iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Mengarang

Mengarang
"Ise do mangarang buku on?" adalah pertanyaan jamak saat seorang Batak sebelum membacai buku.

Ingat, kata yang digunakan bukan "manurat" (menulis), tapi mangarang (mengarang). Ini bukan soal keterbatasan vocabulary. Ada historisnya.

Orang Batak terlahir dan bertumbuh dari tradisi lisan yang kuat. Sepintas tampak bahwa orang Batak punya ingatan brilian, karena mitologi dan sejarah leluhurnya masih hafal.

Benarkah demikian? Terhadap anggapan ini tak sedikit orang Batak menyebut dirinya keturunan Yahudi (tapi minus tradisi membaca dan menulis, tentunya).

Itu sebabnya menulis sejarah dan tarombo sebuah marga jauh lebih sulit daripada memahamu hukum gaya-nya Newton atau relativitas-nya Einstein. Hal ini karena orang Batak tak berasal dari satu leluhur. 

Masuknya Islam dan Kristen lah yang "memaksa" orang Batak "mengarang" kisah penciptaan sendiri.

Semua dikarang, termasuk tarombo. Tak mengherankan ketika orang Batak menyamakan penulis dengan pengarang: apapun yang ditulis seseorang tak lebih dari hasil karangan/rekayasa si penulis.

Artinya, penulis menjadi obyek penghakiman atas tulisannya yang dianggap tidak mewakili "pengetahuan" publik, yang tak lain adalah orang Batak otu sendiri.

Kenyataannya, mayoritas orang Batak, termasuk kaum intelektualnya masih lebih percaya pada kisah-kisah adiluhung yang dituturkan orangtuq mereka daripada pergi ke pelosok dan meneliti fakta dibalik kisah-kisah mitos itu.

Bisa dibayangkan bagaimana seorang Batak "menyuapi" keturunannya dengan berbagi kisah "sejarah yang kadang tak masuk akal". Dan sebagaimana kita tahu sejarah itu pun  bersumber dari penuturan leluhur sebelumnya lewat permainan "meneruskan pesan".

Fakta bahwa baru tahun 1920-an tarombo jadi "topik" menarik. Pada saat itu pula beberapa marga digabungkan secata politis.

Ada 3 alibi yang mendasari kelompok marga (horong): 

[1] kepentingan kolonial; 

[2] hubungan darah; dan 

[3] padan (kesepakatan) antar dua atau lebih l marga diluar pertalian darah.

Ketiga alasan di atas selalu hadir ketika setiap orang dari leluhur yang sama sering klaim-mengklaim kalau marganya paling tua (sulung) di tarombo mereka, pun klaim atas tanah leluhur, hingga perebutan kekuasaan di huta mereka.

Selain karena tidak suka membaca, hal ini terjadi karena nilai kebenaran kisah itu sangat "rawan" posisinya.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.