Keinginan untuk berkuasa adalah fenomena kompleks yang telah menarik perhatian filsuf, psikolog, dan politisi selama berabad-abad. Dorongan ini sering kali berakar pada campuran berbagai faktor, baik pribadi maupun sosial.
Salah satu motif utama adalah pencarian pengakuan dan validasi. Bagi sebagian orang, kekuasaan adalah cara untuk membuktikan diri, mendapatkan rasa hormat, dan meninggalkan jejak yang tak terlupakan di dunia.
Tak sedikit orang yang melihat kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, seperti menciptakan perubahan positif atau menegakkan keadilan. Mereka ini biasanya termotivasi oleh idealisme dan keyakinan bahwa mereka dapat membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Motif-motif ini dapat dengan mudah tercampur dengan keinginan pribadi, dan mengaburkan batas antara idealisme dan ego.
Secara psikologis, keinginan untuk berkuasa sering dikaitkan dengan rasa ketidakamanan yang mendalam. Dengan mengendalikan orang lain, seseorang mungkin merasa lebih aman dan terlindungi dari potensi ancaman. Kekuasaan juga dapat menawarkan ilusi kontrol dalam dunia yang sering terasa tidak terduga dan kacau.
Pada akhirnya, keinginan untuk berkuasa bukanlah hal yang sederhana. Ini adalah cerminan dari kompleksitas manusia, di mana ambisi, ketakutan, dan idealisme saling berinteraksi untuk membentuk dorongan yang kuat dan berpotensi mengubah dunia.
Menarik bagi sebagian orang, kekuasaan itu membuncah pesona magis dan menebar magnet ajaib seseorang hingga banyak orang berlomba memeluknya. Tak hanya di Indonesia, di seluruh negara di dunia, kekuasaan politik selalu menarik minat banyak orang.
Hasrat untuk berkuasa—yang oleh Friedrich Nietzsche disebut der Wille zur Macht merupakan kekuatan pendorong utama manusia. Faktanya, ketika rasa haus itu dipuaskan--misalnya, menang pemilu--mengapa yang tejadi justru perubahan perilaku ke arah negatif?
Andai saja politik dijalankan seturut peradaban dan keadaban lokal, maka kekuasaan akan sangat berguna bagai kepentingan publik. Sebaliknya, apabila seorang politisi meraih kekuasaan dengan Sistem Kebut Semalam (SKS), bahkan dengan cara yang curang, maka ia siapapun yang berkuasa sebagai presiden tak mungkin sempat memikirkan kepentingan rakyatnya.
Tak cukup hanya bermodalkan dada telanjang di depan publik untuk dipiliah sebagai presiden, atau cukup bersilat lidah dan memfitnah lawan politik untuk menjadi anggota DPR. Untuk dipandang sebagai bapa bangsa dan tokoh reformasi, seseorang tak cukup hanya dengan berbagi kekuasaan dengan sanak familinya.
Buktinya, ada gubernur yang menang lewat cara SKS, plus berjanji menghadiahi rakyatnya Rumah DP 0%, tetapi yang ia dapat justru 0% kepercayaan dari rakyatnya. Pertanyaannya, apakah sistem demokrasi adalah satu-satunya cara untuk memuaskan rasa haus akan kekuasaan? Bukankah rakyat Indonesia selalu memilih karena dibayar?
Selamat HUT ke-80 Republik Indonesia. Merdeka!
Posting Komentar