iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Peran Subyek dan Obyek Dalam Ritus Perkawinan Adat Batak Toba

Peran Subyek dan Obyek Perkawinan Adat

Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang terlibat di dalamnya. Peran itu bisa saja berbeda menurut jenis keluarga yang akan mendasarinya, kecuali dalam hal perkawinan hukum adat, selalu ada berbagai macam kelompok yang tertarik pada penyatuan dua individu tersebut.

Menurut Arnold van Gennep, kompleksitas upacara perkawinan tersebut dapat dijelaskan dalam 5 (lima) pokok permasalahan, yakni: dua jenis kelamin yang berbeda, garis keturunan, keluarga, suku dan tempat tinggal.
“The collectivities in question are: the two sex groups, sometimes represented by the ushers and bridesmaids, or by the male relatives on one hand and the female relatives on the other; patrilineal or matrilineal descent groups; the families of each spouse in the usual sense of the word, and sometimes families broadly speaking, including all relatives; groups such as a totem clan, fraternity, age group, community of the faithful, occupational association, or caste to which one or both of the young people, their mothers and fathers, or all their relatives belong; the local group (hamlet, village, quarter of a city, plantation,etc.).” (Arnold van Gennep, 1965: 117-118.

Demikian juga dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, selain melibatkan kedua mempelai juga melibatkan seluruh perangkat masyarakat. Perbedaannya adalah peran-peran dalam rangkaian upacara perkawinan adat Batak Toba selalu terkait dengan tiga kedudukan utama dalam adat: Dongan Sabutuha (Dongan Tubu), Hula-hula, dan Boru

Sebagai catatan, perkawinan marsubang atau marsumbang diperbolehkan apabila perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. 

Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. 
Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu). 
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti, pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat. 
Ritusnya adalah sbb: Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani). Kerbau atau sapi meseti disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (auguration) terhadap tanah dan penghuninya. (JC. Vergouwen, [.]: 205.208-209)

Pertukaran Prestasi Sebagai Simbol Perkawinan

Perkawinan Adat Batak Toba juga menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di dalamnya, termasuk dalam hal perencanaan upacara perkawinan yang akan dilaksanakan. Peranan dasar aspek ekonomi ini, misalnya, tampak jelas dalam menetapkan jumlah uang, pembayaran, pengembalian pembayaran: harga pengantin, pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara perkawinan berlangsung, dst. (TM. Sihombing:49).

Dalam adat Batak Toba, suatu perkawinan mencakup pembuatan suatu “pembayaran” oleh pihak pengantin laki-laki atau kerabatnya kepada ayah atau pemelihara pengantin wanita. Pembayaran ini bahkan merupakan bagian utama dari pembentukan legalitas atau pengesahan perkawinan menurut adat.

Bila pertukaran ini sudah sudah terpenuhi, maka perkawinan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu sudah mandiri; dan bila sebaliknya yang terjadi, maka pengantin pria harus membaktikan diri untuk keluarga wanita sampai tuntutan nikah ini terpenuhi (bdk. Kisah Yakub dan Rahel dalam Kej 29:20).

Dengan isitilah lain lagi, pengesahan suatu perkawinan mencakup seluruh rangkaian “prestasi” (prestation[Eng.]) berarti suatu tindakan membayar, apa yang dituntut hukum/adat) yang berarti tuntutan adat untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorang.

Pertimbangannya adalah jika keluarga, desa, bahkan suku kehilangan anggota-anggotanya yang produktif (laki-laki atau perempuan), sedikitnya haruslah memperoleh “imbalan” dari pihak yang “mendapatkan” mereka. Hal ini dijelaskan dalam pembagian makanan, pakaian, perhiasan, dan diatas semuanya itu banyak tata cara yang mencakup “uang tebusan”.

“Tebusan-tebusan” ini selalu terjadi pada waktu bersamaan dengan upacara-upacara perpisahan. Harga mempelai wanita, menurut hukum adat, dimiliki oleh anak perempuan; dan kesepakatan itu ditinjau dari upacara makan bersama, diikuti saling mengunjungi diantara keluarga-keluarga, pertukaran hadiah-hadiah yang diberikan oleh para kerabat, sahabat, dan tetangga.

Selanjutnya: Bentuk dan Sifat Perkawinan Adat Batak