iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Komersialisasi Nilai Sakral

Si Pengkotbah

Saya sering mendengar radio di kota Bandung yang mengudarakan kotbah-kotbah dan renungan-renungan, entah live dari mesjid atau Gereja, juga 'interaksi' langsung dari studio ke pendengar.

Tiap minggu...tiap hari.. bahkan tiap jam tertentu dalam sehari. Menarik. Sungguh menarik. Tak semua pengkotbah bisa 'tampil' di sana. Mereka yang layak hanyalah mereka yang terpilih.

Entah oleh pihak radio tertentu atau berkat pilihan 'hasil poling' para pendengarnya. Tidak hanya di radio, di televisi juga marak praktik semacam ini.

Boleh sombong dikit, aku juga pernah diundang sebagai pembicara pertama dalam salah acara di IMTV Bandung, awal bulan Mei yang lalu. hehehehe....

Antara Mimbar dan Pasar


Begitulah kotbah-kotbah tak lagi hanya terjadi di mimbar-mimbar nan agung di rumah-rumah ibadah. Kotbah, pada hari-hari ini bahkan lebih sering diturunkan ke pasar-pasar, di tempat keramaian terbentang. Sebab utamanya (katanya sih hal ini sudah sesuai dengan misi suci agama) ialah karena agama merasa bertanggung jawab menyapa 'domba-domba' hilang atau tersesat (baca: orang-orang yang pelit waktu untuk pergi ke tempat-tempat ibadah mereka).

Namun, siapa sangka, 'fasilitas tambahan' ini rupanya juga melhirkan kesan memanjakan kalangan tertentu, yakni mereka yang lebih memilih merayakan ritual agamanya di radio atau televisi daripada ikut berkumpul di rumah ibadah bersama yang lain. 

Selain mendengarkannya di radio atau menontonnya di televisi, rupanya ada banyak umat beriman juga yang demen berselancara mencari kotbah yang menarik versi dirinya di situs-situs keagamaan tertentu. 

Sekali lagi, fasilitas ini seakan-akan diperuntukkan bagi umat yang asosial, atau mereka yang tak rela menghabiskan waktu bertemu banyak orang di tempat ibadahnya.

Ke-tidak-saling-terkait-an Agama dan Perwujudannya

Tapi, taukah Anda, kalau praktik semacam ini telah mengidentifikasi agama tak lebih sekedar sebuah institusi di mana para penganutnya tak harus saling-terkait secara mendalam dalam kerangka iman yang sama? Bahayanya, agama pun bisa dipahami hanya sebagai persentuhan umat dengan mimbar semata. 

Dan mimbar itu telah berpindah ke ruang mahaluas tanpa batas bernama internet. Di sana, semua orang merasa bebas sebebas-bebasnya mendiskusikan tema agama dan ajarannya. 

Hebatnya lagi, di sana, banyak orang yangmemproklamirkan dirinya sebagai pembela agama dan tidak merasa terbebani sedikit pun untuk bersumpah demi membela agamanya: hingga mati!!

Lain lagi dengan beberapa orang yang berusaha bersikap moderat. Kaum ini ada yang sungguh bijak dalam menilai ajaran agama yang dianutnya, berikut membentangkan ajaran itu di atas semangat pluralisme. 

Namun, secara de facto, ada juga kaum moderat yang jatuh pada sinkretisme dengan meramu semua ajaran agama yang ada untuk selanjutnya 'mencipta' agama baru bernama agama gado-gado.

Para Penjual Ajaran Agama

Singkatnya, agama, di masa kini telah 'diturunkan' dari mimbar dalam arti ruang terbatas menuju mimbar tanpa batas. Ya, mimbar telah digelar di pasar, tempat setiap orang membeli dan menawar apa saja yang dijual. Maka, agama yang baik ialah agama yang mampu memaparkan (baca: meyakinkan orang banyak) kehebatan agamanya di banding agama orang lain. Ya, biar laku dijual gitu loh..!

Demi menjual agamanya, seseorang bahkan nekad bunuh diri, supaya tiap orang terkagum-kagum atas pengorbanannya. Mereka yang masih hidup, selanjutnya akan menggelari dia martir, orang yang mati syahid demi memberentas segala musafir yang hidupnya masih diselimuti iman kafir.

Demikianlah teknologi semakin mengiyakan proklamasi "satu-satunya agama yang benar ialah agamaku" di ruang terbuka, bahkan di sentra-sentra yang dijaga ketat, seperti di mesjid, gereja, atau kantor polisi. Lebih jauh lagi, mereka yang 'fundamentalis-fanatik' itu selalu membawa-bawa surga dan Firman Allah. Sungguh berani orang-orang jenis tanpa henti berteriak "demi Allah", "Ini perintah langsung Allah", atau "Saya hanya turut Perintah Allah", dan seterusnya.

Dan dengan meneriakkan hal itu - mungkin juga karena memang tidak tahu apa yang mereka ucapkan sendiri - mereka merasa bahwa tindakan mereka itu serentak merupakan tindakan membela Allah, pun agar diterima Allah di sisiNya kalau mati syahid. Kenyataannya siapa yang tahu kalau kelak mereka pasti akan masuk surga - yang katanya penuh susu, madu, dan anggur itu?


Neokolonialisme Ajaran Agama

Sadar atau tidak sadar, teknologi telah menjadi pioneer bagi neo-kolonialisme. Entah karena mendengar di 'mimbar rumah-rumahibadah' atau mendengar/membaca di media elektronika, siapa sangka agama bisa bertindak bak seorang opsir memerintah prajuritnya,
"Jangan membantah, baris saja!",

atau seorang petugas pajak memerintah para wajib pajak,
"Jangan membantah, bayar saja!"

Agama, dengan cara yang sama memaksa penganutnya untuk manut saja, bak seorang rohaniwan mengkotbahi umatnya, "Jangan membantah, percaya saja!"

Sungguh celaka, bila agama berhenti pada "dogam-dogma yang pada akhirnya ditelan mentah para penganutnya tanpa pernah berpikir konsekuensinya bagi orang lain di sekitarnya.

Tak heran bila seorang Katolik, misalnya lebih banyak berdiskusi dan menanggapi kotbah-kotbah yang terpampang di di situs-situs katolik, tetapi serentak tidak pernah menyempatkan diri mengahadiri Perayaan Ekaristi setiap hari Minggu.

Pesan kotbah mungkin sampai ke telinganya, bahkan bisa diolah di pikirannya yang mungkin cerdas itu. Tetapi, benarkan ia sungguh seorang yang layak membela agamanya?


Pantaskahkah Kita Membela Agama kita?

Inilah realitas hari ini, hic et nunc. Mendengarkan kotbah dirasa sudah cukup sebagai jaminan keselamatan; bahkan merasa sudah melakukan 'perintah Allah'. Sehingga apa yang akan dilakukan setelahnya, baik oleh si pengkotbah maupun umat/pendengar/pembaca, justru dipandang tidak penting samasekali.

Fenomena semacam ini justru membenarkan sebuah traktat yang memisahkan antara kegiatan ibadah dan kenyataan hidup sehari-hari. Lalu, buat apa kita berdiskusi panjang tentang agama yang sesungguhnnya tidak kita anut seratus persen?


sumber:kompasiana

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.