iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Keislaman Versi Soekarno

Keislaman Versi Soekarno
Sukarno, sebagai seorang muslim, menganggap bahwa tidak ada aristrokasi dalam Islam. Aristrokasi muncul karena pengsakralan manusia secara berlebihan (musrik), sementara pengsakralan manusia merupakan salah satu penyebab yang mematahkan “jiwa”nya agama dan penganutnya. Pengsakralan/sakaralisasi, manusia adalah melanggar tauhid, kalau tauhid rapuh maka datanglah bencana (Soekarno: 1964, 325).

Kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketahyulan orang Islam disebabkan oleh hadits-hadits lemah -- yang sering lebih “laku” dari ayat-ayat Qu’ran (Soekarno: 1964, 326).

Dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang menjalankan hadits yang laif dan palsu. Karena hadits-hadits yang demikian itulah agama Islam diliputi kabut-kabut kekolotan, ketahyulan, bidaah-bidaah, anti rasionalisme dll. Padahal tak ada agama yang lebih rasional dan simplistis daripada Islam.

Kekolotan dan kekonservativan datang dari hasil hadits-hadits yang laif dan palsu itu. Oleh karena itu kita tidak boleh memutlakan hadits walaupun menurut penyelidikan hadits itu sahih. Human reports tidak bisa absolut; absolut hanyalah kalam ilahi.

Menurut keyakinannya tak cukup orang menafsirkan mi’raj dengan percaya saja yakni dengan mengecualikan keterangan akal. Padahal keterangan yang rasionalistis di sini ada. Siapa kenal ilmu psikologi dan para psikologi bisa memberi keterangan yang rasionalistis itu. Kenapa sesuatu hal yang harus digaib-gaibkan kalau akal sedia menerangkannya (Soekarno: 1964, 327).

Qur’an dan api islam seakan-akan mati karena kitab Fiqh yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam ilahi sendiri. Bila umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab Fiqh itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Agama yang Hidup, akibatnya dunia Islam sekarang ini setengah mati, tanpa roh, tanpa nyawa, tanpa api.

Kita banyak mencela misi (Kristen) tetapi apakah kita menyebarkan agama islam dan memperkokoh agam islam ? Bahwa misi mengembangkan roomskatholicisme itulah hak mereka yang tidak boleh kita cela dan kita gerutui.

Tapi kita, kenapa kita malas, kenapa kita teledor, kenapa kita tak mau kerja, kenapa kita tak mau giat kenapa, misalnya di Flores tidak seorangpun mubalig Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhamadyiah) mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir ?

Misi dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tetapi berapa orang kafir yang bisa ditarik oleh Islam di flores itu? Kalau dipikirkan memang semuai itu salah kita sendiri bukan orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang (Soekarno: 1964, 331).

Umumnya kita punya kyai-kyai dan ulama-ulama tak ada sedikitpun filing kepada sekarang, kabanyakan tidak mengetahui sedikitpun tentang sejarah itu. Mereka punya minat hanya menuju pada agama khusus saja dan dari agama khusus ini, terutama sekali bagian fiqh.

Padahal sejarah merupakan kekuatan masyarakat yang menyebabkan kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Paling mujur mereka mengetahui tarikh Islam saja, dan inipun hanya dari buku-buku tarikh Islam yang kuno yang tak dapat tahan ujiannya modern sains.

Sejarah yang mereka abaikan itu, kesaksian sejarah yang mereka remehkan itu, adalah bukti yang nyata dan dasyat, bahwa dunia Islam adalah sangat mundur semenjak muncul aturan taqlid. Oleh Karena itu alangkah baiknya kalau pemuka-pemuka agama melihat garis kebawahnya sejarah semenjak ada taqlid-taqlidan itu, dan tidak hanya mati hidup, bangun tidur dengan kitab Figh dan kitab parukunan saja (Soekarno: 1964, 333).

Supaya jaman kemegahan Islam yang dulu-dulu itu bisa kembali maka islam harus bisa mengejar jaman. Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau tidak mampu mengejar seribu tahun itu niscaya ia akan tetap hina dan mesum.

Hukum syariah bukan hanya haram, makruh, sunnah dan fardlu saja. Masih ada juga barang mubah atau jaiz, yang seharusnya diingat. Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, boleh berkias, boleh berbidaah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhypermodern.

Asal, tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul Islam harus menentang kekolotan agar ia bisa mengejar jaman yang seribu tahun ke depan itu. Perjuangan menghantam ortodoxie kebelakang, mengejar jaman ke muka: “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi Islam adalah perjuangan (Kemal Ataturk). Islam is progress ! (Soekarno: 1964, 334).

Saya yakin bahwa Islam di seluruh dunia tidak akan bersinar kembali kalau masih mempunyai sikap hidup secara kuno saja yang menolak tiap-tiap kebaratan dan kemodernan. Qur’an dan hadits adalah milik kita yang tertinggi, tetapi Qur’an dan hadits itu baru bisa membawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita membaca Qur’an dan hadits berdasarkan pengetahuan umum (Soekarno: 1964, 336).

Kita tidak ingat bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak mati, tetapi hidup mengalir berubah senantiasa, maju, berevolusi. Kita tidak ingat bahwa nabi SAW sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal haram atau makruh.

Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap kafir. Pengatahuan barat “kafir”, radio dan kedokteran “kafir”, ...! padahal apa-apa yang kita namakan Islam?


Memudakan Pengertian Islam

Kita perlu memikirkan kembali (rethinking) pengertian tentang islam, menyelediki kembali kebenaran paham-paham tentang islam dan mengoreksinya. Di dalam agama selalu ada perobahan pengertian. Pengertian ajaran-ajaran agama pun “panta-rei” (segala hal mengalir, berubah, Herakleitos).

Inti agama tidak berubah, Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan sunnah nabi tidak berubah, tetapi pengertian manusia tentang hal (-hal) inilah yang berubah. Pengoreksian itulah yang membawa kita pada kemajuan. Oleh karena itu jangalah kita lekas marah kalau orang minta diperiksa kembali sesuatu hal di dalam pengertian-pengertian agama kita.

Janganlah kita menutup mata, tidak mau melihat, bahwa di luar indonesia, kini seluruh dunia Timur (seperti Turki, Irak, Syria, Iran, dll) sedang asik rethinking of Islam (Frances woodsmall), yakni memikirkan kembali maksud-maksud islam yang sewajarnya (Soekarno: 1964, 370-371).

Agama islam hanyalah dapat berkembang betul bila mana umat Islam memperhatikan dengan benar-benar akan tiga buah sendi-sendinya: kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan (prof. Farid Wadji) (Soekarno: 1964, 774).


a. Kemerdekaan Akal

Kita harus mengetahui bahwa di luar tradisi pikiran kita terdapat aliran-aliran lain. Dengan begitu kita kemudian lantas dapat membandingkan tradisi pikiran sendiri dengan pendapat orang lain. Mana yang benar nanti? Yang benar adalah yang cocok dengan akal kita, asal akal kita itu akal yang merdeka.

Akal yang masih terikat dengan tradisi pikiran sendiri, (belum merdeka) tidak dapatlah kita pakai sebagi penyuluh untuk mencari kebenaran di dalam rimbanya kegelapan. Agama adalah bagi orang yang berakal. Orang yang berakal hanyalah orang bisa menggunakan akalnya itu dengan merdeka. Orang yang akalnya masih terikat bukanlah orang yang berakal.

Orang yang demikian itu adalah orang yang mengambing pada tradisi pikiran sendiri. Orang yang demikian itu adalah “kuddemensch” (Nietzshe) (Soekarno: 1964, 376-377).


b. Kemerdekaan Roh

Tiap-tiap kalimat dalam Qur’an, tiap-tiap ucapan dalam hadits, tiap-tiap perkataan dalam riwayat, haruslah kita interpretasikan cahayanya roh Islam sejati. Jangalah kita melihat kepada huruf, marilah kita melihat kepada rohnya huruf itu, jiwanya huruf itu, spiritnya huruf itu.

Dengan cara yang demikian itu kita bisa memerdekaan Islam dari pertikaian huruf alias kasuistiknya kaum faqih. Dengan cara demikian itu kita bisa berfikir merdeka, bertafsir merdeka, beridjtihad merdeka dengan hanya berpedoman kepada pedoman yang satu, yakni jiwaya islam, spiritnya Islam (Soekarno: 1964, 400).


c. Kemerdekaan Pengetahuan 

Merdekakanlah pikiran Islam dari Ash’ariisme itu sama sekali, kasihlah lapangan merdeka kepada rasionalisme yang telah lama terbuang. Marilah kita teruskan ajakan pahlawan-pahlawan rethinking of islam di negeri asing itu ke tengahnya padang perjuangan islam di negeri kita.

Dengan kembalinya rasionalisme sebagai pemimpin pengertian Islam, maka barulah ada harmoni yang sejati antara otak dan hati, antara akal dan kepercayaan. Dengan kembalinya rasionalisme itu maka berubahlah sama sekali outlook kita, ideologi kita, menjadi satu outlook yang merdeka, satu ideologi yang merdeka.

Maka Islam lantas benar-benar menjadi satu pertolongan, satu tempat pernaungan, satu jalan keluar dan bukan penjara (Soekarno: 1964, 402).


Penutup

Mengutip Prof. Tor Andrea, Sukarno menegaskan bahwa : “Tiap-tiap agama akhirnya kehilangan jiwanya yang dinamis, oleh karena pengikut-pengikutnya lebih ingat kepada wettensysteem saja, daripada kepada ajaran jiwanya. Islampun tidak terluput dari pahan ini”.

Kita harus memperhatikan pendapat orang lain karena orang lain seringkali mempunyai pendapat yang lebih benar diatas pendapat kita daripada kita sendiri, oleh karena mereka tidak terikat oleh tradisi pikiran yang mengikat kita, tidak terikat oleh “cinta buta” yang mengikat kita pada agama kita itu.

Contoh, Islam melarang kita memakan daging babi, menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatin, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terbesar. Tetapi apa yang kita lihat?

Coba tuan menghina simiskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musrik dalam pikiran dan dalam perbuatan, maka tidak banyak orang yang menuduh tuan sebagai orang yang menyalahi islam.

Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang “kafir”. Inilah gambaran jiwa islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi (Soekarno: 1964, 496-497).

* Disarikan dari buku Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: 1964


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.