iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menafsir

Menafsir

Tentu saja saya bukan seorang ahli tafsir. Saya juga tak meminta Anda menjadi ahli tafsir (ahli hermeneutika). Jadi maklumi saja mengapa tulisan ini bukan pertama-tama sebagai analisis atas tafsir atau menafsir ulang (re-thinking) informasi yang telah dipublikasi.

Sejalan dengan ungkapan kejujuran di atas, saya pun tak akan mengurai tuntas arti filofis dari kata "tafsir" dalam tulisan ini. Tulisan ini melulu hanya ulasan subyektif saya atas realitas. Saat kita belum memahami peristiwa atau berita yang satu, eh kita malah sudah dibuat terkesima dengan peristiwa atau berita atau informasi yang baru. Di titik inilah kita akhirnya harus menyadari betapa teknologi informasi telah dan sedang meraja atas hidup kita. 

Di alam bawah sadar kita tidak rela bila digolongkan sebagai orang yang gaptek alias tulalit dalam memaksimalkan fitur-fitur teknologi nan canggih dan serba memudahkan itu.

Kecanggihan teknologi yang pasti menuntut kemahiran kita dalam menggunakannya seakan-akan memangil-manggil kita untuk memiliki dan menguasainya.

Kemampuan akal budi, daya pikir yang mumpuni memang membuat kita selalu iungin mencari dan mencari hal-hal baru, juga barang atau situasi baru. Ini pula yang memungkinkan kita disebut hari ini cakap teknologi, makin berteknologi (up to date) dan esok hari kita mesti pasrah dituduh sebagai orang yang gaptek alias gagap teknologi (out to date).

Sekali lagi, ketangkasan manusia yang satu dalam menciptakan sarana yang kita butuhkan atau inginkan dalam berkomunikasi membuat otak dari manusia-manusia lain tergerus dan terkuras.

Celakanya otak kita bahkan belum sempat menyerap dan mencecap informasi yang satu, eh informasi berikutnya sudah menyelimuti pikiran kita. Sedemikan banyaknya informasi yang seolah-olah baru itu tampil hingga kita merasa dipanggil-panggil untuk mencari, membaca, mendengarkan 'isi hatinya'. Maka yang terjadi ialah kita mulai bermain dengan tafsir.

Kita mulai menafsir, meringkas, memangkas, bahkan merasa sudah menguasai segala informasi yang ada. lagi, tak jarang bahwa cara kita menafsir dan meringkas berita itu pada akhirnya malah menjadi bagian dari sikap kita: sok tau, sok menguasai dan sok hebat!


Menafsir Informasi

Membaca media massa, kita sering mendengarkan radio, menonton televisi atau membaca berbagai berita atau informasi yang dibagi di berbagai media yang tersedia. Menarik bahwa dari semua pemberitaan atau informasi yang disuguhkan itu sangat didominasi oleh tafsir.

Dalam bahasa awam, berita yang disurguhkan itu telah dipertanyakan ulang oleh kaum intelektual yang sok pintar atau memang cerdas. Lihat saja contoh teranyar, yakni kasus munculnya neologi "Vickynisasi" atau "Syahrinisasi" yang menunjuk cara berbahasa yang ngawur dan sok intelek ala Vicky dan Syahrini.

Di sini kita melihat betapa media tampil sangat tidak cerdas dan tidak selektif, kalau tidak mau disebut  media dengan filsofi "yang penting ada berita". Mengapa saya mengatakan media terkesan bodoh dalam kasus ini atau dalam kasus-kasus serupa? Benarkah semata-mata karena demi pertumbuhan industri media? Atau, jangan-jangan ini adalah bentuk kecolongan informasi yang akhirnya laku dijual sebagai informasi?

Entahlah, yang jelas sebagian dari media, khususnya di negara kita justru makan dari 'keteledoran'nya dalam memberitakan informasi yang benar. Begini.... kita tidak kenal siapa Vicky sebelumnya kecuali karena belakangan sering diberitakan oleh media televisi dan internet. Begitu juga kita mengenal Syahrini bukan dari suranya yang merdu, tetapi karen gayanya kelewatan untuk ukuran normal. Ini hanya salah satu contoh kecil yang lagi booming.

Percaya atau tidak, Dedi Corbuzier yang biasanya tampil anggun dan cerdas di acara talkshow Hitam Putih pun akhirnya harus tampil bodoh, bahkan lebih bodoh dari si Vicky itu sendiri saat memandu talk-show kebanggaannya itu.

Cara media memberitakan kebodohan mau tidak mau, pada akhirnya akan membunuh dirinya sendiri. Media sekarang mau seperti kena tulah atas pelecehan kebodohan manusia lain yang awalnya ia bayar mahal untuk ditampilkan.

Jadi sangat beralasan ketika media kerap dituding sebagai media pembodohan; buktinya si pesulap sohor dan cerdas aja sudah turut tampil bodoh di panggung yang membesarkan namanya sebagai orang cerdas. 


