iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Bertahan Demi Memperoleh hidup

Bertahan Demi Memperoleh hidupDalam pandangan resmi eklesiologi, gereja bermakna sebagai bangunan kokoh nan indah dan komunitas orang beriman. Kedua pengertian ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebab keindahan bangunan gereja harus simetris dengan keindahan relasi antar anggota komunitas yang ada di dalamnya.

Dalam Injil hari ini (Luk 21:5-19), Yesus menegur kita yang silau akan keindahan bangunan fisik gereja; sebaliknya tak peduli dengan manusia yang membentuk komunitas di dalam bangunan itu. Tak peduli bila semua orang dalam gereja larut dalam egoisme masing-masing dengan cara merangsang individualisme, mengadu domba, dan merangsang kompetisi.

Singkatnya, di dalam gereja kita seringkali mengesampingkan sense of belonging yang berikutnya akan mendasari sikap care and sense of community dalam mengajak banyak orang dekat kepada Allah.


Gereja sebagai tempat orang bertahan hidup


Idealnya, gereja adalah tempat orang yang putus asa mempunyai harapan; orang yang tersingkir memiliki teman; dan orang miskin diperkaya. Persoalannya, benarkah kenyataan demikian?

Kenyataannya, Gereja, baik sebagai gedung maupun komunitas, semakin hari semakin bergeser maknanya. Semakin megah bangunan sebuah gereja seakan mencerminkan “kelas sosial” dari orang yang ada di dalamnya. Tragisnya, hal ini terlihat dari tempat duduk di dalam gereja yang sudah mencerminkan “kelas” sosial tertentu. Misalnya ada bangku/kursi VVIP, VIP, business class, economic class, dst.

Syukurlah di Gereja Katolik kelas-kelas ini tidak terlalu tampak. Di Gereja St. Maria Tanjung Selamat, bagian pojok kiri depan sekan-akan sudah diplot untuk anggota Koor Ave Maria; Di tiap pesta paroki /stasi, panitia selalu direpotkan untuk menyediakan kursi khusus untuk uskup, pastor, atau undangan terhormat lainnya.

Entahlah, apakah orang-orang yang tidak punya status sosial dalam gereja akan mampu bertahan hidup atau malah banyak yang akan tersingkir? Apakah petani dari Sukamaju akan nyaman bergereja di Gereja Kristus Raja Nusantara?

Faktanya, kesederhanaan bangunan gereja kerap kali justru mampu menciptakan rekatnya persaudaraaan di antara umatnya. Tapi di sisi lain, banyak orang intelektual berpandangan modern justru melihat kesederhanaan bangunan gereja akan menghambat seseorang untuk berdoa. Untuk itu gereja harus dibangun lebih megah!

Pertanyaan berikut yang muncul adalah: Setelah gedung gereja diper-mark lebih keren, apakah orang-orang sederhana yang sejak awal sudah ada di sana masih tetap merasa nyaman beridabat di gereja tersebut? Bukankah mereka sadar bahwa mereka tidak menyumbang banyak uang untuk pembangunan gedung baru itu?

Bisa jadi bagi mereka, bangunan yang lebih megah itu akan mengurangi “kesaktian” komunitas yang sudah sejak awal telah tercipta dan telah melekat erat melampaui ikatan keluarga.

Di titik inilah komunitas gereja harus mengandalkan komunikasi yang akrab, penuh keterbukanaan dan tanpa kepura-puraan. Hanya dengan cara ini pula lah keindahan bangunan sungguh bermanfaat bagi anggota komunitas secara keseluruhan.

Gereja Sebagai Tempat Orang Memperoleh Hidup Dewasa ini orang banyak kehilangan pekerjaan, harta miliki, bahkan orang(-orang) yang dicintai. Ada yang menjadi korban perampingan karyawan. Ada juga karena kalah dalam persaingan di tempat kerja hingga kehilangan pekerjaan.

Bencana alam seperti di Wasior, Mentawai, dan Yogyakarta telah menyisakan penderitaan dan kehilangan, baik harta maupun orang yang dicintai. Di saat seperti itu, sungguhkah gereja masih berfungsi sebagai tempat “orang yang kehilangan” untuk memperoleh kembali hidupnya?

Jawabannya “ya”, bila gereja mau dan mampu menjadi asa kala banyak orang kehilangan asa dan menjadi cinta kala orang merasa tidak ada lagi cinta dalam hidupnya?

Gereja memang bukanlah pertam-tama soal bangunan atau fasilitas yang dimilikinya, melainkam Gereja yang harus menghadirkan dirinya sebagai bagian dari komunitas umat manusia di dunia. Untuk itu diperlukan sikap
  • Care (peduli dan respek terhadap umatnya), sehingga mempunyai kekuatan inspiratif yang kuat dan make the community mangnetfull talented people, sehingga mampu menghidupkan sense of belonging terhadap umatnya.
  • Memperkuat kembali visi luhur gereja, sehigga umat bergerak dan hidup seusai dengan kepribadiaanya. Dengan cara ini akan terciptalah sense of community yang berakara pada kultur setempat. Dengan sense of community ini umat akan lebih aktif secara sosial, lebih bertangggung jawab dan lebih siap menggugat Gereja sebagai institusi.

Refleksi

Peran pemimpin-pelayan sungguh dibutuhkan di sini. Pemimpin yang dimaksud ialah pemimpin yang bisa menangkap dan memanfaatkan kekuatan sosial-spititual yang ada serta mampu menghadapi tantangan untuk menggerakkan dan mengarahkan umat dengan cara yang lebih mudah sekaligus.

Pada akhirnya, selain sense of belonging, juga perlu menciptakan sense of community. Gereja sebagai komunitas umat beriman tidak lagi melulu urusan “luaran” (fisik gereja), melainkan menjadi gereja yang “mendalam” dan mengakar pada iman akan Kristus, hingga akhirnya project stasi menjadi proyek Yesus, bahkan proyek si bapa atau si ibu X.

Semua orang sama di hadapan Allah; akan menjadi tidak sama kalau kita selalu berpura-pura dan seakan-akan melihat kita. Amin.

* Kotbah di Stasi Sukamaju & Stasi Sei Beras Kata - Paroki Tanjung Selamat Medan 14.11.10



Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.