iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Saat Orang Serakah Berjaya



Sifat serakah itu terkadang tersembunyi. Peta keserakahan dalam peradaban manusia masa kini meyakinkan kita bahwa bahwa sifat serakah selalu bersembunyi dibalik perilaku manusia. Amat sangat berbahaya bila ajaran agama pun diwujudkan sesuai dengan kebutuhan "pembaca"nya sendiri.

Salah tafsir dan larut dalam kesesatan merupakan akibat negatif yang tak terelakkan. Misalnya, ketika ungkapan Rasul Paulus ditafsir secara salah dan menyesatkan begini: 
"Jika seorang tidak bekerja janganlah ia diberi makan" menjadi "Mereka yang miskin itu sia-sia karena mereka tidak mau bekerja. Jadi wajar saja bila mereka melarat. Karena mereka sendiri yang malas, maka tidak ada kewajiban bagi orang kaya dan sejahtera untuk membantu mereka."
Kita tahu kalau ungkapan semacam ini hanyalah kata lain dari tidak mau bersedekah, tidak rela berbagi dengan apa yang sudah ia peroleh dalam hidupnya.

Kalau demikian jelas orang yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin, bahkan ketika kekayaan yang mereka dapatkan itu berasal dari penindasan terhadap si miskin.

Hari-hari ini dengan mudah kita temui orang-orang serakah, mereka yang tamak dan serakah. Dan kita semua tahu bahwa kekayaan itu tak selalu buah dari kejujuran. Namun, justru karena ia datang dari ketidak-jujuran, maka orang tak malu lagi memamerkan kekayaannya.

Demikianlah keserakahan selalu bersembunyi dibalik baju-baju necis yang dipadu serasi, makanan berselera tinggi, dan segala pernak- pernik kekayaan lainnya. Sebagai bukti nyata dari kekayaannya, ia akan mengekspos, memamerkan sedemikian hebat segala apa yang melekat dengan dirinya, dengan hidupnya.

Life style mereka ini dengan mudah kita baca di majalah-majalah, koran-koran, tabloid-tabloid hingga di televisi yang tiap hari kita ruang tamu kita. Lebih khusus lagi, bangunan rumahnya nongol do majalah arsitektural, restoran-restoran yang dikunjungi—selera makannya akan muncul di tabloid-tabloid, baju yang dikenakan istrinya tak pernah lepas darisorotan kamera dan itu hampir pasti akan dimuat di majalah foto.

Tak cukup sampai di situ, mereka juga seakan berhak disorot, difilemkan, baik demi dokumentasi pribadi maupun untuk konsumsi publik—khususnya mereka yang ingin meneladani, meniru atau minimal mirip dengan sang tokoh dalam film dokumenter itu. Yang mereka pakai akan disepakati sebagai "trend setter". Baju mereka jadi patokan, pakaian dalam mereka pun ditiru oleh mereka.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.