iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Penderitaan Orang Beriman


Apakah orang Kristen Harus Menderita? Pertanyaan ini sebenarnya sangat sulit dijawab dengan gamblang.

Di satu sisi Alkitab mencatat beberapa tokoh Alkitab yang secara jasmani tidak menderita. Allah bahkan beberapa kali menjanjikan kebahagiaan secara jasmani, misalnya memiliki keturunan (Kej 1:28), kemakmuran (Kej 12:1-3), posisi yang dihormati (Ul 28:13).

Beberapa tokoh Alkitab hidup dalam kecukupan jasmani, misalnya Abraham (Kej 12:1-3; 13:1-2; 24:35), Ishak (Kej 26:13), Salomo (1Kor 10).

Dalam Perjanjian Baru beberapa pengikut Yesus adalah orang kaya, misalnya perempuan-perempuan yang mendukung pelayanan-Nya (Luk 8:2-3), Yusuf Arimatea (Mat 27:57), Matius (Mar 2:14//Luk 5:27) dan Zakheus (Luk 19:1-10) yang berprofesi sebagai pemungut cukai.

Di sisi lain, Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan merupakan bagian integral dari status sebagai orang Kristen. Syarat mengikut Yesus adalah salib/kematian (Mat 16:24-25) dan meninggalkan segala sesuatu (Mat 19:21//Mar 10:21//Luk 18:22; Luk 14:26, 33).

Pengikut Yesus tidak boleh takut dengan kematian (Mat 10:28; Yoh 12:24-26) atau penganiayaan (Luk 21:12-19), karena dunia memang pasti akan membenci mereka (Yoh 15:18-21).

Yesus beberapa kali mengecam orang kaya, baik dalam interaksi-Nya dengan mereka (Mat 19:24//Mar 10:25//Luk 18:25; Mar 12:41-44) maupun dalam perumpamaan-perumpamaan yang Ia berikan (Luk 16:19-31). Ia memperingatkan para pengikutnya untuk mewaspadai ketamakan (Mat 6:19-24; Luk 12:15-21).
Ia bahkan menyebut orang-orang miskin (Mat 5:3//Luk 6:20) dan teraniaya (Mat 5:12) sebagai orang yang berbahagia. Para Rasul juga mengajarkan bahwa penderitaan dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan (Rom 8:28) supaya orang Kristen semakin dewasa dan teruji di dalam Tuhan (Rom 5:3-4; Yak 1:2-4; 1Pet 1:7-8).

Apakah dua gambaran Alkitab di atas saling berkontradiksi? Sama sekali tidak! Apa yang dikecam oleh Alkitab bukanlah kekayaan jasmani pada dirinya sendiri. Uang, kesehatan dan jabatan adalah sesuatu yang netral. Semuanya adalah milik dan berasal dari Tuhan (1Taw 29:11-12). Seandainya materi pada dirinya sendiri adalah jahat, maka Tuhan pasti tidak akan memberikan yang jahat itu kepada Abraham, Ishak, Salomo dan tokoh Alkitab lain (band. Mat 7:9-10). Kalau materi itu jahat, maka Tuhan tidak akan memberikan perintah kepada umat-Nya agar memuliakan Dia dengan harta mereka (Ams 3:9).

Inti permasalahan sebenarnya terletak pada konsep (penghargaan) terhadap materi. Akar segala kejahatan bukanlah uang, tetapi ‘cinta’uang (1Tim 6:10a). Ketika orang hidupnya terfokus pada materi saja, maka hatinya juga akan ada di sana (Matius 6:21).

Orang ini pantas disebut sebagai hamba Mamon (Mat 6:24; Luk 16:13-14; 1Tim 3:3; 2Tim 3:2; Ibr 13:5). Orang muda yang kaya akhirnya tidak mampu mengikuti Yesus karena hartanya terlalu banyak dan hatinya telah tertambat pada hartanya (Mat 19:22). Orang percaya seharusnya mengarah diri pada hal-hal yang tidak dapat binasa (Yoh 6: 26-27).

Ketika Yesus memberikan perintah kepada murid-murid untuk meninggalkan segala sesuatu – termasuk harta dan keluarga – hal itu tidak berarti bahwa mereka benar-benar melepaskan dan tidak menggubris hal itu lagi.

Yesus sendiri tetap memperhatikan keluarga-Nya (Yoh 19:27). Ia memperhatikan ibu mertua Petrus (Mat 8:14). “Meninggalkan segala sesuatu” di sini berbicara tentang prioritas hidup. Pengikut Yesus harus membenci keluarga mereka (Luk 14:26) dalam arti “tidak mengasihi mereka sampai melebihi kasih kepada Kristus” (Mat 10:37).

Pengikut Yesus tidak boleh mengasihi jiwa mereka melebihi mereka mengasihi Tuhan (Mat 10:28; 16:24-25), tetapi bukan berarti mereka semua harus mati martir bagi Tuhan (Yoh 21:21-22). Pendeknya, semua orang Kristen harus menempatkan Tuhan sebagai prioritas pertama dan satu-satunya dalam hidup serta harus selalu siap apabila semua yang dimiliki diambil dari dirinya.

Kisah Ayub dalam Alkitab merupakan contoh paling bagus untuk menguji apakah seseorang mengasihi Tuhan melebihi yang lain atau tidak. Ayub adalah orang yang saleh (Ay 1:1, 5). Sesuai dengan Teologi tradisional yang berkembang waktu itu, orang yang saleh selalu diidentikkan dengan kekayaan materi (Ay 1:2-3). Sesuatu yang krusial terjadi ketika iblis ingin mencobai Ayub.

Menurut Allah, kesalehan Ayub bukan didasarkan pada berkat Allah (Ay 1:8), tetapi iblis meyakini bahwa Ayub mengikuti Allah hanya karena berkat-berkat-Nya (Ay 1:9-11).

Kisah selanjutnya menunjukkan bahwa Ayub mengasihi diri Allah lebih daripada pemberian-Nya. Ia tetap memuji Tuhan sekalipun dia kehilangan segalanya (Ay 1:21) dan ia tetap tidak bersalah dengan segala yang dia lakukan (Ay 42:7-8).


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.