iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Surung-surung

Surung-surung

"Ah, hamu pe da. Lak ikkon bagi rata on sude hepeng on tu tim ta? Molo songoni aha be surung-surung niba doba sebagai bos (Loh, kamu gimana sih. Masa semua uang ini ini harus kita bagi rata Kalau gitu, apa dong "jatah" ku sebagai bos?)," kata seorang mantan pensiunan pejabat sesaat setelah pembagian sisa kas dalam proyek yang mereka tangani.

Terminologi "surung-surung" sangat menarik di telinga saya, hingga saya memberanikan diri bertanya ke teman yang memang penutur bahasa asli Batak Toba.

Menurut teman yang penutur asli Bahasa Batak Toba itu, "surung-surung" itu bisa diartikan sebagai upeti, jatah bos, dst.

Lalu saya telusuri Kamus Batak-Indonesia karya Pastor Leo Josten, OFMCap yang mengartika kata "surung" atau "hasusurung" sebagai utama, unggul, suka akan, prioritas, istimewa. sumurung, lebih baik, lebih unggul dari, lebih banyak memperoleh. hasurungan, kelebihan, keunggulan, keistimewaan.

Selanjutnya kata "marhasurungan" berarti mempunyai kelebihan, mengungguli; "marnasumurung", berbeda mengenai keunggulan. 

Hebatnya, fungsi dari yang dikategorikan sebagai "surung-surung" ini tak selalu berkaitan dengan kinerja (performance) seseorang, tetapi lebih sering digunakan dalam pengertian upeti yang diperoleh berkat "kehadiran" seorang bos atau pemimpin, bahkan ketika ia bahkan samasekali tak bekerja.

Dalam sistem kerajaan kuno sistem uang upeti atau jatah bos semacam ini sah-sah saja. Ini jugalah yang dipraktikkan oleh para preman pasar, preman terminal, bahkan berbagai organisasi kemasyarakatan berbasis 'militer'.

Tapi dalam sistem pemerintahan modern, pemanfaatan jabatan dan mengkonversinya dalam bentuk lembaran rupiah dan/atau barang dipandang ilega.

Meminjam istilah KPK, praktik semacam ini telah tergolong dalam kasus gratifikasi. Gratifikasi sendiri bisa dalam bentuk uang (seperti kasus OC Kaligis tahun 2016 lalu), atau dalam bentuk barang/orang (perhiasan atau perempuan cantik sebagai pelengkap fulus).

Kendati pemanfaatan kekuasaan demi memperkaya diri sudah dilarang, namun kebiasaan meminta "jatah" atau "surung-surung" tadi masih marak terjadi. Tak hanya dalam konteks bisnis, tetapi juga di ranah adat, bahkan di lingkungan agama.

Praktik pemberian surung-surung lingkungan agama sedikit agak berbeda. Seorang bos (penatuan jemaat) lebih sering berbagai jatah atau surung-surungnya. Biasanya ia akan menghindari pertanyaan "Sadia surung-surungku? (berapa jatahku)?.

Sebaliknya ia akan berbagai surung-surungnya itu kepada tim kerjanya (sebuat saja saat merayakan pesta gereja): "Ala hamu do na loja di ulaonta on, bah ris ma nia hita mandapot surung-surung nalaho tu au on. Unang alani ketua au las di au sude surung-surung on. Ala, huhilala dang denggan songoni di parhuriaon!"

Dalam terjemahan bebas kira-kira artinya begini, "Kita bagi saja jatahku ini, karena sebetulnya kalianlah yang capai kerja. Jadi kita bagi saja . Jangan karena aku bos maka semuanya untuk saya. Hal itu tidak baik dalam hidup menggereja."

Songon i ma dipakkulingi fesbuk hita sadarion !


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.