iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Saat Tuhan Disembah Secara Massal


Entah ini fenomena atau justru sebagai keganjilan ekspresif masyarakat kita atau bukan, nyatanya ibadat massal seakan menjadi trend di zaman now. Nyatanya, kita menyaksikan sebuah anomali. Di satu sisi semakin banyak umat beragama di negeri Pancasila ini yang berlomba-lomba membangun rumah ibadat yang megah, tetapi disisi lain mereka juga menyukai grand-event berupa ibadat bersama di luar tempat ibadat tadi. Tak sedikit yang mengalih-fungsikan mall dari tempat belanja menjadi tempat ibadat atau menyulap stadion menjadi rumah ibadat dadakan.

Umat beragama di negeri ini tampaknya sangat sadar bahwa Agama adalah salah satu media atau sales kits untuk bisnis. Bagaimana tidak, mengelola peribadatan di lapangan terbuka, stadion, atau grand-hall di hotel-hotel berbintang lima pasti membutuhkan Event Organizer yang handal. Worship Organizer handal itu tak gratis, sebaliknya pasti sangat mahal. Begitu juga saat kumpulan orang-orang yang merasa sangat beragama itu biasanya akan menghadirkan para pengkhotbah dengan nama-nama besar. Sebut saja Zakir Naik untuk Islam, atau Pendeta Steven Tong yang punya daya sihir, dan pastor-pastor tertentu di Katolik.

Percaya atau tidak, pesta-pesta agung atas nama “doa bersama”itu akhir-akhir ini justru semakin diminati. Entah karena orang haus untuk bertemu Tuhan yang sedang berdiam di tahtaNya yang agung atau karena kehendak untuk diliput media massa dan media elektronik saat berdoa, atau malah karena mereka itu tak nyaman lagi di rumah sendiri, kita sungguh tak tahu persis. Hanya saja, fenomena ini bukan mewarnai peribadatan Kristen atau Islam. Tetapi juga di semua agama, seperti Budha yang sering mendatangkan Biksu atau Biksuni terkenal dari Thailand, atau Hindu dengan mendatangkan Vandita dari India sana. 

Faktanya, selama kurang lebih dua tahun tinggal di Medan, saya sering melihat billboard berukuran sangat besar di tepi jalan protokol kota yang berisi undangan untuk menghadiri KKR, Tausiyah, atau Meditasi di lapangan terbuka, stadion atau hotel berbintang, dengan para pengkhotbah mahsyur tadi. Tak hanya di Medan, di kota-kota besar lain juga saya sering melihatnya, seperti di Siantar, Kabanjahe, Berastagi, Tebing Tinggi, Semarang, bahkan saat saya ke Jayapura tahun 2014 silam. Di Katolik, gerakan Kharismatik juga mulai “mewarnai” gereja. Kelompok ini bahkan sering dianggap sebagai zat pewarna ritual liturgi Gereja Katolik yang lesu, konservatif dan membosankan. Asal tahu saja, Gereja Katolik biasanya sangat hati-hati dengan gerakan model ini. Kehati-hatian ini bukan tanpa alasan. Gereja Katolik sungguh belajar dari peziarah saya di masa lalu, terutama di abad pertengahan di mana Gereja sering disusupi aliran sesat.

Berbeda dengan sekte-sekte Protestan yang lebih longgar. Di kalangan Protestan kelompok Kharismatik bahkan seakan menjadi trend baru, bahkan sangat diminati kaum muda di zaman now. Konon katanya berdoa dengan cara kharismatik akan melegakan hati dan pikiran mereka. Lihatlah, emosi mereka akan tersalurkan saat berteriak “Amin!”, saat mendendangkan tembang-tembang pop rohani dengan iringan band dan singer artist, saat bertepuk tangan secara serentak, atau saat menangis haru karena merasa Tuhan telah menyentuh sanubarinya.

Inilah yang sungguh terjadi di lingkaran gereja Kristen di zaman now, bahkan telah semarak sejak 10 tahun terakhir. Begitu hebatnya kelompok ini “menangkap kebutuhan zaman”, sehingga cepat atau lambat anggota mereka justru bertambah pesat. Anak-anak muda yang bosan dengan peribadatan ala Lutheran, Calvinis, atau peribadatan Katolik yang statis secara diam-diam atau secara terang-terangan bergabung dengan Komunitas Kharismatik ini. Awalnya mereka hanya “jajan”, namun karena mereka merasa “ditraktir” di sekte kharismatik itu, perlahan dan pasti mereka justru berafiliasi dengan sekte yang lahir dan berkembang di kalangan warga kulit hitam di Amerika itu. Mereka yang telah dibaptis di Gereja Katolik, HKBP, GKPS, GBKP, BNKP, GKPA, dan sebagainya tadi kini justru rela dibaptis ulang di sungai, kolam renang, atau di tepi Danau Toba sana. Hingga akhirnya, para anggota baru itu akhirnya diberi ruang tak terbatas untuk bersaksi:

“Saya memang sudah lama mengenal Yesus dari orang tua dan lewat Pelajaran Pendidikan Agama di sekolah, tetapi hatiku merasa hampa. Untunglah pada akhirnya Tuhan membuka mata dan mengarahkanku untuk bergabung dengan sekte baru ini. Di sini saya sungguh mengalami kehadiran Tuhan secara nyata, hingga setiap selesai ibadat saya selalu menangis kepada Tuhan.”

