iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dilema Media Maya

Dilema Media Maya

Seorang blogger di KOMPASIANA mengutarakan uneg-unegnya mengapa tulisannya didelete admin. Bukan hanya di sini, tapi juga di tempat lain, semacam jejaring sosial semisal facebook atau twitter hal serupa sering terjadi.

Yang jelas, saya juga pernah menghapus 'share' atau pernyataan seseorang yang menulis dengan bahasa yang provokatif dan menistakan nama sebuah lembaga di sana. Salahkah aku yang menghapus itu?

Setelah aku delete, si orang bersangkutan lantas 'curhat' di ruang yang sama dengan maksud mencari pendukung dan memproklamirkan dirinya sebagai "orang yang dizolimi".

Dukungan pun berdatangan, tapi sayang... setelah saya katakan, "Apakah saya harus mengutarakan kesalahan Anda juga di media ini?" Tak lama berselang, komentar-komentar pun langsung berhenti, karena di orang bersangkutan 'menarik' pernyataannya dan mengatakan, "persoalannya sudah usai!"

Demikianlah media maya terbentang. Selalu ada dua sifat yang berjalan beriringan, yakni informatif dan fomatif.

1. Informatif

Tak salah jika mengatakan bahwa media internet membuat segala hal menjadi mungkin. Segala hal yang saya maksud, yakni semua orang bisa "berbicara", tepatnya menulis apa saja. Mau beritanya tepat, membangun, menggugah atau 'ngaco', provokatif, eksibisionistik, dan lain sebagainya.

Di jejaring sosial hal ini jauh lebih kelihatan. Lihat misalnya, di Facebook (yang tampaknya lebih digandrungi orang Indonesia ketimbang Twitter). Anak-anak remaja tak sungkan menulis kejelekan pacarnya, temannya, bahkan orangtuanya sendiri.

"Gile apa neh orangtua gue. Kolot dan lebay banget sih. Masa gue dilarang ini dan itu?", "Lebay loe. Dasar setan! Masa gue dituduh ini dan itu?"

Ungkapan 'hati' semacam ini seringkali nongol di sana. Itu baru di wall. Belum yang dipublikasi di komunitas-komunitas tertentu di Facebook. Singkat kata, para penganut "internetmania" sekaligus fobia-realitas ini akan mengungkapkan apa saja di media maya ini.

Sejauh saya amati, bisa jadi mereka punya alasan utama mengapa kata-kata atau kalimat negatif dan provokatif itu dimunculkan di sana, yakni karena di media maya tak ada subyek dan obyek. Tapi tahukah Anda, kalau kelompok ini justru tidak sadar bahwa di media-media internet pun ada "redaksi", yang kita sebut admin.

Namun, karena merasa dia bisa berbuat apapun, maka ia tak akan pernah bisa menerima sebuah fakta, kalau tulisan/curhat/komentarnya dihapus oleh admin. Yang paling parah adalah saat ia merasa benar.

Untuk itu ia mulai menggugah para blogger atau teman-temannya di jejaring sosial agar mendukung, dan sebisa mungkin bersimpati dengannya.

Begitulah media-internet hadir bagai buah simalakama. Maka tak jarang ia dituding sebagai dilema jaman ini! Tapi benarkah demkian rundut (bahasa batak untuk melukiskan kacaubalau dan tak beraturan)?

Menurut saya hal pernyataan di atas tak lantas akan membenarkan apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Asal harus diingat satu hal penting dalam dunia komunikasi global semacam internet, yakni sifat formatifnya.


2. Formatif

Tadi siang saya membaca "curhat" seorang blogger cewek kompasiana, di forum ini tentunya. Si sahabat itu bertutur terbuka soal cinta terlarangnya di jejaring sosial dengan lelaki lain. Katanya, di dunia nyata ia bersuami, tapi di dunia maya ia sontak menjadi "gadis jomblo" yang sedang merajut cinta dengan lelaki yang juga sudah bersuami di dunia nyata.

Belakangan ia merasa menyesal atas apa yang terjadi, tapi serentak ia akan tersenyum genit bila ingat apa yang sudah terjadi di antara dia dan "sang kekasih" yang di dunia nyata mungkin saja tak pernah bertemu.

Pertanyaannya adalah, apa yang sesungguhnya terjadi dengan komunikasi global sekarang ini? Benarkan semua media komunikasi yang tampil dengan berbagai alat komunikasi canggih seratus persen sesat?

