iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Bangsa Yang Memelihara Kegelapan

Bangsa Yang Memelihara Kegelapan

"Hanya dalam kegelapan setap warna menjadi satu." Pepatah kuno ini dianut oleh banyak suku bangsa di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tentu saja hal ungkapan ini mengandung kebenaran universal. Ibarat mengenakan tutup mata yang tebal hingga tak kita tak bisa melihat apa pun kecuali warna hitam, warna kegelapan.

Dalam kehidupan nyata, filsafat ini tampak sangat nyata. Misalnya ketika pikiran kita dikuasai oleh gelimang harta dan uang, maka kita cenderung akan mengabaikan hal lain kecuali harta dan uang. Entah itu di pikiran, bahkan sampai di bawah sadar kita.

Begitu juga disaat kekuasaan memenuhi pikiran para politisi, maka segala cara akan mereka lakukan demi menggapainya, termasuk mengabaikan kenyamanan sosial dengan menggalang demonstrasi besar-besaran.

Pendeknya mereka tak peduli terjadi makar yang dilakukan orang-orang bayarannya, juga tak pernah berpikir tentang kerusakan fasilitas umum, kenyamanan masyarakat, atau bagaimana sulitnya memperbaiki keadaan yang telah mereka rusak.

Ini sungguh terjadi di negeri tercinta ini, ketika ratusan juta manusia begitu mudah berkumpul hanya karena ada dugaan pentaan agama tertentu. Tetapi serentak betapa sulitnya mengumpulkan 100 orang untuk bergotong royong membangun selokan di RT masing-masing.

Kekuasaan yang begitu menggiurkan tak jarang diperebutkan seperti seorang pemakai narkoba yang sudah addict hingga ia tak kuasa menghalai pikirannya pada narkoba.

Begitu tergantung ia pada pada narkoba hingga ia tak sadar lagi bahwa mencuri, memalak, hingga membunuh membunuh orang lain demi narkoba adalah bentuk kejahatan kemanusiaan.

Mereka yang haus akan kekuasaan hampir pasti melakukan apa saja untuk meraihnya. Tak jarang pula seseorang mengupayakan sedemikian rupa agar ia berkuasa sepanjang hidupnya. Soeharto melakukan tindakan ini, hingga ia berhasil menjadi presiden selama 32 tahun.

Mungkin saja, bila UU Pilpres mendukung jabatan seumur hidup bagi seorang presdien, maka SBY potensial melakukan hal yang sama. Sayangnya UU tentang jabatan presiden seumur hidup tak diterapkan, sehingga ia justru mengorbankan anaknya latihan memimpin sebagai gubernur DKI sebelum memperebutkan kursi RI-1 kelak.

Tak hanya di bidang politik dan kekuasaan. Di bidang agama pun kita istilah agama radikal, atau orang yang beragama dalam fanatisme semu, menciptakan agama baru dari agama yang sudah ada (sempalan), beragama demi mencapi tujuan politik tertentu.

Khusus di bidang agama, negara kita paling jago mencampuradukkan agama, politik dan kekuasaan. Hanya di negara kita agama mudah diplintir dengan penafsiran seorang tukang bakso atau preman pasar yang jadi ustadz, apoteker atau preman gembel yang jadi pendeta, atau mereka yang bisa mengobati jadi Kyai.

Beberapa agama bahkan jatuh dalam perpecahan sekte, hanya karena persoalan beda tafsir pada kitab suci mereka. Apa yang terjadi?

Banyak umat beragama yang justru dipasung oleh ajaran-ajaran sesat. Kesesatan itu bahkan menggelapkan mata mereka, sehingga mudah disulut oleh isu negatif atau ajaran penuh kebencian pada yang lain. Jenis manusia yang menganut atau mengamini ajaran kegelapan ini selalu bertekda mati syahid atau mati martir demi membela Agama dan Allah yang ia pikir butuh pembelaannya.

Nyatanya, orang-orang seperti ini sangat mudah diperalat oleh politisi atau mafia kelas kakap yang menjalankan bisnis ilegal atau demi memuliskan jalan mereka yang haus akan kekuasaan.

Begitu banyak orang di dunia ini yang dibutakan oleh birahinya, entah harta benda, istri cantik/suami kaya, jabatan publik, kerajaan bisnis, pemimpin gang, bahkan kepala preman kampung sekalipun.

Terutama di negeri indah ini kita menyaksikan sendiri betapa semakin bebasnya orang-orang jahat melakukan aksinya, mulai dari membakar tempat-tempat ibadah, membunuh anak-anak tak berdosa, meledakkan bom di keramaian, hingga berhasrat menurunkan presiden lewat kacamat gelap mereka.

Anehnya, atas nama Hak Asasi Manusia, rasa hormat kepada kemanusiaan, pun ketakutan kepada agama tertentu atau pihak luar yang mendanainya, pemerintah lewat apara keamanan justru sering membiarkan.

Tak aneh rasanya di negeri ini menyaksikan seorang teroris justru dihukum lebih sedikit dibanding pencuri buah coklat di kebun orang kaya karena kelaparan.

Di atas semua kegelapan yang telah, sedang dan akan terjadi di negeri ini, baiklah kita yang masih berpikir waras, hidup normal dan mampu berpikir logis memiliki pendirian, pendirian sebagai manusia yang mencintai sesama, hidup rukun kendati dalam perbedaanserta lebih mencinta kedamaian daripada kerusuhan sosial.

Kendati menjadi seseorang yang memiliki pendirian itu sangat sulit, tetapi kita harus selalu awas pada kesadaran kita sebagai mahluk sosial yang lebih mencintai terang daripada kegelapana, yang lebih mencintai kedamaian daripada kekacuan hidup.

Akhirnya, ketika semakin banyak orang yang tinggal dalam kegelapan, khususunya di negeri ini, kita semua harus tetap bergandengan tangan demi mengupayakan terwujudnya Bhinneka Tunggal Ika dan merawat persaudaraan sejati dengan sesama kita.

Sebab, persahabatan dan persaudaraan sejati itu hanya akan terwujud bila dunia berada atau tinggal di dalam terang, dan bukan ketika segelintir manusia selalu menciptakan kegelapan lewat aksi konyol dan tolol mereka.

#RefleksiDalamKeheninganDiTuktukSamosir


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.