iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menulis itu Ibarat Bercermin

Bagi pemula, menulis (buku) itu ibarat menyambut hari pertama tidur berdua dengan pasangan hidupnya, atau ibarat hari perdana seorang anak masuk sekolah. Ini lantas berarti bahwa setiap orang butuh langkah pertama untuk menentukan langkah berikutnya.

Jadi, Anda harus segera memulai, bila Anda ingin menulis hingga terbiasa menulis. Silahkan Anda nyalakan laptop, buka Microsoft Office Word, lalu mulailah mengetik. Apaan sih yang mau diketik? Tentu saja ide-ide yang sudah ada di kepala Anda, dan konversilah ide-ide itu kedalam bentuk kata, kalimat, paragraf hingga menjadi sebuah tulisan singkat.

Enggak punya ide? Ya, Anda tinggal membiasakan diri rajin membaca buku, novel, majalah, dan apa saja yang menarik perhatian Anda.

“Aku sudah banyak membaca, tapi tetap aja grogi ketika aku mulai menulis. Rasanya berat banget memulai kata pertamanya,” kata seorang mahasiswi yang mengaku ingin menjadi seorang penulis hebat.

Tentu saja. Seperti telah disinggung di atas, rasa grogi atau enggak PD saat pertama kali menulis itu wajar saja. Jangankan menulis, saat pertamakali nembak pacar aja kita grogi. Padahal teman-teman seniro sudah ngajarin cara nembak cewek/cowok saat Anda curhat minta pendapatnya. Tapi, kok ya masih grogi ya.

Kalau dulu, sebelum komputer portable atau laptop sesemarak sekarang, aku malah sudah membuang banyak kertas kosong saat memulai menulis. Bagaimana tidak, awal belajar menulis aku langsung menulis surat cinta.

Ya, karena ini soal rasa, maka inginnya surat cintaku harus sempurna: tanpa coretan atau tanpa koreksi type-X, juga tanpa kata yang salah letak, pun kalimat yang salah urai atau tak mewakili perasaan yang sebenarnya.

Ini memang subyektif. Sama seperti didendangkan oleh pepatah Latin kuno, “Gestibus non disputantur“, soal rasa tak bisa diperdebatkan. ha ha ha.

Kruang lebih begitulah pengalaman orang saat pertama kali menulis, entah surat, entah curhatan, opini, bahkan cerpen.

Hal yang sama juga terjadi dengan remaja kekinian, utamanya mereka yang lahir 1995 dan setelahnya. Sejak lahir mereka bahkan sudah intim dengan Smartphone, dan media sosial adalah salah satu produknya.

Entah dalam bentuk SMS, inbox Fesbuk, ciutan Twitter, caption foto atau video di instagram, Path, atau Periscope, kamu juga tetap merasa grogi hingga salah kirim pesan.

Dengarlah pengalaman Bryan berikut ini. Dia berhasrat mengungkapkan perasaannya kepada Cathy, cewek yang sudah lama dia taksir lewat SMS berikut ini:

“Sejujurnya, gue lama jatuh hati sama loe, Cath. Tapi gue gak berani ngungkapin perasaan gue secara langsung. Takutnya malah kencing di celana ntar karena grogi hehehe. Singaktnya sih, gue cuma mau bilang from deepest my heart, really realyy I love you so much”

Sangkin gemetaran dan diselumuti perasaan ragu Bryan pun sampe salah insert nomor. Jelas sekali SMS tadi untuk calon gebetannya, tapi karena grogi malah terkirim kepada Ibu Juni, wali kelasnya.

Kira-kira seperti itulah pengalaman banyak orang ketika ia menulsi untuk pertama kalinya. Ada rasa grogi dan enggak percaya diri. Minimal di pikirannya terbayang ketakutan kalau tulisannya enggak ada yang baca, atau malah jadi bahan ledekan banyak orang.

Tapi percayalah. Setelah melewati fase awal itu, berikutnya Anda akan mulai terbiasa, kalau tidak mau dikatakan makin ketagihan. Itu juga bagi mereka yang sadar kalau meulis itu adalah cara terbaik untuk mengingat sesuatu.

Anda mesti tahu, orang beragama bahkan sering mempertuhankan tulisan, karena satu-satunya media yang menampilkan pengalaman perjumpaan nabinya dengan Tuhan ada di kitab itu.

Sebab kata-kata akan sirna, melayang bersama tiupan angin, tetapi tulisan akan diam ditempatnya, bahkan di keabadian. Verba volant script manent !


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.