Menafsir Pribadi 

Sebegitu berpengaruhnya informasi terhadap pola tindakan kita, hingga kita tak lagi menafsir informasi, tapi mulai berhasrat untuk menafsir pribadi yang menjadi subyek dari informasi tersebut. Awalnya sih bisa saja karena dikuasai oleh rasa penasaran.

Begitulah media selalu merangsang hasrat penasaran yang kita miliki membeli dan selanjutnya menjual sebagai berita baru ala kita sendiri. Tetapi, celakalah kita apabila rasa penasaran tadi tidak kita letakan pada tempatnya.

Bila yang terjadi adalah kita hanya menjadi "jembatan rapuh" alias penggosip baru bagi sebuah informasi, maka bukan tujuan positif yang kita dapatkan; bukan pula menemukan kebenaran yang sungguh terjadi. 

Fakta yang kerap terjadi justru sebaliknya; kita jatuh dalam situasi untuk membenarkan yang salah; atau menyalahkan yang benar. Ibarat membeli Smartphone yang serba canggih tetapi kita tidak tahu mengapa harus membelinya.

Lantas, untuk apa mencari informasi tentang orang lain? Pertanyaan ini memang mengacu pada misi, dan tujuan kita, tentu kita tak bakal lupa bahwa rasa ingin tau, rasa penasaran itulah yang membuat seseorang menjadi pintar, lebih baik, lebih benar, dst. Padahal niat mencari informasi, khususunya informasi negatif tentang orang lain justru menjadi bumerang bagi kita sendiri. 

Rasa penasaran dengan pribadi si A yang tertanam di dalam diri kita sering kali merupakan pembenaran tafsir kita atas pribadi si A. Ini sungguh bahaya! Bagaimana mungkin, setelah rasa penasaran terpuaskan lantas kita berani menyimpulkan dengan kalimat-kalimat murahan seperti ini, 
"Ternyata dia itu begini dan begitu”, "pantasan aja selama ini dia ingin begitu", “Emang sih dia begitu dari dulu!”, dst. Sedemikian penasarannya kita hingga kita selalu ingin tau kesalahan orang lain.

Tentu akan sangat mulia bila ternyata misi kita adalah untuk semakin tahu dan sadar ingin kelebihan pribadi-pribadi tertentu. Itu terjadi dengan kita juga. Mungkin awalnya kita hanya ingin sekedar ingin tahu dengan membacaatau menontong berita tentang si X atau si Y.

Kita lantas mulai tergoda untuk berkomentar, bahkan ingin menulis / mengulas ulang berita tersebut di ruang-ruang pemberitaan yang memang sangat banyak tersedia. 

Beberapa dari kita sangat obyektif. Ya, karena tahu tentang subyek atau obyek yang kita wartakan ulang. Namun banyak juga dari antara kita yang memberitakannya secara tidak berimbang, mulai dari membeberkan kesalahannya demi keuntungan kita. Keuntungan seperti apa? Ya,seperti Vicky dan Syahrini tadi, kita akan dikenal bukan karena kecerdasan kita, melainkan karena kebodohan kita. 


Motivasi Awal untuk Menafsir Sesuatu atau Seseorang

Kembali pada penasaran awal, rasa penasaran ingin tau (sekedarnya mengetahui) kesalahan dan kelemahan dengan orang lain justru lebih dominan di dunia kita akhir-akhir ini. Orang pun lantas berduyun-duyun memenuhi ruang pengadilan dengan rasa penasaran ingin tahu apakah kesalahan yang sugguh dilakukan orang itu; bukan lagi saoal “Apakah orang itu bersalah atau tidak!” 

Kasus ini berbicara ke kita pengadilan tidak menemukan apakah kelancaran berhasil atau tidak, tapi membebaskan pletik-pletik kesalahan darinya. 

Pertanyaan berikutnya yang harus menyusul adalah rupa besar instansi tentang peristiwa, tentang orang yang diberitakan bersalah itu sudah utuh dan lengkap atas beluk? Jangan – jangan ini bahaya praduga, pradug bersalah! Bukan praduga tak benar. 


Memilih Obyek Penafsiran


Di titik inilah bahanya menafsir sebuah peristiwa. Kita harus menggunakan rumusan 5W+H yang pernah kita pelajari saat Sekolah Dasar dulu. Kesalahan memilih "obyek" yang akan ditafsir sebelum dipublikasikan adalah kunci untuk mencegah segala kebodohan ini. Bukan saja tafsir atas peristiwa disekitar kita, tetapi juga tafsir atas peristiwa yang bahkan kita tak pernah melihat langsung kapan dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi. 

Ini memang sangat dimungkinkan apabila kita sadar bahwa di depan mata kita terhampar ber-gigabyte peristiwa, baik yang kita sukai maupun yang samasekali tidak kita sukai; juga hamparan informasi yang memang sedang kita cari dan butuhkan atau yang samasekali tidak kita butuhkan.

Lantas apa yang terjadi bila kita salah menafsir ? Seperti pada kisah-kisah gosip yang beredar di media massa yang akhirnya harus siap diterjang penyangkalah dan pengiyaan dari subyek yang diberitakan.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.