iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tuhan yang Menumbuhkan

Tuhan yang Menumbuhkan
Bacaan: Yeh 17:22-24; 2Kor 5:6-10; Mrk 4:26-34


Pohon di belakang rumah itu hebat sekali. Berkali-kali dipotong rantingnya, ia tetap saja menumbuhkan tunas-tunas yang baru. Suatu kali bukan hanya rantingnya yang dipotong, melainkan seluruh dahan sampai ke batangnya.

Beberapa hari dan minggu berlalu, nampaknya pohon itu mati. Batangnya mengering dan tidak kelihatan lagi tanda-tanda kehidupan padanya. Tiba-tiba, karena hujan beberapa hari, ada warna hijau muncul di batang yang dipotong. Tunas-tunas baru! Keinginan untuk hidup sedahsyat itu, siapa yang bisa menahannya?

Entah berapa kali Gereja dilanda skandal. Entah berapa ratus tahun Gereja dianiaya dan dikejar-kejar, ditindas dan didiskriminasi. Gereja masih bertumbuh hingga saat ini. Tak terbilang korupsi yang terjadi dari dalam maupun dari luar Gereja, serangan para rasionalis dan ilmuwan terhadapnya, kemerosotan moral para pemimpinnya, apatisme umatnya sendiri, kendati pertikaian dan perpecahan yang dialami berulang kali, namun Gereja itu masih hidup juga, dan bahkan terus bertumbuh.

Tuhan memberinya pertumbuhan. Bagi kita, apa yang dialami Gereja itu seakan-akan membuat pesimistis akan masa depannya, dan masa depan kita juga. Tapi kenyataannya, kita masih ada di sini juga, masih mengalami rahmat dan berkat-Nya pula! Apa itu semua kalau bukan kehendak Tuhan yang menumbuhkan, tak peduli kegentaran dan pesimisme yang kita rasakan?

Dengan gambaran benih yang ditabur di tanah, Yesus bukan hanya melukiskan tentang Kerajaan Allah, tetapi lebih lagi menekankan bahwa hanya Allah berkuasa memberi pertumbuhan. Kita digambarkan sebagai seseorang yang menaburkan benih di tanah, “lalu pada malam hari (ter)tidur…” Bahkan kita tidak tahu sama sekali bagaimana proses pertumbuhan benih itu menjadi tunas. Dengan kata lain, pertumbuhan itu sama sekali bukan ‘karena’ jasa kita. Kalau Tuhan berkehendak, Ia akan tetap melakukannya tanpa bantuan kita dan sekalipun hal itu ditentang atau dijegal sedemikian rupa.

Gambaran kedua tentang biji sesawi melengkapi yang pertama. Kalau Tuhan yang menumbuhkan sebuah biji, maka pertumbuhan itu akan luar biasa. Biji sesawi yang begitu kecil ditumbuhkan-Nya tiap hari hingga menjadi pohon dengan cabang-cabang yang besar, dan burung-burung dapat bersarang di sana. Kita tidak pernah bisa 'mengira’ seberapa besar Tuhan akan menumbuhkan sebutir biji. Ia akan selalu melebihi, atau bertolak belakang dengan, perkiraan-perkiraan kita.

Kalau Kerajaan itu ditumbuhkan Allah dengan sedemikian mengagumkan, kita mestinya mengalaminya juga dalam Gereja. Seharusnya kita pun menemukan sebuah spiritualitas yang dapat menopang iman kita khususnya di saat serangan dan kegagalan bertubi-tubi menimpa. Masalahnya, kita ini sudah terbiasa tergesa-gesa dan sekali jadi. Maka, baru sekali ditolak, kita sudah merasa kecil hati, dan bahkan dalam hati berjanji, “saya tidak akan mau melakukannya lagi.” Bagaimana jika bukan hanya penolakan, melainkan fitnah, penghinaan, kekerasan, dan penganiayaan? Kegagalan untuk mencoba lagi dan ingin menyerah itu berasal dari sikap manja kita. Kehendak Tuhan mau kita lemahkan hanya dengan 'harga diri’ yang tak seberapa di hadapan-Nya?

Kitab Yehezkiel yang kita dengar tadi menubuatkan bahwa Tuhan sendiri akan mengambil sebuah carang dari puncak pohon dan akan mengubahnya menjadi pohon aras yang besar. Israel, sebuah bangsa kecil yang berada dalam pembuangan di masa nubuat ini, akan menjadi sebuah bangsa yang kelak dikagumi oleh dunia. 

Jika mereka yang dibuang itu tidak belajar percaya pada penyelenggaraan ilahi dan sibuk dengan persoalan 'harga diri'nya sendiri, pembebasan itu tidak akan pernah terjadi juga. Di saat-saat kritis seperti itu, diperlukan kebesaran hati untuk bersabar terhadap 'proses’ Tuhan.

Namun, siapa di dunia ini yang mau bersabar terhadap 'proses’? Ketika beban yang kita rasakan seakan-akan begitu berat untuk ditanggung, kita lantas tidak bisa tidur, terus menerus berpikir tentang “apa yang harus aku lakukan” untuk melepaskan diri dari situasi ini. Kalau kita perhatikan, memang begitulah kecenderungan kita seringkali, yakni ingin segera 'lepas’ dari situasi yang tidak menyenangkan. 

Bagaimana kalau situasi itu ternyata adalah syarat bagi Tuhan untuk turun tangan? Bagaimana kalau kita adalah carang yang dipetik Tuhan dan ditanamkan-Nya di tanah yang memang kurang subur? Jawabannya hanya satu: berjuang untuk tetap percaya! Kalau Tuhan menanam kita di tanah seperti itu, Dia pasti berkuasa menumbuhkan!

Di sisi lain, kita yang beriman ini diundang juga untuk mendorong pertumbuhan saudara-saudara kita. Ada orang-orang yang sangat mengharapkan beberapa kata saja yang menyemangati dari temannya, namun sungguh sayang, mereka tidak pernah mendapatkannya. Kalau kita ingin menjadi perpanjangan tangan Tuhan terhadap mereka, banyak hal sederhana bisa kita lakukan. Mulailah dengan anak-anak remaja kita. 

Mereka paling sering membutuhkan dukungan dan dorongan. Hanya beberapa kata. Hanya tepukan di pundak. Hanya senyum dan doa dalam hati. Kalau Tuhan menghendaki, biji iman mereka akan menjadi pohon dengan cabang-cabang yang besar, lebih dari yang kita bayangkan. Amin.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.