iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dukungan Politis Harus Tetap Demokratis

Dukungan Politis Harus Tetap Demokratis
Saat penulis berbincang akrab dengan Irjen Pol. Maruli Wagner Damanik, MAP di sebuah kafe dibilangan Jl. Sutomo Medan


Sebagai supporter fanatik Real Madrid saya tak menyukai tindakan Direktur Klub Real Madrid FC yang menjual Cristiano Ronaldo ke Juventus, juga karena berbagai kebijakan transfer pemain yang kurang mantap.

Tetapi ketidaksukaan itu tak membuat saya ogah menonton pertandingan Real Madrid, walaupun tak semenarik ketika ada Cristiano. Saya juga bahkan ikut sedih ketika Real Madrid dipecundangi 3-0 oleh PSG.

Demikian juga semestinya dukungan politik kita kepada calon kepala daerah tertentu tak mesti kita artikan sebagai "sekedar membagikan muntahan" si calon kepala daerah kepada publik, agar publik menyukainya.

Saat mempublikasi dan mempromosikan si calon, saya harus membahasakan apa yang ia mau, membangun branding dari visi-misinya, dan mengemas kata-katanya dalam kalimat yang terbuka pada penafsiran hingga terbuka bagi pertanyaan dari calon pemilihnya.

Si calon harus digugat pembaca. Itu karena sebagai pemimpin ia pasti akan dituntut ini dan itu. Maka untuk memastikan apakah ia hanya baik hanya selama proses pra-pencalonan hingga kontestasi berlangsung, atau ia benar-benar baik dan layak dipilih? Nah, jawaban-jawabannya yang brilian atas pertanyaan publik di media pasti akan membuka mata calon pemilihnya.

Saya suka Wagner Damanik bukan pertama-tama karena ia jenderal bintang dua di kepolisian. Pertama-tama saya suka kecepatannya menanggapi pertanyaan warga. Ketika warganet menanyakan apakah Wagner sudah melaporkan hartanya secara rutin dan punya komitmen memberantas korupsi, ia langsung menjawab diaertai nukti tertulis.

Saya memang menyukai karakter Wagner, terutama karena hanya sedikit orang kita yang rela "turun" dan "merendahkan diri" disaat karirnya sudah berada di puncak. Bukankah orang kita pada umumnya sering "anggar pangkat" dan hidup di levelnya? Jenderal bintang dua mestinya cagub, bukan cabup. Kata bapak-bapak di lapo tuak, "Cabup itu levelnya Letnan hingga kolonel. Tak mungkinlah Kenderal mau jadi bupati. Klean in cem mana nya?"

Belum lagi Wagner adalah tenaga pengajar di Lemhanas, tempat di mana teman saya Pastor Posma Manalu mendapat pendidikan selama beberapa bulan. Di era Orba, pejabat publik itu harus pernah mendapat pendidikan si Lemhanas. Dan itu baik, terutama karena pemimpin oublik harus sungguh memahami Pancasila, UUD 1945 dan punya spirit patriotisme yang mumpuni.

Awalnya saya juga berpikir kalau Wagner Damanik ini hanya iseng mencalonkan diri, belum lagi pilgubsu masih lama. Maka saya langsung menemuinya dan datang ke Siantar. Anggapan saya berubah setelah bertemu. Ia serius, dan keseriusannya tampil lewat 3 tindakan: 
  1. ia rela pindah dan menetap di Siantar-Simalungun, 
  2. memilih jalur independen dan membentuk tim untuk mengumpulkan photo copy KTP, dan 
  3. setiap hari ia rela turun dan berkeliling dari desa ke desa, kecamatan ke kecamatan, bahkan dari pesta adat yang satu hingga ke pesta adat yang lain.
Saya pernah menggodanya begini, "Abang harus ingat, warga tak terlalu menyukai polisi loh. Tapi, abang tenang aja, karena abang bukan polisi lalulintas." Ia terbahak, lalu menjawab "Saya tahu itu, lae."

Saya melanjutkan, "Tapi abang tenang aja. Purnawirawan TNI AD tak lebih baik kok dengan purnawirawan Polri. Di lembaga sekelas BIN saja sekarang dijabat purnawirawan Polri. Ya, walaupun pemimpin Simalungun saat ini dari purnawirawan TNI AD." Ia kembali tertawa.

Saya ingat perkataan bijak dari Wagner, "Sebetulnya bukan soal dia alumni, lulusan atau purnawirawan dari mana, laeku. Itu tergantung kemampuan leadership dan integritas kepribadian dari calon itu."

Saya setuju dengan Wagner. Di satu sisi, masyarakat butuh pemimpin di daerahnya. Karena negara ini menganut demokrasi, dan kepala daerah harus dipilih langsung, maka mereka mau tak mau harus memilih. Belum ada fakta di mana tak satupun warganya yang ikut memilih, bukan? .

Namun di sisi lain, kualitas calon juga harus jadi pertimbangan warga: "Saya mau pilih dia karena.....".

Bisa jadi sebagian memilih karena telah dibayar 300K per suara, atau yang memberinya 500K per suara, atau justru memilih calon yang tak membeli suaranya, tetapi ia sudah berjanji akan menjadi pemimpin yang "siap memberi dan bukan mengambil" hak warganya?

Inilah proses politik yang menarik dalam demokrasi. Anda boleh tak suka calon A, tetapi Anda harus legowo dan menerima fakta saat si calon A justru disukai lebih banyak orang.

Pemilu lalu bisa saja menghasilkan anggota DPR, DPRD, dan DPD yang sontoloyo, yang baru dilantik tapi tak hadir sidang. Tapi, faktanya mereka sudah terpilih. Begitu juga Pilpres telah menghasilkan pemenang Jokowi-Ma'ruf; dan itu berarti Anda sebagai pendukung Prabowo-Sandi harus legowo mempresidenkan tuan Jokowi.

Menyesal? Boleh saja. Tapi, sebagai warga kita selalu diberi kesempatan memilih untuk pemilu, pilpres, dan pilkada selanjutnya. Maka supaya tidak menyesal, pilihlah calon pemimpin yang terbaik di antara yang ada.

Mosok iya setiap pemilihan Anda selalu kalah, dan hanya mendapat 300ribu rupiah doang? Kacian deh lu!


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.