Contoh di atas menunjukkan kepada kita semua bahwa lewat media internet pun relasi bisa terjalin dengan positif. Sebagaimana sang sahabat tadi bisa mengalami jatuh cinta hanya lewat media bernama jejaring sosial.

Dengan demikian, pada kasus tertentu, sebenarnya media internet juga serentak bisa menjadi sarana persahabatan global (tapi juga serentak menjadi perselisihan global).

Media internet akan menjadi positif bila, informasi yang terbentang bisa dimaksimalkan sebagai unsur formasi atau unsur pembentuk kepribadian kita. Sejalan dengan contoh tadi, "perasaan cinta" kok bisa ya lahir dari "kawanan digit" yang kita sebut sebagai tulisan?

Pasti bisa, sebab di antara kedua orang yang rutin 'berkomunikasi' lewat tulisan itu dilandasi keterbukaan, minimal tentang apa yang ia rasakan lewat komunikasi yang rutin berlangsung itu.

Hal yang jauh lebih menarik adalah munculnya kesadaran baru bila dirasa komunikasi itu sudah terlalu jauh dan terlalu intim... melebihi komunikasi nyata antara si wanita dengan suaminya, atau si pria dengan istrinya.

Luarbiasa toh? Awalnya berkomunikasi lewat media internet bernama jejaring sosial. Lalu, mulai saling tergantung... dan saling jujur sudah saling suka, hingga berani mengutarakan cinta.

Tapi kemudian, masalah muncul karena keduanya sadar bahwa mereka adalah manusia yang hidup dalam realitas yang sesungguhnya. Sang suami si wanita tahu istrinya punya PIL yang telah merebut hatinya.

Mungkin juga si Pria Idaman Lain itu sudah kepergok istrinya. Lantas apa yang terjadi? Setelah mempertanyakan sembari merenungkan apa yang sesungguhnya terjadi di antara mereka, berikutnya lahirlah kesadaran bahwa itu salah atau 'terlarang'. Kata salahdan terlarang di sini lebih pada kemampuan melihat sebuah relasi yang berlangsung secara holistik.

Inilah yang saya maksud dengan sifat formatif dari komunikasi media internet, juga pastinya di dunia nyata. Selain terjalin relasi dengan ratusan bahkan jutaan manusia di berbagai belahan dunia, serentak (secara otomatis) terjadi "filering" atau seleksi alam.

Tak akan mungkin kita intens dengan semua "sahabat" kita di media maya itu. Pasti 'hanya' ada beberapa orang saja yang membuat kita untuk berkomunikasi intens. Kiranya inilah yang melahirkan komunitas-komunitas di media internet; bahkan dulu sudah ada milist di yahogroups, googlegroups, dst.

Ya, begitulah media internet semestinya dimaksimalkan untuk komunikasi dalam konteks dan tujuan untuk mencintai lebih banyak orang, sekaligus untuk mengembangkan tiap pribadi yang terlibat di dalamnya.


Penutup

Kedua sisi sekalgisu sifat dari komunikasi, sebagaima saya telah di atas hendaknya menjadi perhatian kita bersama. Bahwa media, bila hanya dimanfaatkan sebagai media informasi, maka media itu tak lebih dari tempat sampah (yang menampung tak hanya sampah tapi juga segala yang dianggap sampah).

Internet, dengan berbagai produknya yang makin memudahkan kita saling terkait satu sama lain, pada akhirnya hanya berguna bila menebarkan cinta-kasih kepada sesama

Pendeknya, yang namanya jejaring sosial itu, semestinya dimaknai sebagai kemampuan kita menjangkau sebanyak mungkin orang di dunia untuk menjadi sahabat (sosial berasal dari kata socius dalam Latin - yang berarti sahabat).

Maka, bila hanya ada dua orang yang sedang bercinta-cintaan di media internet, mereka harus sadar internet bukan tempatnya. Tetapi, bila lewat media internet pribadinya bertumbuh dan berkembang sebagai manusia yang makin mengasihi sesama hingga hidupnya lebih hidup, maka itulah tujuan awalnya.

Jadi, sori teman-teman yang status/komentar/wall/tulisan di media (blog/komunitas) tertentu, mungkin kita harus sadar, bahwa kita sudah menjauh dari visi dan misi media internet yang sesungguhnya.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.