iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Syarat Penerima Sakramen Ekaristi

Syarat Penerima Sakramen Ekaristi
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja menggambarkan Misa - “Kurban Ekaristi” - sebagai “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (no. 11).

Sebagai umat Katolik, kita sungguh percaya bahwa Kurban Misa, melampaui batas waktu dan ruang, secara sakramental menghadirkan kembali kurban Kristus:
“Misa adalah serentak, dan tidak terpisahkan, kenangan kurban di mana kurban salib hidup terus untuk selama-lamanya perjamuan komuni kudus dengan tubuh dan darah Tuhan.” (Katekismus Gereja Katolik, No. 1382). 
Oleh kehendak Bapa Surgawi, dengan kuasa Roh Kudus, dan imamat Yesus Kristus, yang melalui Sakramen Imamat dipercayakan kepada imam-Nya yang bertindak atas nama-Nya, maka roti dan anggur sungguh menjadi (di-transsubstansiasi-kan menjadi) Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an Kristus.

Salah satu buah terbesar dari Komuni Kudus, sesuai Katekismus No. 1396, ialah bahwa Ekaristi Kudus membangun Gereja:
“Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan.”
Karenanya, dengan menyambut Komuni Kudus kita sungguh dipersatukan dalam persekutuan umat beriman Katolik yang saling berbagi iman, ajaran-ajaran, tradisi, sakramen, dan kepemimpinan yang sama.

Berdasarkan perinsip di atas kita bisa menjawab pertanyaan "Apakah umat Katolik boleh menerima komuni di Gereja Protestan atau sebaliknya?" 

Konsili Vatikan II memaklumkan bahwa gereja-gereja Protestan “'terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya'(UR 22).

Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini.” (Katekismus, No. 1400). Pernyataan ini tidak beranggapan bahwa gereja-gereja Protestan tidak mengenangkan wafat dan kebangkitan Kristus dalam pelayanan perjamuan mereka atau percaya bahwa hal tersebut melambangkan persekutuan dengan Kristus. 

Namun demikian, teologi Protestan berbeda dengan teologi Katolik dalam hal Ekaristi Kudus mengenai kehadiran nyata Kristus, transsubstansiasi, kurban Misa, dan hakikat imamat. Karena alasan ini, kaum Protestan, meskipun mungkin Kristen yang saleh, tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus dalam Perayaan Misa, demikian juga umat Katolik tidak diperkenankan menerima komuni dalam kebaktian Protestan.

Bapa Suci, dalam ensikliknya, Ecclesia de Eucharistia mengajarkan,
“Umat beriman Katolik, sembari menghormati keyakinan agama dari saudara-saudari yang terpisah, pantas menghindarkan menerima komuni perayaan mereka, agar tidak timbul salah paham tentang hakikat Ekaristi, dan selanjutnya tidak menyalahi kewajiban menyaksikan kebenaran dengan jelas. Yang sebaliknya akan memperlambat kemajuan upaya menuju kesatuan nyata yang penuh. Mirip dengan itu, juga tak masuk akal menggantikan Misa hari minggu dengan perayaan sabda ekumenis atau ibadat doa bersama dengan umat kristiani dari jemaat-jemaat Gereja yang disebutkan di atas, atau bahkan dengan mengambil bagian dalam ibadat mereka. Perayaan dan ibadat seperti itu, kendati dalam keadaan tertentu pantas dipuji, sebagai persiapan bagi tujuan kesatuan yang penuh, termasuk komuni Ekaristi, namun tak pantas menggantikannya” (No. 30).
Secara obyektif, jika kita mengetahui dan melanggar ketentuan ini dengan menerima komuni di gereja Protestan atau lalai merayakan Misa, kita berbuat dosa berat. Oleh sebab itu, hingga perbedaan-perbedaatn antara Katolik dan Protestan dipulihkan, “interkomuni” yang sesungguhnya tidak dapat terjadi. 

Di samping itu, dengan perinsip saling menghormati perbedaan dalam keyakinan masing-masing, seorang Katolik wajib menjauhkan diri dari menerima komuni dalam perayaan Protestan, demikian juga sebaliknya, seorang Protestan dalam Perayaan Misa Katolik. 

Menerima komuni akan berarti menyatakan, “Aku ada dalam persekutuan mereka,” padahal sesungguhnya tidak. Lebih buruk lagi, jika saya menerima komuni tersebut, berarti saya menerima sesuatu yang kudus yang mengikat saya sebagai bagian dari persekutuan mereka - setidak-tidaknya begitulah menurut pandangan Katolik - padahal sesungguhnya saya tidak pernah ikut ambil bagian dalam kebaktian mereka sesudah itu.

Kita patut ingat bahwa menyambut komuni tidak hanya menyangkut pada apa yang diyakini individu yang bersangkutan. Menyambut komuni berarti mengikat orang ke dalam suatu jemaat / gereja, mengidentifikasikan diri sebagai anggota gereja tersebut, dan mengikatnya pada ajaran-ajaran gereja tersebut. 