Tak jarang juga mereka berpindah ke sana dan meninggalkan Gereja Katolik atau Gereja Protestan tertentu hanya secara psikologis mereka tak dipuaskan. Tak hanya itu, tak sedikit juga orang-orang Katolik yang ditawari jadi pengkhotbah oleh kelompok-kelompok tertentu. Bisa dikatakan sekte-sekte Kharismatik ini justru semakin banyak pengikutnya.

*****

Adakah yang salah dengan fenomena ini? Tanpa bermaksud menghakimi, saya hanya mengulang perkataan bijak dari Yesus saat ritual keagamaan yang dilakukan murid-muridNya sering melenceng dari tradisi keagamaan Yahudi, terutama saat berpuasa. Yesus kesal dengan kebiasaan kaum alim ulama yang doyan mencari kesalahan orang lain itu: "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasNya kepadamu." (Mat 6:6). Yesus dengan jelas mengkritisi kebiasaan orang beragama yang suka pamer saat berdoa bersama kepada Tuhan-Nya ditengah keramaian, entah di pusat pasar, di tempat terbuka, di aula hotel dan mall dengan sorotan media. Menurut Yesus, pola beribadat kolosal ini justru sering dilakukan oleh kaum Farisi, lengkap dengan jubah-jubah kebesaran mereka.

Tak hanya di kalangan Protestan atau Katolik, pola beribadat kolosal ini juga dilakukan oleh sebagian sekte Islam, Budha, Hindu, bahkan agama-agama lain yang tak ada di Indonesia. Mereka yang menyukai kerumunan atau penyuka konser biasanya memang juga menyukai gerakan kharismatik yang tata cara peribadatannya mampu memfasilitasi kebutuhan psikologis mereka. Gerakan spiritual ini nyatanya selalu mampu menghardik kesendirian dan kesepian setiap orang yang hadir. Caranya pun sungguh unik. Sang pendeta akan “memaksa” Tuhan segera turun tangan atas persoalan hidup mereka: “Yesus, kalau engkau sungguh putera Allah yang hidup, hadir dan jamahlah jiwa-jiwa yang kosong di tempat ini!”

Sejalan dengan itu, kelompok ini juga sangat mengharapkan Tuhan segera mempertontonkan kebolehannya di panggung-panggung meriah ciptaan mereka dengan cara “menyembuhkan orang sakit dalam sekejap, menjadikan orang lumpuh berjalan hingga berlari, bahkan membuat orang sekarat tiba-tiba bersaksi secara hebat.

Demikianlah kelompok ini selalu berupaya memaksa Tuhan menjadi peserta reality show yang menghibur penonton lewat penampilan terbaiknya di panggung tadi. Tentu saja, bila Ia sungguh melakukannya, maka teriakan Haleluya atau Allahu Akbar secara proklamatif mereka anggap sebagai sihir ajaib yang bisa menghalau segala bentuk kejahatan terhadap diri mereka. Semakin hari, umat beragama semakin ganjil. Mereka tak segan menganggap Tuhan hanya akan datang ke dunia hingga mengusir gempa dan banjir, dan segala bentuk penderitaan manusia, dst....hanya lewat reality show ciptaan mereka tadi.

Anehnya, antar mereka yang melakukan ritual yang sama seringkali timbul persaingan dalam hal “menghadirkan Tuhan untuk mempertontonkan kebolehanNya” antar mereka. Kenyataan ini bisa dimengerti, karena muatan “misi keagamaan yang dipromosikan” tersebut memang sengaja didesain untuk mencari keuntungan. Siapa sih yang mau rugi menyewa tempat yang begitu mahal tanpa imbalan?

*****

Terhadap agama-agama tradisional atau Gereja-gereja Konservatif seperti Gereja Katolik atau gereja-gereja Lutheran yang tetap setia pada tata upacara peribadatan yang konvensional sejak ribuan tahun silam justru sering dituduh sebagai agama sesat. Mereka sesat, karena mereka tak membuka ruang bagi ekspresi psikologis seperti berjingkrak-jingkrak, berteriak, menangis tersedu-sedu, bertepuk tangan secara meriah. Di gereja-gereja konvensional orang tak berteriak Amin saat sang pengkhotbah memintanya, atau bernyanyi berjingkrak-jingkrak sambil tepuk tangan saat main-singers nya memintanya.

Lagi-lagi, untuk meyakinkan hal di atas, kelompok kharismatis ini juga selalu memanggil pendeta, pastor, ustad, biksu, atau mangku kharismatis sebagai pengkhotbah, dan tugasnya adalah meyakinkan peserta ibadat bahwa mereka diridhoi Tuhan dan mendapat berkah istimewa karena hadir di sana. Sekali lagi, tanpa bermaksud mengadili, karena hanya Tuhan yang tahu mana yang benar dan salah bagiNya, kelompok-kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai “penganut agama paling orisinil” ini justru sering mengadili kita yang beribadat secara konvensional sebagai orang yang telah meninggalkan Tuhan di masa lalu.

Akhirnya, fenomena di atas memang agak ganjil, sebab semakin banyak orang beragama yang justru rebutan lahan di dunia, tempat yang dihadiahkan Tuhan untuk kita.

ditulis pada Koran Danau Toba
Medan, 9 November 2017

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.