iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Bukan Sekedar Sampul

 Bukan Sekedar Sampul
Menurut wikipedia berbahasa Indonesia, FACEBOOK adalah sebuah web jejaring sosial yang didirikan oleh Mark zuckerberg, diluncurkan pada tanggal 4 Februari 2004.

Facebook memungkinkan para pengguna dapat menambahkan profil dengan foto, kontak, ataupun informasi personil lainnya dan dapat bergabung dalam komunitas untuk melakukan koneksi dan berinteraksi dengan pengguna lainnya.



Pengantar

Nama layanan ini berasal dari nama buku yang diberikan kepada mahasiswa pada tahun akademik pertama oleh beberapa pihak administrasi universitas di Amerika Serikat dengan tujuan membantu mahasiswa mengenal satu sama lain.

Melihat definisi di atas, sebetulnya facebook tak lain adalah media yang mendokumentasikan pertemanan dengan sahabat lama atau orang yang baru kita kenal.

Efek facebook ini begitu hebat, bahkan telah menjadi mentalitas dan menyangkut eksistensi seseorang. Nah, mentalitas seperti apa yang dibangun oleh Facebook?


Kualitas Pertemenanan Kuantitatif

Facebook kerap membuat kita menjadi orang dengan segudang teman. Tak penting kenal atau tidak kenal sama sekali. Yang penting adalah banyaknya, dan bukan kualitasnya. Padahal pertemanan itu semestinya menggunakan prinsip "non multas sed multum" (bukan banyaknya yang terpenting, tetapi kualitasnya).

Nah, karena tidak "terlalu" kenal, maka kita merasa tak perlu menjaga "ranah etik" dalam pertemanan di facebook, entah pelanggaran etika jurnalistik, entah pelanggaran terhadap khasanah budaya lokal yang melekat pada diri kita.

Perbedaan pendapat di facebook bahkan tak bisa kita kontrol sedemikian, sehingga kalimat-kalimat kasar seperti, "mangolu dope pidongmu? (apakah kelaminmu bisa ereksi?) sering dilayangkan orang Batak kepada sesamanya sebagai simpul kebodohannya sendiri.

Penggunaan dan pemilihan kata/kalimat pun sering kita abaikan. Bahkan rasa hormat kita kepada orang yang lebih tua, tokoh masyarakat dan pejabat negara yang dulu tertata dengan apik ditengah budaya kita, kini (di media sosial) samasekali sudah jarang terlihat.


Menyimpulkan Secara Salah 

Ketika Tukul mulai belajar bahasa Inggris di talkshow "Bukan Empat Mata" sering bilang ke tamu-tamu yang diundangnya, "Don't judge a book by the cover" Media sosial, terutama facebook justru telah menggiring sebagian orang berpikir secara partikular. Banyak dari pengguna facebook di negeri kepulauan ini yang jatuh pada mentalitas penikmat gosip.

Kasus penghinaan presiden, gubernur, tokoh masyarakat; perdebatan dangkal tentang agama, bahkan pelecehan nilai-nilai kebudayaan tertentu saban hari semakin memenuhi akun-akun facebook.

Tingkat pendidikan bahkan sering tak berpengaruh. Mungkin kita masih mengingat kasus seorang eksekutif muda lulusan S3 dari universitas ternama yang menghina presiden Jokowi di facebook nya. Itu hanya satu kasus. Masih banyak kasus sejenis, bahkan kasus-kaus lain yang setiap menit terpampang di aku para pengguna facebook.


Pendangkalan Pemahaman

Kalau Facebook diterjemahkan secara harafiah kedalam Bahasa Indonesia, maka artinya adalah "wajah buku" atau "buku berisi wajah". Pengertian ini menggiring mayoritas pengguna facebook menggunakan facebook sebagai sebuah buku dengan wajah/sampul menarik.

Bagaimana tidak, banyak status atau tautan yang dibagikan oleh penggunan facebook hanya berisi "buku kosong" berwajah bagus dan indah yang bebas diisi oleh para pemiliknya.

