iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Gultom Parjamila

Gultom Parjamila
Ilustrasi seorang parjamila (penjual obat keliling di pasar-pasar tradisional) yang sedang  menjual barang dagangannya

Dulu, di tahun 90-an ada seorang parjamila (penjual obat keliling di pasar-pasar tradisional) yang berkedok "tukang sulap" hanya demi menjual barang dagangannya.

Parjamila yang saya maksud adalah Gultom, yang dikenal sebagai Gultom Parjamila. Gultom ini masih keluarga dari tetangga samping kiri rumah kami, yang juga marga Gultom. Di rumah itulah parjamila kocak ini selalu menginap.

Nah, Gultom Parjamila dan asistennya sering datang mempertontonkan kebolehannya di kampung kami, Bahtonang. Desa Bahtonang ini tepat berada di tepi perbatasan kabupaten Simalungun - kanuoaten Serdang Bedagai. 

Simalungun, Toba dan Jawa adalah suku-suku yang mendiami desa yang berada di kaki gunung Simbolon-Simalungun (yang pernah diklaim Efendi Simbolon sebagai milik oppung mereka).

Kembali ke atraksi Gultom parjamila. Ia tak butuh panggung. Halaman rumah kami adalah favoritnya. 

Selain gratis, tempatnya luas, juga karena halaman rumah kami tergolong pusat pertemuan anak-anak dan remaja kala itu. Di halaman rumah inilah anak-anak suka bermain voli, futsal, galah, atau permainan lain. 

Gultom selalu membuka acaranya pada sore hari, tepatnya menjelang malam. Tentu, karena orang-orang kampung baru pulang dari ladang dan sawah mereka ekitar pukul 5 sore.

Gultom Parjamila biasanya memulai pertunjukannya dengan memutar musik-musik batak bernada gembira. 

Ia akan mulai menyapa dan memberitahu penonton tentang apa yang akan dia tampilkan, juga apa yang akan dia jual malam itu. 

Sesekali ia berjoged sembari bernyanyi. Suaranya juga cukup oke di masa itu. 

Dwngan soundsystem sederhana, ia mengecilkan suara musik, lalu berbicara lagi tentang atrkasi sulap yang akan dia pertontonkan. Tapi sebelumnya ia mulai mempromosikan obat-obatan (alternatif) yang akan ia jual.

Sebagai informasi tambahan, Gultom Parjamila bukan apoteker, alih-alih mantri atau dokter. Ia hanya pedagang obat keliling, dari pasar ke pasar dan dari kampung ke kampung. Inilah alasan ia dinamai Parjamila.

Maka, obat yang dijualnya pun asal ada aja. Kadang ia hanya menjual Vitamin C jaman bakekok, yang bentuknya tablet, berukuran bulat mini, dan berwarna kuning. 

Gultom Parjamila sepertunya tahu bahwa meminum vitamin tak berbahaya untuk siapapun. Ia juga seakan paham bahwa kesembuhan orang sakit terkadang disebabkan oleh kepercayaan si sakit kepada orang yang memberinya obat. 

Itulah sebabnya ia tak peduli dengan kualitas, alih-alih efek samping dari obat tersebut. Minimal selama ia menjadi Parjamila, belum ada orang di kampung kami, misalnya yang mati mendadak karena meminum obat yang dijualnya. 🤣

Lagipula fokus Gultom yang sedikit mirip artis sophan sophian itu adalah berdagang obat dengan caranya yang unik, demi mendapat keuntungan. 

Begitu juga bagi kami anak-anak di masa itu: Jauh lebih menarik cara Gultom menjual obat daripada membeli obatnya. Hahaha.... 

Bagaimana tidak, suaranya kerena, komedinya oke, pertunjukan sulapnya juga menegangkan (walaupun gak pernah tuntas) 😂.  

Beginilah cara Gutom Parjamila mencari nafkah di jamannya. Ia berjualan dengan cara yang unik. Ia akan bernyanyi, melawak dan bermain sulap.

Saya ingat dulu, Gutom membawakan kotak kecil, 1m x1m ke tengah lapangan pertunjukan. Lalu ia mengikat asistennya dan memasukkannya ke dalam kotak. Ia berjanji kalau di akhir pertunjukannya, penonton akan menyaksikan si asisten akan keluar sensiri setelah melepas ikatannya. 

Kotak yang berisi asistennya itu lalu dipindah ke pinggir, dekat panggung utama Gultom. Kotak itu dibiarkan begitu aja. Ia malah asyik menyanyi sambil joget diiringi lagu "Jamila Bintang Film India". Ia bahkan sembari berkeliling ke arah penonton untuk menawarkan obat dagangannya.