Dengan memahami peraturan-peraturan Gereja mengenai penerimaan Komuni Kudus, kita akan lebih menghargai karunia Sakramen Mahakudus, lebih menghargai keyakinan orang lain, dan berjalan menuju persatuan - inilah cinta kasih sejati. Mengabaikan peraturan-peraturan Gereja hanya akan menciptakan rasa persatuan yang semu dan mewujudkan kasih yang dangkal, yang sungguh merupakan musuh utama cinta kasih.

Apa saja yang menghalangi seorang Katolik menyambut Komuni dalam Perayaan Ekaristi?
Katekismus No. 1415 menegaskan, 
“Siapa yang hendak menerima Kristus dalam komuni Ekaristi, harus berada dalam keadaan rahmat. Kalau seorang sadar bahwa ia melakukan dosa berat, ia tidak boleh menerima Ekaristi tanpa sebelumnya menerima pengampunan di dalam Sakramen Pengakuan.” 
Sebagai contoh, seorang Katolik yang tidak taat beribadat, yang lalai ambil bagian dalam Misa atau yang telah menyimpang dari ajaran-ajaran Gereja, tidak berada dalam keadaan rahmat karena dosa berat yang dilakukannya dan karena itu tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus. 

Seorang Katolik yang telah berbuat dosa berat tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus hingga ia mengakukan dosanya dan menerima pengampunan dalam Sakramen Pengakuan.

Seorang Katolik yang berdosa berat tetapi tetap menyambut Komuni Kudus ia berbuat dosa sakrilegi - dosa melanggar hal-hal suci - dan mengakibatkan aib di antara umat beriman. St. Paulus mengingatkan jemaat di Korintus,
“Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu.” (1Kor 11:26-28).
Apakah ketentuan ini berlaku juga bagi politikus yang secara aktif mempromosikan undang-undang yang mempertahankan tindak aborsi yang terkutuk itu? Apakah ketentuan tersebut berlaku juga bagi politikus yang memiliki sikap, “Secara pribadi saya menentang, tetapi…” Paus Yohanes Paulus II dalam Christi Fideles Laici mengajarkan, 
“Tidak boleh terdapat dua kehidupan yang sejajar di dalam eksistensi mereka: pada satu pihak, apa yang dinamakan kehidupan 'rohani', dengan nilai-nilai dan tuntutan-tuntutannya; dan pada pihak lain, yang dinamakan kehidupan 'sekular', yaitu, kehidupan di dalam keluarga, di tempat kerja, di dalam hubungan-hubungan sosial, di dalam tanggungjawab kehidupan umum dan di dalam kebudayaan.” (No. 59). 
Pada intinya, iman haruslah merasuki seluruh kehidupan orang dan diwujud-nyatakan dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya. Dengan dasar pemikiran ini, mereka yang terlibat dalam politik harus merenungkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan Peran Serta Umat Katolik di Dalam Kehidupan Politik (November 2002) ini: 
“Paus Yohanes Paulus II, meneruskan ajaran konstan Gereja, telah berulang kali mengatakan bahwa mereka yang secara langsung terlibat dalam badan-badan pembuatan undang-undang memiliki `kewajiban yang amat genting dan jelas untuk menentang' segala bentuk undang-undang yang menyerang kehidupan manusia. Bagi mereka, sama seperti bagi setiap orang Katolik lainnya, tidaklah mungkin mempromosikan undang-undang yang demikian ataupun mendukungnya” (No. 4).
Konferensi Waligereja Amerika dalam Mengamalkan Injil Kehidupan: Tantangan bagi umat Katolik Amerika (1998) mengajarkan,
“Kami mendesak para pejabat Katolik yang memilih untuk menyimpang dari ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup manusia, dalam hidup kemasyarakatan mereka haruslah memikirkan segala konsekuensinya bagi kepentingan rohani mereka sendiri, sekaligus resiko skandal yang mereka ambil dengan membawa orang-orang lain ke dalam dosa berat… Tak seorang pun pejabat, teristimewa ia yang mengaku dirinya sebagai seorang Katolik yang taat dan saleh, dapat menganjurkan atau mendukung secara aktif serangan-serangan langsung terhadap kehidupan manusia yang tidak bersalah” (No. 32)
Kita dapat menyimpulkan dari ajaran-ajaran ini bahwa melanggar ajaran-ajaran Gereja tersebut berarti menempatkan diri dalam keadaan dosa berat. Para legislator yang mendukung aborsi dan terus-menerus memberikan suaranya agar praktek aborsi dapat dilakukan, bahkan perbuatan terkutuk seperti partial birth abortion, bersalah melakukan dosa berat tidak hanya karena dukungan mereka saja, tetapi juga karena mereka mengakibatkan skandal dan membawa orang-orang ke dalam dosa. 

Mereka memecah persekutuan Gereja dan bukannya memupuk persekutuannya. Yesus mengatakan, “Tetapi barangsiapa menyesatkan [dalam bahasa Yunani asli, “scandalizes”] salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. 

