iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Janji

Janji


"Janji (dengan sesama) manusia sudah. Janji (di hadapan) Tuhan belum," tulis Dandi Sembiring Meliala di kronologi Fesbuknya.

Janji seringkali jadi patokan dalam sebuah relasi. Entah relasi suami dan istri, pejabat dan pemerintah, pekerja dan perusahaan, bahkan anak dan orangtua.

Janji ini kerap dianggap perlu, bahkan sangat perlu, karena terkait erat dengan tanggung jawab yang menyertainya. 

Akibatnya perkawinan disahkan lewat janji sepasang manusia, masa kerja pejabat didasari sumpah jabatan dihadapan pejbata lain, di awal bekerja karyawan diwajibkan mematuhi aturan perusahaan, dst.

Repotnya, di dalam setiap janji, nama Tuhan selalu disematkan, paling tidak turut diucapkan. Lihatlah sumpah presiden, sumpah dirjen, sumpah pendekta, dll.

Di kalangan biarawan/biarawati Katolik, janji semacam ini disebut sebagai Kaul. Ada 3 kaul yang jadi prioritas dan dianggap jadi kaul utama, yakni kaul kemurniaan, kaul ketaatan dan kaul kemiskinan.

Tentu kita kagum karena (paling tidak) mereka berani mengucap janji dihadapan Tuhan dan GerejaNya untuk menjadi teladan rohani.

Namun di sisi lain, setiap janji selalu mengandaikan tanggung jawab personal, baik oleh orang yang mengucapkan janji maupun si pendengar/penerima janji tersebut. Hanya saja, faktor subyektivitas ini pula yang membuat janji selalu sulit "dituntut" pemenuhannya.

Sederhananya begini...
Kalau Anda sudah lama tinggal dan hidup ditengah masyarakat Medan, maka Anda takkan terbiasa lagi menagih janji sesama orang Medan.

Anggaplah misalnya kamu mau ketemu Surle pukul 17.00 alias jam 5 sore di Cafe X. Karena tidak terbiasa terlambat, kamu bahkan sudah tiba pada pukul 16.45 di lokasi yang telah disepakati.

Sayangnya Surle yang berjanji beetemu plus waktu dan tempat justru datang terlambat, tepatnya pada pukul 18.33. Jelas, saat ditanya via WA pada pukul 16.50 tentang keberadaannya, Surle telah membalas enteng, "Sudah otw." 

Asal tahu sajam, jarak lokasi dia berangkat dna cafe X tujuannya hanya 5 km. Artinya dia menempuh 1,5 jam perjalanan ke lokasi. Tak sampai disitu. Surle malah menyalahkan anda, "Bah, cepat kali lae sampe. Macam tak ada kerjaan kau, lae."

Dari contoh ini kita melihat bahwa pemenuhan janji selalu bermula dari "rasa hormat" kepada orang yang dijanjikan sesuatu. Setelah rasa hormat, muatan janji juga harus mempertimbangkan kemampuan diri sendiri.

Janji itu bukan tentang seorang caleg yang berjanji, "Saya akan mengaspal jalan dan membangun jembatan penghubung dua ngarai nan terjal," pekiknya saat berkampanye.

Padahal si caleg dan pendengarnya sama-sama tahu janji itu sudah ada sejak era Firaun di mesir. Keduanya juga sadara kalau janji itu bukan ranah si caleg. Kenyataannya, baik caleg maupun tim dan pemilihnya sama-sama dungu".

Akhirnya, alangkah lebih baik membangun tekad menjadi orang baik daripada sekedar berjanji akan menjadi orang baik. Bukankah setiap Pemilu kita telah banyak belajar soal "janji-janji politisi?" Amangtahe....

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.