iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Cinta Tanpa Syarat

Cinta Tanpa Syarat
Nabi Yesaya (Yes 52:13-53:12) dengan benderang meng-gambarkan pribadi Yesus yang sesungguhnya, yakni HAMBA ALLAH YANG BENAR. Ia benar karena membenarkan banyak orang oleh hikmatNya dan memikul kejahatan kita.

Yohanes dalam Kisah Sengsara Yesus (Yoh 18: 1-19:42) menghadirkan secara cermat apa yang telah dinubuatkan Nabi Yesaya tadi. 

Yohanes menggambarkan salib Yesus (juga bisa kita baca di 3 Injil sinoptik, ataupun menyaksikan film “The Passion” nya Mell Gibson) sbb.:
  • rupaNya begitu buruk dan tidak seperti manusia lagi;
  • dihina dan dihindari orang;
  • penuh sengasara: biasa menderita kesakitan, sangat dihina sehingga orang menutup mukaNya terhadap Dia;
  • bagi kita Dia tidak masuk hitungan: tidak tampan, tak ada semarak padaNya, sehingga kita tak tertarik memandang Dia; dan
  • rupanya tidak menarik, sehingga kita tak terangsang untuk menginginkanNya.
Jangan lupa, baik Yesaya maupun Yohanes menampilkan misi khusus dari penderitaan Yesus itu, yakni
  • Penyakit kitalah yang ditanggungNya;
  • Kesengsaraan kitalah yang dipikulNya;
  • Dia ditikam oleh kejahatan kita;
  • Ia menderita untuk keselamatan kita; dan
  • Bilur-bilurNya untuk kesembuhan kita.

Salib Adalah Simbol Kealpaan Kita Dalam Karya Allah

Salib Yesus adalah simbol ketidakhadiran sekaligus ketidakpedulian kita pada kebenaran.

Ia adalah kenosis (tindakan mengosongkan diri) untuk selanjutnya diisi oleh Allah. Tubuh Yesus memang ditelanjangi, disesah, dan dijagal dengan ganas oleh serdadu. 

Demikian juga jiwanya tercabik-cabik oleh ketiadaan dukungan para sahabatNya—yang dulu berjanji akan setia.

Kini, tubuh dan jiwanya kosong. Setetes anggur asam yang diberikan serdadu pasti tak akan mengisi kekosongan itu. Lantas, apa yang masih tertinggal padaNya?

Kebenaran adalah satu-satunya sahabat setiaNya! Sebab kebenaran itu sendirilah misinya hingga rela menderita di salib. Demi kebenaran ia rela kehilangan hegemoni. 

Bukan seperti para penguasa saat itu:

  • demi kuasa Herodes mengorbankan kebenaran; 
  • demi wibawa Kayafas membelokkan kebenaran Taurat; 
  • demi luasnya wilayah jajahan Pilatus mengesampingkan kebenaran; 
  • demi keperkasaan para serdadu menjagal dan membantai kebenaran..dst. 
Demikian juga dengan kita: demi harga diri tak jarang kita mempermainkan kebenaran.

Kalau begitu, apakah itu kebenaran? 

Kita tahu, di penghujung hidupNya di dunia, Yesus menyimpulkan makna kebenaran, “Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan hidupKu” atau “Selesailah sudah.” 

Jadi, kebenaran itu meletakkan hidup secara keseluruhan dalam kerangka “berawal dari” dan “berakhir untuk” Allah.

Inilah yang dilakukan Yesus. Sepanjang hidupNya Yesus menghadirkan kebenaran Allah itu: “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup...tak seorang pun datang kepada Bapa kalau tidak melalui aku...”.

Demi menghadirkan kebenaran itulah Yesus rela: 
  • Menjadi raja dengan upacara pelantikan kelas bawah. Tak ada gegap gempita pesta di sana. Yang ada hanlah hamparan pakaian dan seruan “Hosanna!” (cf. Minggu Palma).
  • Yesus rela menjadi pelayani bagi murid-muridNya (Kamis Putih). Hingga, kini, ia rela menderita, wafat, dan dimakamkan sebagai seorang pecundang (Jumat Agung).

Lantas bagaimana dengan kita? 

Rupanya realitas hidup kita berkata lain. Seperti Pilatus, kita pun memandang kebenaran sebagai sebuah pertanyaan: “Apakah itu kebenaran?”

Demikianlah, kita, dalam tindakan keseharian kita, membenarkan diri, berikut mencuci tangan: “Apakah aku seorang Yahudi?” kata Pilatus mengelak kebodohannya. 

Membiarkan kebenaran sebagai tafsir di tikungan-tikungan perilaku kita sama halnya dengan mempermainkan kebenaran itu sendiri. Sebagaimana cinta, demikian juga kebenaran harus telanjang! Apa adanya! Total! 

Kebenaran itu adalah cinta yang total: tanpa tedeng aling dan bukan “maling teriak maling” sebagaimana dilakukan antara Herodes, Kayafas, Pilatus, para serdadu, orang Yahudi, pun kita yang saling melempar tanggungjawab.


Lantas bagaimana kita sampai pada kebenaran itu?

Cukup dengan mengikuti Yesus, secara total. Kata “mengikuti” mengandaikan usaha untuk sama seperti Dia. Toh kita tidak dibiakan jalan sendiri. Dia memberi banyak bekal dan modal dalam perjalan kita.

Modal itu adalah teladan hidup, bukan sekedar melodi dan nada, tapi sebuah orkestra nada. Dia tidak memberi sebagian tapi seluruhnya. Ia mencinta bukan secara parsial, tapi secata total ! Amin.

*Inspirasi: Jumat Agung – Mengenang Sengsara Tuhan Yes 52:13 - 53:12. Ibr 4:14-16. 5:7-9; Yoh 18: 1-19:42
**Diwartakan di Stasi Gunung Tinggi Paroki St. Maria Tanjung Selamat Medan pada hari Jumat Agung, tanggal 02 April 2010



Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.