Saya teringat dengan temanku yang suka mengoleksi buku. Ia sering membeli sebuah buku hanya karena sampulnya menarik. Selanjutnya ia akan menata buku-buku koleksinya itu di rak-rak buku yang tertata rapih di ruang kerjanya. Buku-buku koleksi si teman tadi bahkan masih terlihat baru dan masih dibungkus plastik.

Kebiasaan "membaca buku" dari masyarakat kita memang masih sebatas melihat, membelinya untuk dikoleksi, tetapi belum sungguh dibaca. Tidak hanya dalam hal membaca buku, dalam hal membaca situasi di sekitar tetap menggunakan cara yang sama, yakni melihat sepintas apa yang terjadi dan secepatnya mengambil kesimpulan.

Konon katanya, kebiasaan di atas telah menjadikan banyak profesor Indonesia yang malah menulis buku. Kata mereka, "Untuk apa menulis buku disaat masyarakat kita tak suka membaca?" Kebiasaan yang sama juga telah menggiring masyarakat kita terlalu mudah menyimpulkan sesuatu. Tak hanya orang tak sekloah, orang yang berpendidikan tinggi hingga S3 sekalipun kerap tak mampu mengurai pemikirannya lewat tulisan yang sistematik.

Kebiasaan "tak mau susah" dan "malas membaca" tadi justru membuat para Doktor dan profesor di universitas-universitas kita lebih memilih untuk menjiplak secara plak (plagiarisme, plagiat) daripada menuliskan idenya sendiri.


Menyimpulkan Tanpa Mengetahui

Masyarakat kita memang tak pernah sungguh membaca buku, majalah, artikel, tulisan, opini dan sejenisnya, juga dalam hal 'membaca' situasi di sekitar mereka. Padahal ketika mendesain sampul sebuah buku/majalah, saya selalu memahami keseluruhan isi buku terelbih dahulu sehingga sampul yang kuproduksi bukan sekedar lukisan terpisah dari isi buku.

Kebiasaan menyimpulkan sesuatu tanpa sungguh tahu apa yang terjadi, atau mengomentari status facebook seseorang tanpa membaca isinya adalah kebiasaan orang bodoh dan tolol atau mereka yang merasa tahu tapi tak sungguh tahu.

Bisa jadi ini adalah buah dari sistem pendidikan kita yang merawat kebiasaan menjiplak/menyontek atau merampas karya orang lain. Dalam hal penggunaan media sosial, seperti facebook misalnya, mentalitas "sok tahu" itu pun sangat mendominasi para penggunanya.

Maka jangan heran bila banyak pengguna facebook di negeri ini hanya sekedar ikut-ikutan, biar dianggap up to date, dan tidak gaptek. Tak jarang terjadi juga ketika mereka hanya me-LIKE atau men-SHARE sebuah postingan tanpa pernah memposting buah pemikirannya sendiri.

Herannya, banyak pengguna facebook yang me-like, mengomentari dan membagikan status seseorang hanya dalam hitungan detik setelah diposting. Artinya, mereka sering menyukai, mengomentari dan membagikan sesuatu yang mereka bahkan tak tahu isi postingannya. Hebat bukan?


Penutup

Mayoritas pengguna media sosial di negeri tercinta ini bermental pragmatis, ikut-ikutan dan hanya kepingin eksis di dunia maya. Selain tak suka membaca, mereka ini juga tak terbiasa melihat sesuatu secara lengkap. Ibarat melihat gelas, mereka lebih menyukai pecahan gelas (beling) daripada gelas itu sendiri.

Dodit Mulyanto, seorang Comica asal Surabaya pernah berbagi pengalamannya saat pertama kali ke Australia dalam acara Ulang Tahun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI): "Di taman-taman kota dengan pepohonan yang rindang di Australia aku melihat banyak anak muda duduk santai sambil membaca buku. Lain lagi di negara kita. Anak-anak muda kita memang suka nongkrong dengan pasangannya di taman-taman kota. Mereka juga membaca sih, tapi bukan membaca buku, melainkan "membaca" situasi sekitar agar ia dan pasangannya bisa bercumbu dibawah pohon."

Semua ini tergantung pada pilihan dan cara Anda dalam menggunakan media sosial, terutama di akun Facebook milik Anda sendiri.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.