iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Pars versus Totem

Pars pro Toto
Benar bahwa berbincang mengenai tema-teman sentimentil, seperti kultur dan agama selalu diminati banyak orang.

Selain karena di dalamnya Anda bisa menonjolkan unsur subyektivitas Anda, juga karena isu kultur dan agama selalu melibatkan fenomena-fenomena yang asyik untuk diperbincangkan.

Sebut saja fenomena lahirnya sekte-sekte atau agama-agama sempalan dari agama-agama mainstream.

Fenomena ini menarik karena sekte-sekte yang baru lahir itu selalu mengklaim kelompok mereka sebagai agama yang benar.

Tak berhenti di situ. Sekte-sekte baru itu juga kerap menabuh genderan perang membuncah "kesesatan" agama yang sebelumnya mereka anut.

Sedemikian menarik topik yang sensitif ini hingga berbicara tentang kebenarannya bagi seseseorang sama halnya membicarakan kesesatan orang lain. Begitu sebaliknya, ketika orang lain 'ngomongin' kejelekan agama yang kita anut sama saja ia mengumbar kebenaran versi agamanya.

Ini berarti selalu ada 2 cara pandang dalam berdiskusi tentang kultur dan agama, yakni
(1) Pars pro toto : gaya bahasa yang mengungkapkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Contoh:
- Pengacara hebat itu pasti orang Batak.
- Agama paling benar itu adalah agama mayoritas.

(2) Totem pro parte : mengungkapan keseluruhan untuk mengaitkan dengan sebagian dari sesuatu bagian. Contoh:
- Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan tulus.
- Umat beragama saat ini suka memerangi agama lain.

*****
Nilai-nilai kultural dan ajaran agama tak seharusnya didiskusikan, melainkan cukup diimani, dihidupi, dan dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.


Mengutip pernyataan seorang komika, "Agama bukan untuk diperdebatkan keles, tapi untuk diamalkan!"




Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.