iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menyembah Tuhan Lewat Ritual Massal

Menyembah Tuhan Lewat Ritual Massal
Dalam waktu dekat aku mau ke Bandung. Syukur kalau bisa nostalgia bersama teman-teman lama. Tentu saja aku bukan mau ikutan KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di Sabuga ITB loh. Selain udah kelar, juga karena aku tak tertarik KKR.

Aku tak tertarik samasekali dengan model peribadatan massal, apalagi dilakukan diluar tempat ibadah resmi. Mungkin juga banyak sahabat yang Islam yang doyan sholat massal di Monas atau di tempat terbuka (indoor), seperti tanggal 2 Desember 2016 yang baru lalu.

Entah ini fenomena atau justru sebagai keganjilan ekspresif masyarakat kita atau bukan, aku tidak tahu persis. Hanya saja, kita menyaksikan kenyataan bahwa semakin hari semakin banyak umat beragama di Indonesia yang ingin membangun rumah ibadat yang megah di satu sisi, tetapi di sisi lain mereka juga menyukai event megah lewat ibadah atau sembahyang di ruang terbuka, di luar tempat ibadah tadi.

Masyarakt kita tampaknya mulai sadar bahwa Agama adalah salah satu obyek bahkan media untuk berbisnis. Jujur saja, mengelola peribadatan di lapangan terbuka atau aula besar di hotel-hotel pasti membutuhkan Event Organizer yang hebat; dan hal itu bukan sesuatu yang gratis.

Begitu juga saat mereka menghadirkan para pengkotbah dengan nama besar seperti Zakir Naik dari India untuk Islam, atau Pendeta Paulus Tong atau pendeta-pendeta lain yang punya daya sihir, pasti tak gratis sepenuhnya.

Percaya atau tidak, event-event atas nama perayaan ritual agama di lapangan terbuka, di hotel-hotel, bahkan di stadion sepakbola semakin hari justru semakin diminati. Entah karena orang haus untuk bertemu Tuhan, pengen diliput media saat sembahyang, atau malah karena mereka tak lagi nyaman di rumah sendiri, dst... kita tak tahu persis.

Sekali lagi fenomana ini bukan hanya di Islam atau Kristen. Tetapi juga di semua agama selalu ada event-event serupa. Selama setahun saya tinggal di Medan, saya sering melihat billboard yang sangat besar yang isinya berupa ajakan untuk KKR di hotel, lapangan terbuka, stadion, dst di jalanan.

Begitu juga dengan pertemuan akbar umat Budha dengan mendatangkan biksu-biksu dari Thailand atau negara lain. Atau juga sholat massal dari kelompok-kelompok pengajian Islam tertentu.

Di Katolik, gerakan Kharismatik juga mulai masuk; dan kelompok ini seakan menjadi zat pewarna ritual liturgi Gereja Katolik yang lesu, konservatif dan membosankan. Asal tahu saja, Gereja Katolik selalu sangat hati-hati dengan gerakan model ini. Bukan berarti setuju atau tidak, tetapi selalu dilakukan penelitian seksama apakah gerakan ini sebagai gerakan yang menyesatkan atau bukan.

Begitulah terjadi, sehingga banyak anggota Komunitas Kharismatik Katolik yang akhirnya jajan dan berafiliasi dengan sekter Kharismatik dari Protestan. Tak jarang juga mereka berpindah ke sana dan meninggalkan Gereja Katolik hanya secara psikologis mereka tak dipuaskan.

Aku bahkan pernah ditawarin menjadi pengkotbah di salah satu sekte Kharismatik ini. Entah apa alasan mereka mengajakku, tetapi yang kutahu mereka akan membayarku di atas 10juta/kotbah. Untung saja mereka salah orang, karena orang yang ditawari tadi tak tertarik samasekali dengan jenis beginian.

Saya teringat perkataan bijak dari Yesus disaat orang Farisi selalu mempertanyakan ritual keagamaan yang dilakukan Yesus dan murid-muridNya hanya karena mereka sering melanggar aturan-aturan peribadatan menurut menurut hukum Yahudi.

Yesus pun kesal dengan kebiasaan kaum alim ulama yang selalu mencari kesalahan orang lain ini. Di hadapan mereka, Yesus pun mengajak murid-muridNya, "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Mat 6:6)

Yesus dengan jelas mengkritisi kebiasaan orang beragama yang suka memamerkan diri sedang beribadah kepada Tuhan-nya ditengah keramaian, di pasar, atau di tempat terbuka. Bagi Yesus, dan juga para nabi lain pasti setuju bahwa pola beribadah macam ini juga bagian dari kemunafikan juga.

Islam melakukannya. Budha, Hindu dan Kristen juga melakukannya. Kelompok pencinta kerumunan dan pengagum kuantitas ini selalu berminat pada setiap gerakan protestantisme, atau yang kita sebut sebagai gerakan spiritualitas berbasi kebutuhan psikologis.

Mereka ini suka memaksa Tuhan segera turun tangan atas persoalan hidupnya. Mereka juga sangat berharap agar Tuhan segera mempertontonkan kebolehannya di panggung-panggung ciptaan mereka, seperti menyembuhkan orang sakit, membuat orang lumpuh berjalan, bahkan membuat orang sekarat tiba-tiba lompat-lompat.

Mereka selalu memaksa Tuhan menjadi peserta Reality Show yang memberi penampilan terbaiknya di panggung tadi. Tak aneh bila teriakan Halleluya atau Allahu'akbar secara proklamatif mereka anggap sebagai sihir ajaib yang bisa menghalau segala bentuk kejahatan terhadap diri mereka. 

Semakin hari, umat beragama semakin ganjil. Mereka tak segan menganggap Tuhan hanya akan datang ke dunia hingga mengusir gempa dan banjir, dan segala bentuk penderitaan manusia, dst....hanya lewat reality show ciptaan mereka tadi.

Karena bukan hanya satu kelompok saja yang melakukan ritual yang sama, maka antar mereka pun timbul persaingan untuk mendatangkan Tuhan dan melakukan keajaiban lewat kelompok mereka. Asal tahu saja, semua ini hanya bisa didesain oleh mereka yang punya banyak uang dan berharap agar event ini tak berbuah kerugian.

Sementara agama tradisional dan konvensional yang telah ada sejak ribuan tahun sebelumnya justru mereka anggap sebagai agama sesat, hanya karena mereka tak berteriak, menangis tersedu, bertepuk tangan seraya berteriak Amin saat sang pengkotbah menyuruhnya, atau menyanyikan pujian dengan singer para artis terkenal dengan iringin musik yang sangat meriah pula.

Lagi-lagi, untuk meyakinkan hal di atas, kelompok kharismatis ini juga selalu memanggil pendeta / ustadz kharismatis tertentu sebagai pengkotbah, yang tugasnya untuk mengatakan mereka diridho'i Tuhan dan mendapat berkah istimewa karena hadir di sana. 

Tak bermaksud mengadili, karena hanya Tuhan yang tahu mana yang benar dan salah bagiNya, tetapi kelompok-kelompok yang mentasnamakan diri sebagai pengikut setia nabi Muhammad atau pengikut Yesus Kristus ini justru sering mengadili yang lain sebagai orang yang telah meninggalkan iman mereka.


Lusius Sinurat