akan lewat di depan seseorang, atau ingin mendahului pembicaraan, ungkapan santabi sangat biasa diucapkan. Tak hanya itu, kata santabi juga sangat wajar diucapkan bila seseorang akan memasuki sebuah tempat yang dianggap keramat. “Santabi da oppung!"

Kata oppung menunjuk pada tata krama mistik yang dibarengi oleh keyakinan roh bahwa ada sosok tertentu yang menghuni tempat tersebut; dan diharapkan dengan ungkapan itu sosok tadi tidak akan merasa tersinggung, pun tidak akan mengganggunya.

Norma-norma di atas memang sudah nyaris hilang dalam pergaulan masyarakat Batak saat ini, khususnya di kalangan remaja. Lantas, siapa yang salah? Kita tidak dapat menyalahkan kaum remaja saja. Tentu, tak mudah untuk mengatakan bahwa remaja sekarang cenderung kurang ajar dan tidak mau tahu dengan adat-istiadat yang diwariskan leluhurnya.

Sebab dalam perkembangan fisiologis, psikologis dan spiritual seorang remaja, ada kalanya mereka berpikir kalau mereka sudah cukup pintar dan mampu mengarungi kehidupan ini sendirian, pun tanpa gangguan dari tata adat semacam ini, sebagaimana terungkap dalam umpasa berikut:
Tano so maganggang, langit so matombuk.([Tanpa ada-istiadat:] Tanah takkan retak, [dan] langit [pun] tidak akan bocor).
Maka tak heran bila kaum remaja cenderung menganggap remeh segala rintangan dalam hidupnya. Sekali lagi, lalu siapa dong yang salah? Kalau mau jujur, tiap tindakan kaum remaja di atas, termasuk dalam hal memperlakukan adat istiadat leluhur mereka, selalu terkait erat dengan teladan orang tua mereka.

Peranan atau pengaruh orang tua di sini sangatlah penting. Tentang hal ini leluhur kita mengungkapkannya dalam umpasa berikut:
Ndang dao tubis sian bonana, molo dao disarut-sarut babi.(Rebung tak pernah jauh dari pangkalnya,
[sebab] bila jauh [ia] akan diserobot babi).
Ungkapan ini mengisyaratkan, perilaku seorang bapak atau ibu sangat berpengaruh pada si anak. Kalau seorang bapak atau itu tak pernah menghargai adat-istiadat, bahkan tak pernah berusaha mewarisi adat tersebut kepada anak-anaknya maka perilaku yang asama akan turun kepada anak-anaknya.

Demikian sebaliknya, jika seorang mereka adalah orang baik dan sungguh menghargai adat istiada leluhurnya dengan baik pula maka anak-anak mereka akan berperilaku baik pula.

Dalam adat Batak hal ini diungkapkan dengan ungkapan "Mamukka tanduk" atau dalam ungkapan umpasa dikatakan:
Situnggik ninna dakdanak, sitokka nina na tua-tua
(Situnggik adalah pengertian untuk segala perbuatan dan perkataan yang tercela atau tingkah laku yang tidak baik).
Sangat disayangkan, bahwa akhir-akhir ini sudah makin jarang orang tua yang mau menegor atau melarang orang muda yang berperilaku tidak becus, apalagi bila si orang muda tidak ada hubungan keluarga dengan si orang tua. Sehingga citra peradaan kita seolah-olah sudah sirna.

Untuk itu peranan orang tua di zaman yang serba maju sekarang sangat penting untuk meluruskan langkah anak muda yang lari dari jalan yang benar.

*Disadur dan diterjemahkan dari O.P. Sihombing, 1984