iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Keharusan Menjadi Garam dan Terang Dunia

Menjadi Garam dan Terang Dunia
Kita semua tahu fungsi “Garam” dalam kehidupan keseharian kita, yaitu untuk: (1) melezatkan makanan hingga menambah selera makan kita; (2) mengawetkan; dan (3) menimbulkan kehausan.

Ini berarti dalam hidup kita garam itu disukai, karena selain menjadikan makan tetap awet (terpelihara secara utuh), garam juga membuat kita selalu tergantung padanya (baca: menimbulkan rasa haus). 

Demikian juga dengan kata-kata (ajaran), pikiran, sikap dan tindakan Yesus semestinya kita sukai karena “lezat” (lih. fungsi 1), sehingga kita perlu pelihara dan pertahankan (lih. fungsi 2), karena memang kita selalu haus oleh sosokNya (lih. fungsi 3).

Dalam Tradisi Yahudi, selain untuk makanan, garam juga dipakai dalam upacara keagamaan. 

Dalam Im 4,23 disebutkan kegunaan garam dalam upacara keagamaan: “Dalam setiap persembahanmu yang berupa korban sajian haruslah kaububuhi garam, janganlah kaulalaikan garam perjanjian Allahmu dari korban sajianmu; beserta segala persembahanmu haruslah kaupersembahkan garam.” 

Bahkan dalam Bil 18,9 terdapat istilah “Perjanjian Garam” yang bertujuan untuk membangun relasi yang tetap yang disimbolkan oleh ritual makan garam bersama sebagai tanda “memasuki ikatan setia satu sama lain”.

Tampaknya Yesus mengacu pada periokop di atas saat menegaskan “Kamu adalah garam dunia...” kepada kita, para pengikutNya. Yesus mengajak kita agar “mempunyai garam” dalam diri kita (baca: selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain). 

Dalam Injil hari ini, Mat 5,13-16, Yesus menegaskan lagi pentingnya “garam” dalam hidup kita: “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?" (bdk. Mrk 9,30). Artinya, sebagai pengikut Yesus, kita tak boleh kehilangan kesejatian dalam hidup: tahu kapan dan bagaimana mengubah sikap hidup kita bila kita merasa “Yesus” terasa hambar dan sudah tidak cocok lagi dengan ‘selera’ kita sendiri. 

Maka, untuk menghindari rasa hambar itu, kita diajak untuk merawat dan memupuk “iman akan Yesus” yang telah kita terima sejak kita dibaptis, juga lewat sakramen lainnya. Hanya bila hidup kita dipenuhi oleh “Kasih Yesus”-lah kita mampu menjadi garam bagi masyarakat, tepatnya menjadi “sumber jawaban” bagi setiap orang yang haus akan Dia. (bdk. Kol 4, 6).

Simbol kedua yang digunakan Yesus adalah “Terang”. Kita tahu bahwa terang berfungsi untuk (1) menghilangkan kegelapan. Kegelapan berarti kejahatan dan dosa yang timbul dari kebodohan, ketidaktahuan, praduga dan kepentingan diri melulu. 

Fungsi lain dari terang adalah (2) simbol kesetiaan dan konsistensi kita dalam berbuatan baik atau selalu berlaku baik. Dengan konsistensi ini “terang kita akan merekah laksana fajar” (Yes 58, 8.7-10).

Menjadi terang di tengah masyarakat, secara konkrit tampak dalam tindakan-tindakan seperti: 
(1) membawa ke rumah orang miskin yang tak punya rumah (Yes 58,7); 
(2) memberi pakaian kepada mereka yang telanjang (Yes 58,8); dan 
(3) memuaskan hati orang yang tertindas (Yes 58,10). 

Demikianlah “terang kita akan terbit dalam gelap dan kegelapan kita akan seperti rembang tengah hari” karena ditaruh di atas kaki dian, bukan di bawah gantang (Yes 58,10; Mat 15,14-15).

Akhirnya, menjadi garam dan terang dunia bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Jadi, bila kita memang ingin menjadi murid Yesus yang sejati, maka kita tak boleh bersikap acuh tak acuh dan pasif’ akan yang lain. 

Selanjutnya, kita juga harus ikut mewartakan dan melaksanakan Injil (ajaran dan teladan Yesus) kepada semua orang hingga dunia pun digarami dan diterangi olehNya. Amin.

Bacaan: HM-Biasa V (Yes 58, 7-10; 1 Kor 2, 1-5; Mat 5, 13-16)


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.