iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tak Sekedar Kata-kata

Tak Sekedar Kata-kata
Jaman bakekok ada ungkapan terkenal, "Mulutmu adalah harimaumu". Kita semua tahu maksudnya. Setiap kita mengatakan sesuatu, kita telah berbagi CO2 alias karbondioksida ke lawan bicara kita. Oleh karena itu, saat bicara, kita sebaiknya tak menambah racun bagi lawan bicara kita.

Saya teringat teman dua orang teman lama saya saat kuliah di Bandung. Nafasnya luarbiasa, maaf, bau busuk. Syukurlah tidak dua-duanya bersuara Tenor dalam kelompok paduan suara kami.

Satu orang bersuara Bass, walaupun yang satu lagi bersuara Tenor seperti saya. Itu berarti saat kami latihan kor atau saat tampil di gereja, saya dan teman lain sering menikmati 'bau nafas super busuk tadi'.

Anda tahu, fakta ini pula menjadi salah satu alasan mengapa saya bisa dan lebih suka bermain organ saat paduan suara kami tampil (daripada menikmati bau tadi? hahah).

Tapi, ajaib bin aneh. Saat paduan suara kami tampil, terutama saat kami tampil bagus, bau busuk tadi sungguh tak jadi masalah. Sebaliknya, saat latihan dan kor sedang tampil diluar trek, maka nafas itu sungguh memaksa kita harus mengatur pernafasan.

Tanpa bermaksud menyinggung 'kelemahan' (tapi juga kekuatan, karena mereka juga punya istri cantik yang tak pernah complain dengan nafas mereka) dua teman yang bau nafas tadi, kita, kualitas kata-kata yang keluar dari mulut kita memang sangat memengaruhi kualitas berkomunikasi kita.

Semua kelemahan fisik, termasuk bau nafas tadi tak lagi dianggap sebagai penghalang ketika setiap kata yang keluar dari mulut kita bernats, berkualitas dan sungguh menyapa lawan bicara kita.

Namun sebaliknya, bila kata-kata negatif dan tidak menyapa si lawan bicara, maka orang akan sibuk meneror kelemahan fisik kita.

Maka benarlah pepatah purba di atas, "Mulutmu adalah harimaumu!". Sebab kata-kata yang kita keluarkan dari mulit kita tak hanya bisa menyapa, memotivasi, membesarkan hati, dst; tetapi juga serentak bisa membunuh dengan cara menerkam lawan bicara kita.

Jokowi dengan muka ndeso, kurus kering, hanya sarjana kehutanan, gaya berpakaian yang biasa saja pada akhrinya dipandang sebagai orang ganteng, tampan, cerdas/smart, progesif, dan eksistensinya diperhitungkan di antara pemimpin dunia, dst. Tahu kenapa?

Jokowi tak setampan Soekarno di eranya, tetapi PDIP seakan melihat kekuatan Soekarno di dalam dirinya. Jokowi juga tak semenggelegar Megawai saat berpidato, tetapi masyarakat selalu merasa pidato Jokowi bernats dan menyapa.

Ini karena kata-kata. Presiden Joko Widodo sangat paham dengan ungkapan leluhur kita tadi, "Mulutmu adalah harimaumu!" Ia berupaya memilih kata positif yang membangun dan berupaya menghindari kata yang melukai bahkan menyakiti perasaan publik, bahkan lawan politiknya.

Sebaliknya, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Prabowo, Nur Wahid, Habiburochman, dan manusia sejenis justru kehilangan pesona pribainya hanya karena publik tau bahwa kata-kata yang keluar dari mulut mereka jauh lebih busuk dari bau nafs dua teman saya tadi.

Ekspresi publik sangat jelas soal ini. Jokowi ditampilkan gagah dengan pakaian jenderal besar, mengenakan jas yang keren, sedang tersenyum dan tertawa saat dikerubunin rakyatnya Sebaliknya FZ dkk justru digambarkan dalam meme 'makan sendal, berbaju hansip dengan gesture sempoyongan, tukang beca ringkih, dst.

Akhirnya, kekuatan kata(-kata) memang melebihi bom atom, apalagi ketika kata-kata yang sudah kadung diucapkan tadi justru terpatri dalam tulisan yang bisa dibaca oleh banyak orang.
#SelamatPagiIndonesia

Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.