iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tiap Kata Perlu Ditata

Dagadu di Jogja menjadi terkenal akibat kreativitas anak muda berupa "kata dan kalimat kreatif dan lucu" yang dengan label "pabrik kata-kata"

Begitulah kultur atau budaya Timur, termasuk kita masyarakat Batak. Gaya berkomunikasi masyarakat kita pada umumnya adalah gaya berkomunikasi secara verbal. 

Senang berkumpul dan ngobrol ngalor ngidul. Kadang dengan santun, berbelit-belit, berputar ke sana ke mari hingga inti yang hendak disampaikan menjadi kabur. Tapi sekali lagi, itulah kultur kita. 

Kita terbiasa dengan bahasa verbal. Kita dengan mudah mengatakan tentang apa pun yang tampak. Dengan mudah kita mencaci dan memuji orang secara verbal. 

Dengan mudah kita berbincang di lapo tuak dan kedai kopi, entah membahas hidupnya Obama, style kepemimpinan Jokowi dan Ahok, hingga mengkritik pemimpin X,YZ.

Semua mengalir dalam obrolan, yang kadang berlangsung ringan, tetapi juga tak jarang menghasilkan debat kusir hingga berantem. Tak bermaksud memberi penilaian matematis, tetapi kebiasaan berkomunikasi secara verbal ini ada untung ruginya.

Sering terjadi, karena hampir setiap saat atau sering bertemu dan bercakap-cakap dengan orang yang sama, maka apa yang dibicarakan sering malah dilupakan.

Selain itu, juga orang tergoda untuk berbicara tanpa struktur, tak runut, bahkan sering malah menghasilkan dua orang yang saling bergelut.

Lain hal dengan gaya bahasa verbal saat ritual-ritual adat. Sudah ada semacam kesepakatan lisan tentang tahapan-tahapan tertentu. Namun, tetap saja sering terlampau berbelit-belit, karena sang protokol dengan sebutan 'raja parhata' bahkan tak memiliki catatan tentang urutan upacara.

Lebih jauh lagi, ini merembet ke dunia tulisan. Tak terhindarkan ketika fesbuk dengan ruang kata-kata nyaris tak terbatas, atau twitter dengan 140 kata saja merasuki kultur kita.

Kata demi kata, kalimat demi kalimat terasa sangat verbal dan tak jarang marambalangan (semrawut). Isinya kerap lebih provokatif dari reflektif, lebih suka memberi penilaian daripada mengevaluasi secara elegan.

Kebiasaan verbal, tak ayal lagi sering membuat kita lupa apa yang hendak kita sampaikan saat menuliskan ide kita. Bahkan.. dan ini seakan tak terhindarkan -- sebagaimana yang biasa kita lakukan saat ngobrol -- kita sering lupa yang telah kita sampaikan/ungkapkan lewat tulisan kita.

Akhirnya, solusi terbaik untuk keluar dari kemelut gaya berkomunikasi ini adalah dengan mulai belajar MENDENGARKAN. 

Hanya orang yang bisa menjadi pendengar yang baiklah yang akhirnya mampu menangkap secara tepat apa yang disampaikan orang lain, entah lewat tulisan, entah lewat ungkapan.