Celakalah dunia dengan segala penyesatannya! (Mat 18:6).” Dengan alasan yang tepat inilah Kitab Hukum Kanonik menyatakan, “Jangan diizinkan sambut komuni suci mereka … yang berkeras hati membandel dalam dosa berat yang jelas.” (No. 915).

Sikap yang tegas seperti itu bukanlah hal baru. St. Yustinus Martir (wafat 165) dalam ApoligiƦ menulis, 
“Karena roti dan anggur ini - sesuai dengan satu ungkapan lama - di`ekaristi'kan, kita menamakan makanan ini ekaristi. Seorang pun tidak boleh mengambil bagian dalamnya, kecuali orang yang mengakui ajaran kita sebagai yang benar, telah menerima Pembaptisan untuk pengampunan dosa dan kelahiran kembali dan hidup sesuai dengan petunjuk Kristus.”
Perhatikan sikap para politikus yang setia pada ajaran-ajaran Gereja dan bekerja untuk menekan kejahatan yang diakibatkan oleh hukum yang tidak adil, bahkan meskipun mereka tidak dapat mengubahnya menjadi sepenuhnya benar. 

Paus Yohanes Paulus II menyatakan, 
“Apabila tidak mungkin mengubah atau sepenuhnya mencabut undang-undang pro-aborsi, seorang pejabat yang ditunjuk, yang dikenal luas karena perlawanan pribadinya yang gigih terhadap aborsi, dapat secara hukum mendukung proposal yang bertujuan untuk membatasi dilakukannya kejahatan oleh akibat hukum yang demikian dan mengurangi konsekuensi negatif pada tingkat pandangan umum dan moral masyarakat” (Injil Kehidupan, No. 73). 
Di sini seorang politikus dikenal sebagai penentang aborsi, dan bukan pendukung aborsi; di sini tujuannya adalah mengubah hukum yang tidak adil, dan bukan mempertahankannya, menguatkannya, ataupun memperluasnya.

Mari merenungkan situasi saat ini. Uskup Agung Raymond Burke, Uskup Agung St. Louis, Missouri, dikecam karena menyatakan bahwa beliau tidak akan memberikan Komuni Kudus kepada politikus Katolik yang menganjurkan dan mendukung undang-undang aborsi. 

Saat menjabat Uskup La Crosse, Wisconsin, beliau menyatakan, 
“Para legislator Katolik, yang adalah bagian dari umat Keuskupan La Crosse dan yang terus menyatakan dukungannya terhadap praktek aborsi atau euthanasia tidak diperkenankan maju untuk menyambut Komuni Kudus. Apabila mereka maju untuk sambut, mereka tidak diperkenankan menyambut Komuni Kudus, hingga mereka secara umum mencabut dukungan mereka terhadap praktek ketidakadilan ini.” 
Sekarang, sebagai Uskup Agung St. Louis, Bapa Uskup Agung Burke mengambil sikap sama, teristimewa terhadap Senator Kerry, yang mengaku dirinya sebagai seorang Katolik, tetapi berulangkali mempertahankan serta mempromosikan undang-undang aborsi, termasuk di dalamnya partial birth abortion

Sikap Uskup Agung Burke ini mencerminkan keberanian dan kesaksian yang luar biasa. Tentu saja, yang disoroti bukan hanya Senator Kerry, tetapi segenap legislator Katolik yang mengambil sikap yang sama dengannya.

Sementara mempertahankan iman dapat mendatangkan masalah bagi yang bersangkutan, cinta kasih sejati diwartakan dalam mempertahankan iman dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Kadang-kadang, sanksi, seperti melarang komuni, diperlukan untuk “menggoncang” orang yang bersalah guna merenungkan kembali kesalahannya dan bertobat. St. Yakobus mengajarkan:
“Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa.” (Yak 5:19-20).
Apabila para pemimpin umat bungkam, tidak hanya para pendosa mengikuti jalan menuju kebinasaan, tetapi juga umat beriman secara keseluruhan disesatkan dan mulai mengatakan, “Tak jadi soal apa yang kamu yakini.”

Sementara kita merenungkan masalah ini, saya teringat akan masa ketika Raja Henry VIII menghendaki disahkannya perceraiannya dengan Katarina dari Aragon dan perkawinannya dengan wanita simpanannya, Anne Boleyn. St. Yohanes Fisher adalah satu-satunya uskup di seluruh wilayah kerajaan Inggris yang memiliki keberanian mengutuk perzinahan Henry itu; dan ia wafat sebagai martir. 

Demikian juga, St. Thomas More, penasehat Raja Henry, mengundurkan diri dari jabatannya dan akhirnya juga dijatuhi hukuman mati; sebelum kapak menebas lehernya, St. Thomas More mengatakan, “Aku abdi raja yang setia, tetapi Tuhan harus diutamakan.” 

Kita patut berdoa agar Roh Kudus memenuhi Gereja kita dan memenuhi para pemimpin bangsa dengan keperkasaan untuk menjadi saksi iman yang sejati dan hidup dalam persekutuan penuh dengan Gereja.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.