Sesekali, dengan suara lantang, di menggugah animo para penonton untuk membeli obat jualannya, "Ayo beli obatnya. Sekali minum, segala penyakit akan hilang, dan badan akan kembali prima."

Ajaibnya, ada saja penonton yang membeli. Padahal mereka tahu kalau obat itu ada dijual di puskesmas desa, bahkan dengan harga lebih murah. Waktu itu ada mantri Sumbayak dan bidan Boru Purba yang bertugas di sana.

Tapi inilah kelebihan parjamila yang selalu tampil dengan celana kampak dan berkacamata hitam itu. 

Sembari bertransaksi dengan pembeli, Gultom tak pernah lupa mengingatkan penonton akan atraksi "bebasnya sang asisten dari kotak yang sudah dikuncinya tadi".

Riuh penonton pun makin membahana. Anak-anak bersorak. Tapi seorang remaja disamping saya berteriak, "Ija do sulap ai? Tongon pe lang ai, makkela?" (Mana atraksi sulapnya? Benaren gak nih, om?)

Sama seperti remaja disampingku tadi, saya juga bingung. Sudah lebih dari 2 jam si asisten Gultom Parjamila itu berada di dalam kotak. Kotaknya kecil dan sumpek. Masak sih gak mati? 

'Bohong nih. Gak mungkin asistennya masih di kotak,' gugatku dalam hati. 

Mengingat belum sekalipun atraksi yang dijanjikan Gultom tuntas, maka saya sering meninggalkan pertunjukan. 

Asal tahu saja, Gultom biasanya akan langsung menyudahi acaranya kalau obat jualannya kurang peminat. Kotaknya entah diapain, dan asiatennya entah sudah di mana.

Tapi tahukah anda bahwa trik menunda atraksi sulap ini memang sengaja dia lakukan demi menahan penonton? 

Benar saja. Andai sulap selesai, naka penonton akan langsung pulang. Jadi ia butuh alasan untuk menahan para,penonton.

Di titik ini Gultom Parjamila ini hebat. 

Pertama, Gutom tahu kalau orang kampung (yang kurang hiburan) bisa diatahan hanya dengan menggugah rasa penasaran mereka lewat trik sulap.

Kedua, lewat alunan suara merdunya Gultom menghipnotis pendengarnya. Ia bak perjaka yang membuai pujaan hatinya dengan nyanyian romantisnya.

Ketiga, lewat omongan yang diselipi komedi khas Batak, Gultom sungguh menghibur penonton yang sudah seharian lelah di ladang dan sawah mereka.

Akhirnya, bagi seorang Gultom Parjamila, kata-kata adalah modal terbaik untuk mewujudkan tujuan, dendang suara adalah pintu masuknya, dan sulap adalah awal menggugah rasa kagum dari calon customers-nya. 

Gultom Parjamila adalah salah satu bukti betapa kekuatan kata-kata adalah modal terbesar bagi seorang pemasar. 

Bahkan ketika kata-kata dirasa tak cukup, tambahkanlah ia dengan dendang suara merdu, bahkan pertunjukan yang membuat orang penasaran.

Ini seperti penjual panci di pasar tradisional yang merasa tak cukup hanya dengan menunggu pembeli. Ia pun menawarkan pancinya sembari mengadu dua panci di tangannya. Tujuannya jelas, agar orang membeli pancinya karena terlihat kuat dan berkuaitas. 

Sementara atraksi sulap yang tak pernah tuntas dari Gultom itu ibarat gombalan tanpa aksi khas parjamila. Ia tak tega melihat para penonton terlaku banyak ia bohongi. 

Maka, lewat atraksi akhir di sulap yang ia janjikan, ia ingin berhenti berbohong di akhir pertunjukan. Sebab ia memang tak pernah melakukannya sekalipun. 

Sebenarnya ia sadar bahwa jauh di dalam pikiran para penontonnya adalah "Jangan pernah percaya Gultom Parjamila, karena ia adalah seorang pembohong ulung." 😂

Itu sebabnya di akhir pertunjukan, para penonton selalu menggugatnya, "Ija do asistenmu ai? Domma matei ra ai. Eeh, ongga pelang salosei sulapni ham, makkela." (Jangan-jangan asisten anda sudah mati. Begitulah kalau sulap gak pernah dituntaskan om.)

Gugatan ini penting bagi Gultom sebagai tantangan ke depan, yakni menciptakan atraksi bohong apa lagi yang bisa ia ciptakan secara lebih meyakinkan.

Ia tak merasa bersalah dengan kebiasaannya tersebut. Ia punya skala prioritas: hasil penjualan adalah tujuan utama; sedangkan atraksi sulap hanyalah alat untuk memuluskan tujuan tersebut. Nomor 1 tetap, tapi nomor 2 boleh diganti. 🤣

#SaiNaAdongdo

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.